Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a
Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad
Tring!Jantungku terasa meledak begitu mendengar lift berhenti di lantai ke-30.Ini beneran kan? Bukan adegan di Fifty Shades of Grey?Aku memiringkan kepala, menggetoknya perlahan agar tidak berhalusinasi menjadi Anastasia Steele, yang sedang bersiap bertemu Mr. Grey.Halah.Ini mungkin efek badan yang terlalu lelah dan letih setelah hari yang demikian berat. Punggungku terasa kaku dan pegal, sementara kakiku sakit.Aku sekarang tentu saja tidak sedang memakai sepatu olah ragaku yang penuh dengan lumpur dan pasir. Setelah mengitari kota dan berlarian bersama kru dan Bang Napi berburu berita.Aku berjuang melewati pintu lift, dan segera saja menemukan ruang lobi yang begitu mewah, penuh kaca, berlantai granit, dan terasa begitu bersih. Berbeda sekali dengan ruang-ruang di bawah. Tempat berkumpulnya para kacung korporat sepertiku ini.Aku menahan senyum geli, menyadari bahwa aku sekarang pun ternyata telah menjadi salah satu kacung korporat di media terbesar di Surabaya ini. Aku tak men
Aku perlahan-lahan membuka mataku yang tadi begitu saja kupejamkan begitu erat. Perempuan di depanku tiba-tiba memasang wajah kemayu dan manja, ada apa sih ini? "Oh, enggak. Tadi aku mau ngucapin selamat sama pegawai barumu ini, Honey," katanya dengan suara dibuat-buat. Aku hanya bengong. "Betulkan? Eh ... ehm, Anja—Anjani?" kata perempuan itu dengan wajah seperti ingin ditabok. Aku lalu mengangguk, tak berani mengangkat wajah. Mungkin yang sedang berada di belakangku ini adalah CEO JMTV. Oh, ngerinya! Kenapa aku masuk ke dalam skandal mereka ini sih? "Mbak Anjani, silakan masuk ke dalam ruangan. Bapak sudah menunggu!" sekretaris berbaju licin dan berdandan prima itu tiba-tiba menarikku dan membawaku ke sebuah ruangan. Aku menurut. Aku masih bingung tentu. OOO Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling tolol dan bodoh sedunia. Bagaimana tidak? Tadi itu kenapa sih sebenarnya? Oh, ya Allah. Ya Tuhanku, tolong bisikkan pada CEO JMTV agar tidak memecatku karena mengetahui skanda
Sialan. Sialan besar tentu saja. Aku dan dua kakiku ini seperti terpaku di atas lantai karpet tebal. Ini karpet dari mana? Lebih mirip rumput golf saking tebalnya. Duh, kok kamu mikirin karpet sih Jani! Aku tersedak dengan ludahku sendiri. Menggeleng lemah saat menemukan kondisi kalau aku kembali jatuh. Jahatnya pula, tersandung kakiku sendiri. Kalau sekiranya ada yang menjegal kakiku ini tentu itu lebih heroik, ada tokoh antagonis yang yang mengindimidasiku. Tapi ini tidak. Justru kakiku ini. Kaki kananku yang semampai (maksudnya semeter tak sampai) inilah yang menyebabkan aku jatuh terjerembab, dengan posisi kepala merunduk ke dalam kantor. Aku tentunya sedikit malu dong. Koreksi, malu yang begitu banyak. Karena ini kantor CEO JMTV yang mulia, agung, dan mewah! Norak banget sih aku ini? Ya, Tuhan. Tolong bisikkan kalimat sakti agar Pak CEO tidak menyadari kegugupanku. Atau setidaknya ia tak marah dengan perilaku konyolku ini. Aku mencoba bangkit, merangkak tentunya. Duh, aku
"Kalau kau sedang gugup, maka kau akan jatuh. Mungkin terjerembab atau tersuruk ke depan. Itu yang bisa kulihat," jelas Biru dengan suara begitu tenang. Sangat tenang sehingga aku merasa begitu ngeri.Entahlah, aku merasa seperti dikuliti di sini. Bisa jadi malah merasa ditelanjangi. Diletakkan di bawah mikroskop, lalu Biru atau what the hell—CEO JMTV ini mengamatiku dengan begitu cermat.Aku diteliti. Seperti subyek penelitian di sebuah lab ilmuwan gila yang mungkin tidak pernah kukenal sebelumnya.Oh, my God. Apa Biru mau balas dendam karena kemarin di pesta Winda aku tidak ramah padanya?Oh, No!Jangan dong."Kenapa Anda ingin bekerja di media visual, Bu Anjani?" itu pertanyaan Biru, tanpa menghiraukan diriku yang seperti terpaku di atas kursi ini.Ini tentu pertanyaan yang begitu mudah bukan?Jadi aku dengan santainya (untuk menutupi kegugupanku) berkata bijak, "Dulu saya bekerja di radio, saya menyukai jurnalisme elektronik. Di media visual ini pun, saya bisa bekerja sesuai passi
"Argo?"Mataku melotot memandanginya.Aku melangkah terburu-buru begitu turun dari lift, dan bergegas melewati lobby kantor. Sudah malam, jadi tidak seramai saat jam kantor biasanya. Hanya saja, kalau studio televisi seperti ini, tentu saja selalu ada yang bekerja hingga pagi. Shift kerja tentu saja.Aku sudah memesan taksi online, agar cepat sampai di tempat kosku. Sayangnya, hingga sekarang aku belum mendapatkan balasan.Sepertinya sudah sangat malam. Apa saja yang kulakukan seharian ini sih? Sampai begini larut?Mana jantungku masih berdebar tak karuan gara-gara menemukan Biru dengan versi yang terasa begitu berbeda.Pikiranku masih penuh dengan bayangan Biru. Oh, mukaku seperti kepiting rebus, begitu meninggalkan Pak CEO dengan nada dering ala kuntilanak. Oke, aku memang aneh, sedikit absurd.Aku sudah berulang kali mengganti nada dering itu. Tapi, selalu saja kembali ke asalnya. Jadi, mau bagaimana lagi?Tiba-tiba kesadaran mengembalikanku ke tempat semula. Aku tertegun begitu la
"Ini sudah cepat, Jani. Lalu lintas agak padat. Tenang ya, kamu mesti sabar."Aku mengenyakkan tubuhku di kursi penumpang. Mengamati keramaian metropolis dari balik jendela gelap."Sudah lama ya sepertinya, kita tidak semobil seperti ini?"Apa sih maksud Argo ini?"Iya.""Kamu tadi sudah makan belum?"Oh, ya Tuhan. Aku lupa, tadi aku belum makan. Pantas saja badanku gemetaran seperti ini. Jadi, ini bukan efek Biru ataupun Argo kan? Ini semata karena aku setelah seharian beraktivitas tadi, belum makan malam. Makan malam yang terlambat."Kita ke rumah makan sebentar, Jani. Aku lapar," kata Argo membelokkan mobilnya, menjauh dari rute menuju kosku.Aku berpikir, betul juga.Aku juga harus membeli makanan, tidak mungkin dalam keadaan perut kosong seperti ini aku pulang dan tidur. Aku tak akan bisa memejamkan mata, jika tidur dalam keadaan begini."Kamu masih suka bebek goreng?"Membayangkan si bebek dalam kondisi begini bagaimana ya. Secara adab, aku sebenarnya tidak pantas bersama Argo d