Share

Keping 7

"Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.

Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?

Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?

Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.

Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.

Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.

Hus.

Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat dan doa. Tapi, itu dulu. Sebelum negara api menyerang.

Memang beda versi dengan lirik dahulu dan kini. Setelah film Kuntilanak besutan Rizal Mantovani, lirik lingsir wengi telah diubah sesuai dengan pakem film horor. Begitulah kira-kira.

Duh, serasa aku sedang siaran saja.

Aku tersenyum lebar mengembalikan mood-ku yang hilang tadi. "Mboten nopo-nopo (tidak apa-apa) Paklik. Cuma ingin ke belakang sebentar," elakku.

Kalau diteruskan bisa-bisa wawancara Paklik Broto berlangsung hingga 24 jam ke depan. Paklik kan begitu orangnya? Sangat protektif dan begitu ingin tahu keadaan keponakan tersayangnya ini.

Aku segera menyelinap ke belakang, bersembunyi dari keramaian. Mungkin jika aku berada di tempat yang sedikit tersembunyi rasa pening di kepalaku akan segera hilang. Atau aku bisa setidaknya bernapas dengan lega di sini.

Taman di samping rumah Winda hanya berisi beberapa meja dengan menu-menu menggiurkan. Biasalah, ala prasmanan begitu.

Aku mengamati begitu banyak menu jajanan, sementara tamu-tamu tidak banyak yang berada di sini. Sedikit sepi, hanya beberapa orang. Itu juga langsung ke dalam atau ke ruang depan, menikmati sajian live musik di halaman rumah.

Live music dengan band khusus yang sepertinya hanya menguasai musik jazz.

Seketika hatiku terasa begitu kesal.

Melihat begitu banyak jajanan. Termasuk siomay dan dimsum yang mengundang selera dan tampak masih begitu hangat dan wangi. Maka tanganku bergerak ke sana ke mari. Mengambil ini dan itu, hingga tiba-tiba mangkok yang kupegang seketika menggunung penuh dengan makanan.

Aku terenyak. Pasti dietku akan bubar lagi. Tapi, tak mengapa bukan?

Tidak ada perempuan yang sempurna dan selalu patuh pada protokol diet. Camkan itu!

Aku terkekeh. Menertawakan hidup dan nasibku. Sembari mengunyah dimsum beraroma seafood yang begitu enak. Siapa ini yang memasak kok bisa enak benar?

"Kelaparan ya, Mbak?"

Komentar seseorang yang tidak begitu jelas kudengar. Ah, siapa juga yang bicara denganmu, Jani?

Kamu masih berhalusinasi. Lanjutkan saja makanmu.

Aku terus mengunyah isi mangkokku dengan penuk kenikmatan, mengabaikan pandangan tamu yang lalu lalang.

"Mbak? Kok saya dicuekin sih? Saya benar deh, nggak bakalan minta jatah dimsumnya."

Duh, siapa sih ini usil benar?

Aku mendongak, mencari suara yang terasa begitu mengesalkan di telingaku. Setelah trauma emosional yang kualami, terkadang aku bisa melakukan tindakan mengesalkan di luar nalar seperti sekarang ini.

"Heh, siapa situ yang ngatur-ngatur saya mau makan?!" teriakku kencang tak tahu malu.

Jangan khawatir. Suara dentuman music jazz terkutuk ini sekitar seratus duapuluh decibel, jadi memang nyaris tidak bisa berbicara bebas tanpa berteriak sekencang Tarzan.

Berbeda dengan di dalam ruangan, suara jazz berdentum tak sekencang itu. Sehingga Paklik Broto bisa bebas mengeksplorasi bakat terpendamnya, untuk menggantikan Andy F. Noya dalam talk show Kick Andy.

Lelaki dengan tinggi menjulang, dan uniknya berpakaian kuning terang itu seperti menahan senyum menatapku yang sedang memasang wajah galak kepadanya.

"Jangan suka marah, nanti lapar lagi lho," katanya dengan wajah geli, menatapku sembari mengingat-ingat.

Aku memalingkan wajah. Jelas sekali, kalau lelaki usil ini adalah salah satu rombongan tamu dari pihak laki-laki. Jadi, mau tak mau demi Windaku yang tersayang. Aku berusaha bersikap sopan.

"Salah orang, kan Mas? Tadi dikira teman lama bukan? Atau kenalan? Ternyata kita nggak pernah ketemu atau benar-benar kenal kan?" kataku dengan senyum terpaksa. Hingga aku merasa bibirku berkedut marah.

Mungkin, aku harus segera menuntaskan menuku ini, lalu memanggil taksi online untuk segera menyingkir dari keramaian ini.

"Siapa bilang, kita pernah ketemu—"

"Eh, Ibu cari-cari ke mana-mana ternyata di sini, Nduk?" seru Ibu tak kalah keras dengan dentuman music. Terlihat wajah Ibu belepotan keringat, dan kebayanya sedikit basah. Betul-betul rewang, nggak seperti aku yang seenaknya makan-makan di tempat sesepi ini.

Lalu Ibu memutar badan, menemukan lelaki usil tadi dengan senyum memuakkan yang entah dari mana ia belajar semua itu. Aku tak habis pikir bisa menemukan sejenis buaya di tempat ini.

Argo sebagai buaya sejati saja tidak berani menampakkan diri di sini. Malah, ketemu spesies lain yang begitu percaya diri.

"Lho ini Biru?" Ibu tertawa senang, seperti menemukan sekotak emas di halaman ini, badan gemuk ibu bergoyang sempurna dengan lonjakan rasa yang entah terasa aneh bagiku.

"Nggih, Bu. Saya Biru," tiba-tiba manner lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Begitu sopan dan sangat sempurna di hadapan ibuku. Siapa sih dia ini?

OOO

"Ingat kan, Nduk. Biru dulu tetangga kita di desa. Saat itu umur Biru masih delapan tahun, sementara kamu masih tiga tahun setengah. Kamu sering lho main-main ke rumah Biru. Nggak pakai baju lagi," Ibu bercerita begitu antusias tanpa memerhatikanku yang tiba-tiba memerah malu.

"Kok Ibu ngomong gitu sih?"

"Lha kenyataannya begitu. Kamu suka sekali main dengan Biru saat itu. Hujan-hujan bareng, lalu mandi bareng, berenang di sungai depan rumah bareng-bareng. Ingat kan Nak Biru sama Anjani?"

Lelaki itu berpikir sebentar, lalu tersenyum tipis. Begitu tipisnya sampai aku mengira ia hanya menarik garis bibirnya sekian milimeter saja.

"Anjani yang dulu kalau nangis kenceng banget, Bu?"

"Iya, iya. Betul itu."

"Yang jago makan kerupuk?"

"Iya, itu."

"Yang suka tiba-tiba muncul di rumah dan ngajak main manten-mantenan itu?"

"Wah, ingat sekali Nak Biru ini!" Ibu terkekeh, lelaki itu juga terkekeh senang. Sudahlah suka-suka kalian saja. Silakan reuni, bye.

"Saya ingat kok. Apa kabar Anjani?"

Aku terdiam agak lama. Aku kesulitan mengumpulkan ingatanku. Masih begitu samar. Saat itu aku masih terlalu kecil, masih balita.

"Nduk, Nak Biru bertanya sama kamu lho?" kata Ibu setengah berbisik di telingaku.

Aku terbengong-bengong.

"Aku Biru—Langit Biru," katanya seraya menatap iris mataku dengan penuh perhatian.

"Seperti judul puisi," komentarku spontan mendengar nama lengkap lelaki itu.

Kulihat wajah semakin sumringah, jelas sekali kalau Ibu tidak ada di sini, ia akan tertawa keras-keras mendengar perkataanku tadi. []

Bersambung ♥️

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Papah M Arsyad
lumayan seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status