"Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.
Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?
Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?
Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.
Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.
Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.
Hus.
Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat dan doa. Tapi, itu dulu. Sebelum negara api menyerang.
Memang beda versi dengan lirik dahulu dan kini. Setelah film Kuntilanak besutan Rizal Mantovani, lirik lingsir wengi telah diubah sesuai dengan pakem film horor. Begitulah kira-kira.
Duh, serasa aku sedang siaran saja.
Aku tersenyum lebar mengembalikan mood-ku yang hilang tadi. "Mboten nopo-nopo (tidak apa-apa) Paklik. Cuma ingin ke belakang sebentar," elakku.
Kalau diteruskan bisa-bisa wawancara Paklik Broto berlangsung hingga 24 jam ke depan. Paklik kan begitu orangnya? Sangat protektif dan begitu ingin tahu keadaan keponakan tersayangnya ini.
Aku segera menyelinap ke belakang, bersembunyi dari keramaian. Mungkin jika aku berada di tempat yang sedikit tersembunyi rasa pening di kepalaku akan segera hilang. Atau aku bisa setidaknya bernapas dengan lega di sini.
Taman di samping rumah Winda hanya berisi beberapa meja dengan menu-menu menggiurkan. Biasalah, ala prasmanan begitu.
Aku mengamati begitu banyak menu jajanan, sementara tamu-tamu tidak banyak yang berada di sini. Sedikit sepi, hanya beberapa orang. Itu juga langsung ke dalam atau ke ruang depan, menikmati sajian live musik di halaman rumah.
Live music dengan band khusus yang sepertinya hanya menguasai musik jazz.
Seketika hatiku terasa begitu kesal.
Melihat begitu banyak jajanan. Termasuk siomay dan dimsum yang mengundang selera dan tampak masih begitu hangat dan wangi. Maka tanganku bergerak ke sana ke mari. Mengambil ini dan itu, hingga tiba-tiba mangkok yang kupegang seketika menggunung penuh dengan makanan.
Aku terenyak. Pasti dietku akan bubar lagi. Tapi, tak mengapa bukan?
Tidak ada perempuan yang sempurna dan selalu patuh pada protokol diet. Camkan itu!
Aku terkekeh. Menertawakan hidup dan nasibku. Sembari mengunyah dimsum beraroma seafood yang begitu enak. Siapa ini yang memasak kok bisa enak benar?
"Kelaparan ya, Mbak?"
Komentar seseorang yang tidak begitu jelas kudengar. Ah, siapa juga yang bicara denganmu, Jani?
Kamu masih berhalusinasi. Lanjutkan saja makanmu.
Aku terus mengunyah isi mangkokku dengan penuk kenikmatan, mengabaikan pandangan tamu yang lalu lalang.
"Mbak? Kok saya dicuekin sih? Saya benar deh, nggak bakalan minta jatah dimsumnya."
Duh, siapa sih ini usil benar?
Aku mendongak, mencari suara yang terasa begitu mengesalkan di telingaku. Setelah trauma emosional yang kualami, terkadang aku bisa melakukan tindakan mengesalkan di luar nalar seperti sekarang ini.
"Heh, siapa situ yang ngatur-ngatur saya mau makan?!" teriakku kencang tak tahu malu.
Jangan khawatir. Suara dentuman music jazz terkutuk ini sekitar seratus duapuluh decibel, jadi memang nyaris tidak bisa berbicara bebas tanpa berteriak sekencang Tarzan.
Berbeda dengan di dalam ruangan, suara jazz berdentum tak sekencang itu. Sehingga Paklik Broto bisa bebas mengeksplorasi bakat terpendamnya, untuk menggantikan Andy F. Noya dalam talk show Kick Andy.
Lelaki dengan tinggi menjulang, dan uniknya berpakaian kuning terang itu seperti menahan senyum menatapku yang sedang memasang wajah galak kepadanya.
"Jangan suka marah, nanti lapar lagi lho," katanya dengan wajah geli, menatapku sembari mengingat-ingat.
Aku memalingkan wajah. Jelas sekali, kalau lelaki usil ini adalah salah satu rombongan tamu dari pihak laki-laki. Jadi, mau tak mau demi Windaku yang tersayang. Aku berusaha bersikap sopan.
"Salah orang, kan Mas? Tadi dikira teman lama bukan? Atau kenalan? Ternyata kita nggak pernah ketemu atau benar-benar kenal kan?" kataku dengan senyum terpaksa. Hingga aku merasa bibirku berkedut marah.
Mungkin, aku harus segera menuntaskan menuku ini, lalu memanggil taksi online untuk segera menyingkir dari keramaian ini.
"Siapa bilang, kita pernah ketemu—"
"Eh, Ibu cari-cari ke mana-mana ternyata di sini, Nduk?" seru Ibu tak kalah keras dengan dentuman music. Terlihat wajah Ibu belepotan keringat, dan kebayanya sedikit basah. Betul-betul rewang, nggak seperti aku yang seenaknya makan-makan di tempat sesepi ini.
Lalu Ibu memutar badan, menemukan lelaki usil tadi dengan senyum memuakkan yang entah dari mana ia belajar semua itu. Aku tak habis pikir bisa menemukan sejenis buaya di tempat ini.
Argo sebagai buaya sejati saja tidak berani menampakkan diri di sini. Malah, ketemu spesies lain yang begitu percaya diri.
"Lho ini Biru?" Ibu tertawa senang, seperti menemukan sekotak emas di halaman ini, badan gemuk ibu bergoyang sempurna dengan lonjakan rasa yang entah terasa aneh bagiku.
"Nggih, Bu. Saya Biru," tiba-tiba manner lelaki itu berubah seratus delapan puluh derajat. Begitu sopan dan sangat sempurna di hadapan ibuku. Siapa sih dia ini?
OOO
"Ingat kan, Nduk. Biru dulu tetangga kita di desa. Saat itu umur Biru masih delapan tahun, sementara kamu masih tiga tahun setengah. Kamu sering lho main-main ke rumah Biru. Nggak pakai baju lagi," Ibu bercerita begitu antusias tanpa memerhatikanku yang tiba-tiba memerah malu.
"Kok Ibu ngomong gitu sih?"
"Lha kenyataannya begitu. Kamu suka sekali main dengan Biru saat itu. Hujan-hujan bareng, lalu mandi bareng, berenang di sungai depan rumah bareng-bareng. Ingat kan Nak Biru sama Anjani?"
Lelaki itu berpikir sebentar, lalu tersenyum tipis. Begitu tipisnya sampai aku mengira ia hanya menarik garis bibirnya sekian milimeter saja.
"Anjani yang dulu kalau nangis kenceng banget, Bu?"
"Iya, iya. Betul itu."
"Yang jago makan kerupuk?"
"Iya, itu."
"Yang suka tiba-tiba muncul di rumah dan ngajak main manten-mantenan itu?"
"Wah, ingat sekali Nak Biru ini!" Ibu terkekeh, lelaki itu juga terkekeh senang. Sudahlah suka-suka kalian saja. Silakan reuni, bye.
"Saya ingat kok. Apa kabar Anjani?"
Aku terdiam agak lama. Aku kesulitan mengumpulkan ingatanku. Masih begitu samar. Saat itu aku masih terlalu kecil, masih balita.
"Nduk, Nak Biru bertanya sama kamu lho?" kata Ibu setengah berbisik di telingaku.
Aku terbengong-bengong.
"Aku Biru—Langit Biru," katanya seraya menatap iris mataku dengan penuh perhatian.
"Seperti judul puisi," komentarku spontan mendengar nama lengkap lelaki itu.
Kulihat wajah semakin sumringah, jelas sekali kalau Ibu tidak ada di sini, ia akan tertawa keras-keras mendengar perkataanku tadi. []
Bersambung ♥️
“Suka baca puisi?” sahut Biru begitu saja, saat aku mengomentari namanya.Aku tentu menggeleng. Aku suka membaca, tapi bukan tipe melankolis melambai-lambai.“Kok tahu kalau ada puisi dengan judul namaku?” tiba-tiba wajah Biru tampak menahan rasa geli, dia melirik penuh arti Ibu yang sedari tadi mengawasi kami.“Aku pernah bikin puisi saat SD dulu, judulnya Langit Biru,” jawabku begitu saja. Tak begitu menghiraukan bagaimana reaksi Biru tadi.“Oh, begitu. Aku jadi tersanjung,” katanya, “berarti namaku menginspirasi.”“Iya, mungkin ya Nak Biru. Biasanya kalau orang nulis itu kan sesuai alam bawah sadar. Seperti Jani ini,” Ibu tiba-tiba mencolek lenganku, tersenyum begitu lebar.Aku meringis. Kenapa? Ada-ada saja sih.Aku menoleh ke arah pintu gerbang di samping taman. Tampak begitu ramai, mungkin ada beberapa rombongan tamu datang. Semakin senja tamu-tamu begitu saja berjubel di halaman dan memenuhi seisi rumah.“Senang bertemu denganmu lagi, Jani.” Katanya lagi.“Terima kasih,” jawabk
Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a
Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad
Tring!Jantungku terasa meledak begitu mendengar lift berhenti di lantai ke-30.Ini beneran kan? Bukan adegan di Fifty Shades of Grey?Aku memiringkan kepala, menggetoknya perlahan agar tidak berhalusinasi menjadi Anastasia Steele, yang sedang bersiap bertemu Mr. Grey.Halah.Ini mungkin efek badan yang terlalu lelah dan letih setelah hari yang demikian berat. Punggungku terasa kaku dan pegal, sementara kakiku sakit.Aku sekarang tentu saja tidak sedang memakai sepatu olah ragaku yang penuh dengan lumpur dan pasir. Setelah mengitari kota dan berlarian bersama kru dan Bang Napi berburu berita.Aku berjuang melewati pintu lift, dan segera saja menemukan ruang lobi yang begitu mewah, penuh kaca, berlantai granit, dan terasa begitu bersih. Berbeda sekali dengan ruang-ruang di bawah. Tempat berkumpulnya para kacung korporat sepertiku ini.Aku menahan senyum geli, menyadari bahwa aku sekarang pun ternyata telah menjadi salah satu kacung korporat di media terbesar di Surabaya ini. Aku tak men
Aku perlahan-lahan membuka mataku yang tadi begitu saja kupejamkan begitu erat. Perempuan di depanku tiba-tiba memasang wajah kemayu dan manja, ada apa sih ini? "Oh, enggak. Tadi aku mau ngucapin selamat sama pegawai barumu ini, Honey," katanya dengan suara dibuat-buat. Aku hanya bengong. "Betulkan? Eh ... ehm, Anja—Anjani?" kata perempuan itu dengan wajah seperti ingin ditabok. Aku lalu mengangguk, tak berani mengangkat wajah. Mungkin yang sedang berada di belakangku ini adalah CEO JMTV. Oh, ngerinya! Kenapa aku masuk ke dalam skandal mereka ini sih? "Mbak Anjani, silakan masuk ke dalam ruangan. Bapak sudah menunggu!" sekretaris berbaju licin dan berdandan prima itu tiba-tiba menarikku dan membawaku ke sebuah ruangan. Aku menurut. Aku masih bingung tentu. OOO Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling tolol dan bodoh sedunia. Bagaimana tidak? Tadi itu kenapa sih sebenarnya? Oh, ya Allah. Ya Tuhanku, tolong bisikkan pada CEO JMTV agar tidak memecatku karena mengetahui skanda
Sialan. Sialan besar tentu saja. Aku dan dua kakiku ini seperti terpaku di atas lantai karpet tebal. Ini karpet dari mana? Lebih mirip rumput golf saking tebalnya. Duh, kok kamu mikirin karpet sih Jani! Aku tersedak dengan ludahku sendiri. Menggeleng lemah saat menemukan kondisi kalau aku kembali jatuh. Jahatnya pula, tersandung kakiku sendiri. Kalau sekiranya ada yang menjegal kakiku ini tentu itu lebih heroik, ada tokoh antagonis yang yang mengindimidasiku. Tapi ini tidak. Justru kakiku ini. Kaki kananku yang semampai (maksudnya semeter tak sampai) inilah yang menyebabkan aku jatuh terjerembab, dengan posisi kepala merunduk ke dalam kantor. Aku tentunya sedikit malu dong. Koreksi, malu yang begitu banyak. Karena ini kantor CEO JMTV yang mulia, agung, dan mewah! Norak banget sih aku ini? Ya, Tuhan. Tolong bisikkan kalimat sakti agar Pak CEO tidak menyadari kegugupanku. Atau setidaknya ia tak marah dengan perilaku konyolku ini. Aku mencoba bangkit, merangkak tentunya. Duh, aku
"Kalau kau sedang gugup, maka kau akan jatuh. Mungkin terjerembab atau tersuruk ke depan. Itu yang bisa kulihat," jelas Biru dengan suara begitu tenang. Sangat tenang sehingga aku merasa begitu ngeri.Entahlah, aku merasa seperti dikuliti di sini. Bisa jadi malah merasa ditelanjangi. Diletakkan di bawah mikroskop, lalu Biru atau what the hell—CEO JMTV ini mengamatiku dengan begitu cermat.Aku diteliti. Seperti subyek penelitian di sebuah lab ilmuwan gila yang mungkin tidak pernah kukenal sebelumnya.Oh, my God. Apa Biru mau balas dendam karena kemarin di pesta Winda aku tidak ramah padanya?Oh, No!Jangan dong."Kenapa Anda ingin bekerja di media visual, Bu Anjani?" itu pertanyaan Biru, tanpa menghiraukan diriku yang seperti terpaku di atas kursi ini.Ini tentu pertanyaan yang begitu mudah bukan?Jadi aku dengan santainya (untuk menutupi kegugupanku) berkata bijak, "Dulu saya bekerja di radio, saya menyukai jurnalisme elektronik. Di media visual ini pun, saya bisa bekerja sesuai passi
"Argo?"Mataku melotot memandanginya.Aku melangkah terburu-buru begitu turun dari lift, dan bergegas melewati lobby kantor. Sudah malam, jadi tidak seramai saat jam kantor biasanya. Hanya saja, kalau studio televisi seperti ini, tentu saja selalu ada yang bekerja hingga pagi. Shift kerja tentu saja.Aku sudah memesan taksi online, agar cepat sampai di tempat kosku. Sayangnya, hingga sekarang aku belum mendapatkan balasan.Sepertinya sudah sangat malam. Apa saja yang kulakukan seharian ini sih? Sampai begini larut?Mana jantungku masih berdebar tak karuan gara-gara menemukan Biru dengan versi yang terasa begitu berbeda.Pikiranku masih penuh dengan bayangan Biru. Oh, mukaku seperti kepiting rebus, begitu meninggalkan Pak CEO dengan nada dering ala kuntilanak. Oke, aku memang aneh, sedikit absurd.Aku sudah berulang kali mengganti nada dering itu. Tapi, selalu saja kembali ke asalnya. Jadi, mau bagaimana lagi?Tiba-tiba kesadaran mengembalikanku ke tempat semula. Aku tertegun begitu la