Share

Keping 6

Sesuatu mengenai kepalaku, aku meringis sakit. Rasa-rasanya tadi aku cukup berhati-hati melangkah di rumah besar yang penuh sesak dengan tamu dan keluarga ini. Aku memutar pandangan, menoleh dan kulihat seseorang melewatiku tanpa menoleh sedetik pun.

Mungkin dikiranya aku boneka beruang.

Sesuatu itu ternyata cukup besar dan membuat kepalaku berdenging pusing. Memangnya tadi apa sih?

Aku mengerang lirih. Merasakan ubun-ubunku terasa begitu nyeri dan berat. Gawat, jangan sampai aku tumbang di dalam keriuhan acara. Nanti dikira cari perhatian begitu. Ibu sudah bersama Bulik Sri tampak begitu sibuk di belakang dan di kamar Winda.

Aku mengusap kepalaku yang terasa berkedut. Sedikit ada benjolan kecil. Aih, belum-belum sudah benjol saja Jani!

Ketika aku menoleh, samar-samar kulihat seorang lelaki tergopoh dan merunduk sembari mencangklong tas besar.

Siapa itu? Sales kosmetik? Umpatku kesal. Tentu saja masih dalam hati.

Lelaki itu merunduk dan bersikap begitu sopan bergerak menjauh ke arah samping rumah. Tanpa menghiraukan korbannya di sini. Meringis dengan kepala benjol.

Aku menggelengkan kepala. Kembali berdiri tegak, sembari menata langkah gemulai karena sekarang aku sudah memakai kebaya seragam untuk keluarga. Kebaya ini sedikit terlalu kecil, sehingga badanku yang gemuk—eh montok maksudnya terlihat begitu penuh dan terasa sesak.

Aku berdehem. Mengatur diri sedemikian rupa. Sembari melepas senyuman termanis yang aku miliki ke seluruh tamu. Walau mereka tidak memerhatikanku.

Kursi-kursi tertata begitu rapi di halaman rumah Bulik Sri. Berhias pita dan kain satin. Aku membawa beberapa bunga ke ruang depan. Menatanya di panggung mini kecil tempat dua calon pengantin menukar cincin nantinya.

Duh, dadaku berdesir perih. Mengingat kenangan selintas bersama Argo dahulu. Cincin berlian mungil delapan karat, hadiah dari Argo masih menghias jari manisku. Aku sampai sekarang tak bisa mengenyahkan benda kenangan itu.

Sudah beberapa kali aku ingin menjualnya. Atau menyedekahkannya, tapi tak kuasa. Dulu, cincin ini didapatkan Argo dengan menabung berbulan-bulan, saat ia belum menduduki posisi general manager di sebuah perusahaan kontruksi.

Namun, sekilas kenangan itu telah berubah menjadi abu. Hanya cincin yang menghias jari manisku ini yang tidak berubah menjadi apapun.

Aku mengelus cincin mungil yang bersinar-sinar karena sinar matahari yang tampak sedikit menyembul dari awan-awan kelabu di langit. Cuaca cukup cerah, dan udara lebih segar sebenarnya.

Tetapi, kenapa ya aku merasa begitu sesak dan rapuh sekarang. Sampai-sampai rasanya aku harus menopang lututku agar tidak oleng.

Biarlah.

Aku menata tulip-tulip putih, dan mawar putih di beberapa sisi. Sebelum nanti, sore acara Winda dimulai, memang ada beberapa sudut yang perlu dibenahi.

"An?"

Aku mendongak, mengerjapkan mata. Memerhatikan gadis dengan senyum manis dan tampak begitu senang menatapku di sini. Lupita? Ngapain dia di sini?

"Lho, Pit? Kamu kok di sini sih?" gumamku kurang jelas.

"Ini acara Winda, calonnya itu sepupuku An," Lupita tertawa menatapku yang terbengong melihatnya berdiri dengan kebaya berwarna kuning dan jarik cokelat.

"Seragammu kuning begitu ya?" komentarku tersenyum.

"Sepupuku itu suka warna kuning. Katanya bisa bikin happy dan bahagia terus. Belum tahu dia nanti kalau sudah nikah. Iya kalau mulus kayak jalan tol. Kalau misalnya kayak kamu begini bagaimana? Aduh, maaf An. Jadi keceplosan," sungut Lupita.

Aku manyun, "Iya sih, tapi jangan doain sepupu kamu bakal ngalamin kayak aku dong, Pit. Jangan deh. Kasihan Winda juga nanti."

Lupita menyedekapkan kedua tangan di depan dada, lalu mengetukkan jemarinya, "Aku kan lagi patah hati, An. Jadi bawaannya sewot melulu."

"Iya, iya. Tahu deh yang patah hati."

"Aku sih pinginnya di rumah, sama nyemil cokelat terus nonton drakor yang sedih-sedih begitu. Nangis sampai mata bengkak. Tapi, Mama nyuruh ke sini. Bagaimana lagi?"

Lupita bukan gadis jelek, cuma nasibnya saja yang nggak mujur. Ditinggal menikah oleh orang yang disayanginya—tunangannya, bukan perkara mudah, sebenarnya. Tapi, masih mending ketimbang sudah nikah bertahun-tahun lalu berpisah karena perselingkuhan.

Aku melangkah mendekati Lupita, "Kamu ini masak lupa sih, Pit. Aku kan juga habis cerai, jadi masih ada broken-brokennya. Jadi jangan curhat begitu," kataku.

Lupita tertawa terkekeh, "Aduh, masalahku sebenarnya sepele kalau dibanding dirimu ya An. Sepuluh tahun mengenal Argo bukan waktu yang singkat sih."

"Dah, ah. Jangan sebut nama itu lagi."

"Iya, iya Cantik."

"Jangan ngeledek."

"Kamu sebenarnya cocok kok pakai kebaya warna pastel begitu ketimbang aku yang pakai kuning begini. Kata sepupuku terilhami dengan kisah Potre Koneng."

"Apaan itu."

"Legenda orang Madura, An. Masak nggak tahu?"

Aku mengedikkan bahu. Tersenyum lebar, lalu melangkah ke dalam.

OOO

"Hei, hei Jani. Penyiar kita yang ceriwis dan bersuara merdu sudah datang rupanya."

Aduh, siapa lagi sih ini?

Aku meringis dan melempar senyum kering, sembari menjawil tangan Lupita yang bergerak menjauh. Tapi, tampaknya tidak begitu berhasil. Gadis itu sudah melangkah menjauh menyisir lautan manusia yang berjubel setelah acara penyematan cincin untuk Winda selesai dengan sukses tanpa tragedi apapun.

Lalu acara berfoto bersama yang menghabiskan setidaknya empat puluh menit dalam pose tersenyum, hingga aku betul-betul lelah dan letih. Bibirku terasa pegal, mulutku kering, dan bahuku terasa ngilu.

Duh, kayak sudah nenek-nenek saja, Jani!

Aku kembali mengulum senyum masam.

Rasa-rasanya aku merasa begitu rapuh dan tak begitu bisa merasa bahagia di sini. Apa kabar masa depan?

Bahuku melorot dan menatap Paklik Broto tertawa lebar kepadaku. Lelaki itu adalah adik ibuku, namun entah kenapa pamanku ini begitu usil dan menyebalkan. Memang sih tingkahnya konyol.

"Eh, Paklik," aku menyalaminya dan mencium punggung tangan, sebagai bukti bahwa aku adalah keponakan yang baik dan tidak sombong.

"Kok, Paklikmu ini nggak pernah dengar kamu siaran sih?"

"Sudah nggak kerja di sana Paklik."

"Lho kok bisa? Penggemarmu itu sudah banyak Jani. Mana bisa kamu berhenti begitu. Pantas Paklik nunggu-nunggu suaramu nggak ada. Diganti sama siapa itu, penyiar apa sih itu. Suaranya melengking begitu. Nggak seperti suaramu renyah dan ada kriuk-kriuknya," katanya panjang lebar.

"Sudah lama resign-nya Paklik."

"Begitu. Kenapa kok resign? Apa nggak sayang sama penggemarmu yang ribuan itu? Banyak lho yang cari-cari kamu, Jani. Kayak Paklik-mu ini. Kalau kerja di mobil ada suaramu kan seneng begitu. Sama nunggu lampu merah, bisa request lagu-lagu nostalgia," Paklik Broto mengamatiku. Kumisnya yang besar dan melintang mengingatkanku pada Pak Raden dari serial televisi jadul TVRI dulu.

"Cuma ingin saja, Paklik."

"Aneh sekali Jani. Eh, apa benar gosip yang dimongin sepupumu itu. Kamu ini sudah cerai sama Argo, begitu?"

Duh. Bagaimana ya, aku bingung menjawabnya. Nanti, malah-malah pada berkerumun di sini untuk mewawancarai masalah rumah tanggaku. Jadi, sembari menunggu ilham agar aku bisa menjawab apa. Aku hanya tersenyum masam.

"Paklik Broto tahu dari siapa?"

"Nah, kan? Bener begitu?"

Aku mengangguk, sembari menahan-nahan air mataku agar tidak jatuh begitu saja. Kepalaku pusing karena insiden tadi siang, belum lagi rasa lelah karena membantu persiapan pertunangan Winda. Serta lirikan ingin tahu para kerabat dan tamu.

Aku tidak mau dikasihani.

Aku tidak ingin orang memandangku penuh iba dan rasa jijik.

Aku juga tak mau mereka mengorek tragedi keluargaku. Itu aib, kan?

Kenapa sih tidak ada yang mengerti?

Tapi, iya sih. Aku memang menyedihkan begini. Padahal, sedari tadi aku sudah berusaha bersikap begitu ceria. Membantu ini dan itu. Menyapa dan berbasa-basi seperlunya.

Tetap saja, kisah perceraianku menjadi headline tersembunyi di pertunangan Winda ini.

Ada apa dengan semua orang? Kenapa masih harus selalu mengorek kisah hidupku yang sebenarnya tidak ada indah-indahnya sama sekali.

"Kenapa nggak cerita sama Paklik-mu ini?" tanya Paklik Broto dengan nada tinggi, seperti memahami kalau aku sebenarnya tidak ingin melewati proses perceraian atau menyaksikan selimut Argo dan Shely melayang-layang di kamar pribadiku.

Tiba-tiba perutku merasa mual.

Alunan suara musik smooth jazz mengalun lembut dari arah depan. Mengingatkanku pada siapa yang menggilai musik ini. Aku menyipitkan mata. Tidak, tidak mungkin. Ini tidak akan terjadi. []

Bersambung ♥️🥳

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status