Share

Keping 4

Alunan gending Lingsir Wengi versi asli, yang tidak ada bau-bau Kuntilanak seperti film-film Julie Estelle menemani makan malamku di sebuah restoran kecil di sebuah Mal Surabaya.

Memang sih, uangku semakin menipis. Namun, hari ini aku ingin merayakan keberuntunganku. Keberuntungan apa kemalangan ya? Aku—Anjani si janda muda yang masih belum jelas masa depannya ini akhirnya dipanggil interview beberapa perusahaan.

Bayangkan saja, pemirsa!

Besok lusa, aku akan menemui staf HRD setempat yang konon lebih seram daripada drakula. Jadi, mengabiskan beberapa ratus ribu di tempat ini rasanya tidak mengapa kan?

"Sendirian, saja nih Mbak?" sapa seorang pramusaji pria dengan wajah ramah.

Aku mengangguk. Tanpa tersenyum tentu saja. Karena pertanyaan itu seperti menyindirku sedemikian tajam.

"Pesan apa, Mbak?"

Lalu, aku menyebut beberapa menu dan minuman. Secara cepat dan sigap pramusaji pria itu kemudian menghilang. Menggantikan pandangan mataku dengan keriuhan di malam ini.

Kok begitu ramai?

Ohya, ini kan Sabtu malam. Jadi, malam romantis dan malam kencan.

Aku mengamati sekeliling dengan wajah pilu. Menatap iri beberapa pasangan yang datang dengan bergandengan tangan, anak-anak kecil yang menggelayut manja pada orang tua mereka—para mamah muda dengan bentuk tubuh seksi hasil perawatan dan Zumba berjam-jam. 

Juga muda mudi yang memiliki kursi di pojokan. Mereka seperti bersembunyi dan sengaja memilih kursi paling gelap dan paling pojok.

Aku mengekeh geli.

Lalu, aku dengan siapa?

Sendirian tentu saja.

Teman-temanku—yang mereka ini semua sudah memiliki pasangan kecuali satu orang—tentu saja tidak bisa datang hari ini. Mereka sibuk dengan keluarga dan pasangan masing-masing.

Nawang menghadiri acara ulang tahun teman anaknya di Malang. Reina sedang melakukan perjalanan dinas ke Pulau Komodo, dan Lupita sedang tidak enak badan karena baru saja putus cinta dengan kekasihnya.

Begitulah. Aku pun sendiri lagi malam ini.

Jadi, aku mulai mengambil foto beberapa menu yang belum kusentuh. Bebek goreng, lalapan, dan jus jeruk kesukaanku. Kemudian kuposting di media sosial berlogo biru—Facebook.

Sembari mengunyah bebek yang enaknya sampai ke hati—beberapa notifikasi memenuhi gawaiku. Tapi, aku sengaja tidak menjawabnya. Malas, nanti saja.

Lagipula perutku lapar sekali.

Kemudian gawaiku kembali berbunyi. Langsung saja aku memasang tampang waspada, melihat sekeliling dan memeriksa wajah-wajah asing yang keluar masuk melalui pintu utama yang terbuat dari kaca.

Aku khawatir, Argo membuntutiku. Jangan sampai. Aku bergidik ngeri.

Di layar gawai yang sebenarnya, menurut aturan pertama tak boleh kubaca selama makan malam ini—tapi tetap saja benda sialan itu mencuri waktuku.

Jani, ini Bulek Sri. Besok datang ya, ada acara pertunangan sepupumu—Winda.

Aku membaca pesan itu dengan hati nestapa. Ah, aku tak akan datang. Lagipula siapa mau datang di acara engagement sepupunya sementara dirinya baru menyandang status janda?

Enak saja.

Aku mencomot kembali bebekku dengan ukuran lebih besar dan segera saja gawaiku berbunyi.

Dari Ibu. Tentu saja, aku akan menjadi anak durhaka jika mengabaikan telepon dari pemilik surgaku ini.

"Waalaikum salam, nggih Bu. Jani lagi makan malam."

"Nduk, besok datang ya ke acara Winda. Jangan lupa, lho. Harus datang. Diusahakan ya, Nduk."

Pasti begitu.

"Nggih, Bu. Insyaallah."

"Jangan lupa dandan yang cantik ya."

"Tentu, Bu. Masak ke sana pakai daster."

"Lho, kamu kalau nggak diingetin biasanya pakai baju sembarangan lho. Menyalahi dresscode acara."

Alamak, ngomingin dresscode juga si Kanjeng Mami ini.

"Memang dresscode-nya apa sih, Bu?"

"Pakai baju warna pastel, gitu kata Bulekmu."

"Nggih, pun Bu."

Lalu pembicaraan itu kembali berlanjut hingga tiga puluh menit berikutnya hingga bebekku kedinginan di atas meja.

Dengan sebal, kumasukkan gawaiku ke dalam tas. Dan kembali menyesap jus jeruk favoritku hingga tandas tak bersisa.

Perutku terasa begitu penuh hingga seseorang di sebelah mejaku, yang duduk begitu dekat tadi menegurku dengan jenaka.

"Mbak, itu tadi bebek saya lho."

Kata lelaki di sebelah mejaku sembari menahan geli.

"Hah? Yang benar saja?" sepertinya mataku melotot.

Apa? Aduh, masak sih?

Aku melihat mejaku dan memang sih bebekku sudah habis tak bersisa. Lalu, ternyata aku juga mengambil bebek di piring meja sebelahku. Jadi ada dua piring yang begitu bersih di mejaku. Piring si bebek tadi.

Kok bisa sih?

Segera saja wajahku terasa panas.

"Saya pesankan menu bebek lagi ya, Mas. Maaf tadi saya asyik ngobrol dengan ibu saya, sampai lupa ngambil dari piring mana," jelasku berapi-api.

"Nggak perlu, anggap saja itu salah makan. Bukan rezeki saya," kata lelaki itu santai, kemudian dia melambaikan tangan ke pramusaji.

"Maaf banget nggih, Mas."

"Nggak papa."

"Nanti bill-nya saya ganti ya," tawarku dengan manis dan gugup. Mengingat lembar ratusan ribu di dompetku sepertinya segera kering.

"Kenapa begitu?"

"Kan tadi bebeknya saya makan," jawabku lagi.

"Itu tidak sengaja. Tidak terhitung dosa, Mbak," ucapnya santai, "jadi tak perlu diganti."

Aku menatap lelaki itu tak berkedip. Sampai lupa kalau dia adalah lelaki paling tampan yang pernah kutemui semingguan ini. Apa dia tidak takut uangnya habis untuk memesan bebek lagi.

Ah, dasar si bebek ini!

Pramusaji kembali menyambangi meja di sebelahku. Meletakkan sepiring bebek goreng yang masih mengepulkan asap. Lelaki itu kemudian mencubit daging bebek dengan garpu dan melahapnya—di bawah pengawasanku.

Entah kenapa aku tak bisa memaling wajah darinya. Apa karena aku merasa tak enak hati?

"Kok saya dilihatin terus, Mbak?"

Aku segera memalingkan pandangan menatap lalu lalang orang dari balik pintu kaca utama. Mencoba menerka kenapa situasi ini jadi aneh. Rasanya aku tak ingin makan bebek lagi seumur hidupku kelak.

Aku mematikan gawai.

Lalu memanggil pramusaji untuk mengisi kembali gelas jus jerukku. Kan tidak mungkin aku melarikan diri setelah insiden ini. Bisa jadi, laki-laki ini berubah pikiran dan meminta tanggung jawabku.

Jadi, aku masih duduk di mejaku. Sembari mendengar lagu-lagu melankolis dari grup band negeri yang senang sekali menyanyikan lagu patah hati.

Hebat betul di situasi seperti ini?

Lelaki itu sepertinya tak mengindahkanku lagi. Jadi, aku mengeluarkan buku andalan dari tas dan mencoba membuka-buka halamannya. Sembari sesekali melirik ke sebelah meja, siapa tahu dia pergi.

Namun, tentu saja dia tidak pergi. Aku melihatnya mengeluarkan ipad besar. Lalu, ia menggulung lengan kemejanya dan mulai membaca. Seperti membaca media-media bisnis.

Mungkin dia ini eksekutif muda—seperti Argo yang bekerja di ranah bisnis dan tetek bengeknya. Tapi, rasa malu membuatku tak bisa bergerak banyak.

Lagipula, lelaki itu seperti sengaja tak ingin berkenalan. Ah, siapa juga yang ingin berkenalan dengan lelaki bertampang cuek dan seperti masa bodoh dengan semua hal.

Aduh. Harusnya aku tadi tak ke sini. 

Lalu, aku melihat lelaki itu berdiri. Ia cukup jangkung dan tegap—omong-omong. Seperti kaum pria yang gemar pergi ke gym dan mengangkat beban.

Tiba-tiba ia menoleh padaku. Mata kami bertemu. Tentu saja aku malu dan kaget, karena seperti memandanginya dengan lancang sedari tadi.

"Saya ada urusan, permisi." Katanya dingin—sedingin freezer.

Ia segera berlalu, dengan langkah tegap dan penuh percaya diri seolah-olah ini adalah restoran nenek moyangnya. Kemudian ia menyambangi kasir.

Huf. Syukurlah.

Akhirnya aku bisa keluar juga dari restoran ini dengan bebas merdeka, yes!

Kok, nggak dari tadi sih Mas keluarnya?

Jadi, penuh suka cita aku mengangkat bokongku yang terasa kebas dan bengkak karena sudah duduk berjam-jam sedari tadi.

Melenggangg menuju kasir sembari mengangsur kartu debitku yang sebenarnya agak sekarat.

"Tak usah Mbak. Mas yang duduk di sebelah tadi, sudah melunasi semua bill-nya."

Ah, yang beneeer?

Aku mendelik tak percaya. [] 

Bersambung 

Tinggalkan jejak love dan komentar ya, Dears. 💗

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tini Wartini
cerita yg menarik..lanjutt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status