Share

Petunjuk

Hujan yang mengguyur bumi telah reda, Green sudah menyembunyikan seluruh tubuhnya di balik selimut sejak tadi. Jika tengah merasa gundah, Green akan melakukan hal demikian, tidur berjam-jam lamanya. Sampai hari berganti, Green belum juga beranjak dari kasur kesayangannya, ia masih bermalas-malasan.

Suara derap langkah mendekat ke arah jendela kamar, Green menajamkan pendengarannya, menerka-nerka siapa sosok di balik jendela itu.

“Siapa?” tanya Green memberanikan diri.

Green melihat jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, sudah lebih dari 4 jam ia tertidur. Green memberanikan diri membuka jendela, namun ia tak melihat siapa pun.

“Siapa di sana?” tanya Green lagi sambil membuka jendela kamar. Sejak kepergian ibunya, ia tinggal sendiri dan seringkali mengalami kejadian serupa, Green tak pernah takut karena ketakutan terbesar dalam hidupnya adalah kehilangan Melan—sang mama, dan ia telah melewati hari-hari berat itu.

“Green, ini gue,” ujar sosok di balik jendela.

“Ser, lo ngapain di sini malem-malem? Ayo masuk.”

“Enggak Green, gue cuma sebentar, ada hal penting yang perlu gue omongin.”

“Omonginnya di dalem aja ya, ayo masuk,” ajak Green lagi. Green hendak beranjak dari kamar untuk membuka pintu ruang tamu, namun Sera menolak.

“Di sini aja, Green.” Akhirnya Green mengalah, ia membiarkan Sera berbicara padanya lewat jendela, seperti permintaan wanita itu.

“Green, Alta yang sekarang bukan Alta yang dulu,” tutur Sera tiba-tiba.

Green dapat melihat ekspresi serius Sera saat mengatakannya. “Sera, apa maksud lo ngomong gitu?” tanya Green yang belum mengerti maksud Sera.

“Jangan terlalu mudah percaya, bahkan sama orang terdekat lo sekalipun.”

“Sera, gue gak ngerti maksud lo.” Green semakin bingung, ia belum memahami makna ucapan Sera.

“Setelah ini, banyak hal yang akan lo lalui, lo harus kuat.”

“Sera…”

“Gue cuma mau bilang itu, gue pamit, Green.”

“Sera…” Green berteriak, ia terbangun dari tidurnya. Keringat mengucur deras di leher dan pelipis wanita itu. Sera—sahabatnya yang telah meninggal karena mengidap gagal ginjal itu datang ke mimpinya, sudah lama Sera tak menyapanya lewat mimpi, dan kali ini Sera datang mengatakan sesuatu yang tidak Green pahami. Green mengambil segelas air mineral di atas nakas kemudian meneguknya sampai habis. Setelah itu, ia menoleh ke arah jendela yang masih tertutup. Berbeda dengan jam di mimpinya yang menunjukkan pukul 01.00 dini hari, Green dapat melihat jarum jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul 03.00 pagi.

“Sera…” Green memanggil nama itu dengan suara lirih.

Dulu, Green dan Sera bersahabat. Sera tinggal tak jauh dari rumahnya, sejak kecil mereka selalu bermain dan bersekolah di tempat yang sama sampai SMA. Sera merupakan satu-satunya orang yang tahu cinta terpendam Green pada Alta. Green selalu bercerita apa pun pada Sera, termasuk tentang ketertarikannya pada Alta. Namun, sejak Alta memiliki kekasih, Green mengubur dalam-dalam cintanya pada lelaki itu. Sampai pada akhirnya, Alta mendekati Green beberapa bulan sebelum Melan meninggal dunia.

Sejak kelas 10 Sera sudah rutin cuci darah, Green tak henti menyemangati Sera, semangat hidup Sera pun sangat tinggi, bahkan Sera sangat ceria, tidak terlihat seperti tengah mengidap penyakit serius, Green dan Sera layaknya saudara yang saling menguatkan. Sampai akhirnya, dua bulan setelah kepergian Melan Sera menyusul. Tentu saja itu pukulan yang berat bagi Green, kehilangan seorang ibu dan sahabat di waktu berdekatan adalah hal yang paling menyakitkan.

Sebelum kepergiannya, Sera berpesan pada Alta agar menggantikan posisinya untuk selalu menjaga dan menemani Green, dan Alta pun setuju. Di sebuah kamar rumah sakit dengan berbagai alat bantu pernapasan di tubuh Sera, Alta berjanji untuk selalu menjaga Green, janji yang sampai saat ini masih Green ingat.

Green menangis histeris saat Sera mengembuskan napas terakhir tepat di depan matanya, dan saat itu Alta mendekapnya dengan erat. Dunia Green seolah berhenti kala itu, Green merasa hidupnya tak lagi bermakna. Green merasa beasiswa yang ia terima tak ada gunanya, karena Melan yang berjuang mati-matian agar Green bisa melanjutkan pendidikan dengan mendaftarkan Green les sana-sini telah tiada, ditambah Sera sahabatnya yang juga berjanji akan berkuliah di universitas yang sama turut meninggalkannya.  Saat itulah awal mula hubungan Green dengan Alta dimulai, Alta menepati janjinya pada Sera dan mereka berpacaran. Saat Alta memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di tempat yang berbeda dan menjalani hubungan jarak jauh, Green sempat menolak karena tidak ingin Alta pun sampai meninggalkannya. Butuh waktu cukup lama sampai Alta berhasil meyakinkan Green bahwa tidak akan ada yang berubah meskipun mereka berjauhan, akhirnya Green mengerti dan menerima keputusan Alta. Green  menjaga hatinya hanya untuk Alta, sampa saat ini.

Tanpa terasa air mata Green tumpah ketika mengingat kenangannya bersama Sera, sesuatu yang tadi dikatakan Sera membuat hatinya semakin gundah gulana. “Ser, apa itu petunjuk dari lo?” tanya Green sambil terisak.

Ucapan Sera dalam mimpinya terus berputar di kepala, bayangan tentang Alta yang mendekapnya dengan erat kala ia merasa sangat rapuh membuat Green ingin menampik semua hal negatif tentang Alta, termasuk apa yang dikatakan Sera.

“Ser, lo kangen ‘kan sama gue? Makanya tadi lo nemuin gue, besok gue janji bakal tengokin lo, tunggu gue ya,” ujar Green sambil tersenyum menatap fotonya bersama Sera menggunakan seragam SMA.

***

“Cherry, kamu pikir dengan kamu mabuk-mabukan begini semua masalah selesai?!” tanya Langit berapi-api saat mendapati Cherry diantar temannya dalam keadaan mabuk berat, sejak tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya Cherry mulai sulit dikendalikan, terlebih saat wanita itu mulai mengenal dunia malam. Lelaki yang tadi mengantar Cherry diusir Langit begitu saja, Langit menggendong tubuh Cherry dan membawanya ke kamar.

“Lo gak usah munafik, gue tahu lo juga suka minum, ‘kan?” Cherry meracau, ia tertawa dan menatap Langit dengan tatapan meremehkan.

Langit membaringkan Cherry di ranjang, kemudian melepas high hells yang dikenakan wanita itu. “Kak, Zein selingkuh, dia duain gue.” Cherry masih meracau, Langit yang tadi hendak meninggalkan Cherry menghentikan langkahnya, memutuskan untuk mendengarkan.

“Zein selingkuh sama Violet, lo kenal Violet? Sahabat gue dari SMA, lo tau ‘kan gue bela-belain kuliah di sini, jauh sama mama papa itu supaya bisa bareng dia, tapi dia ambil pacar gue, Kak, pacar pertama gue. Seumur-umur gue belum pernah pacaran, Zein cinta pertama gue, dan sekarang dia selingkuh sama sahabat gue sendiri. Lo bisa bayangin gimana sedihnya gue sekarang?”

Langit mengelus kepala adiknya dengan lembut, ternyata ini yang membuat Cherry mabuk berat, dikhianati sahabat sekaligus kekasihnya.

“Gue frustasi Kak, Zein itu laki-laki yang gue suka sejak semester satu, gue udah kasih semuanya sama dia termasuk.., hoeekkkkk hoeeekkk.” Belum sempat Cherry melanjutkan kalimatnya, ia memuntahkan seluruh isi perutnya, dengan cepat Langit menggendong Cherry menuju kamar mandi, membiarkan sang adik menyelesaikannya muntahnya di sana.

Ditatapnya sprey yang kotor akibat ulah Cherry, dengan cekatan Langit mengganti sprey tersebut, berbagai pikiran buruk masuk ke kepalanya, Apa yang hendak dikatakan Cherry tadi? Termasuk apa? Apa Cherry dan Zein telah melakukan hal yang tidak seharusnya? Berbagai pertanyaan memenuhi kepala Langit, esok ia akan mencoba berbicara dan menanyakannya pada Cherry.

“Kak Langit..,” teriak Cherry dari balik kamar mandi.

Langit segera menuju kamar mandi, keadaan Cherry sangat memprihatinkan, wanita itu terduduk di lantai, rambut panjang yang biasanya selalu terlihat indah dibiarkan acak-acakan. Tanpa pikir panjang, Langit kembali menggendong adiknya.

“Kak mulai sekarang Violet bukan lagi temen apalagi sahabat gue, dia udah ngerebut Zein, temen gue sekarang cuma Green,” ujar Cherry dalam gendongan Langit.

“Green, sedang apa wanita itu?”

Disaat seperti ini bisa-bisanya Langit justru memikirkan Green, dengan cepat Langit menggeleng-gelengkan kepala dan merebahkan Cherry di tempat tidur. Langit menatap Cherry dengan tatapan iba, dalam hati ia bertanya, Apa yang telah dilakukan Zein pada Cherry? Saat ini juga Langit ingin sekali bertemu dan menghajar laki-laki yang telah menyakiti adiknya. Namun, ia tak tega jika harus meninggalkan Cherry sendirian. Langit menyelimuti tubuh Cherry, mengecup kening wanita itu dengan lembut kemudian mematikan lampu dan keluar dari kamar itu.

Langit kembali ke ruang kerjanya, menghabiskan waktu di sana sampai kantuk menyerang. Langit selalu menggunakan waktu malam hari untuk menulis, menurutnya itu adalah waktu-waktu tenang. Itu juga lah yang saat ini tengah dilakukan Langit, ia tengah mempersiapkan novel baru. Jemarinya mulai menari-nari di atas keyboard matanya fokus menatap layar, ia tengah berkonsentrasi penuh pada tulisannya ditemani secangkir kopi di atas meja.

Malam semakin larut, Langit masih bertahan pada posisinya sampai suara teriakan Cherry membuyarkan semuanya. “Tolongg jangannnnn, jangannnn.”

Sontak saja Langit segera berlari menuju kamar adiknya, ia buru-buru menyalakan lampu kamar Cherry, dilihatnya Cherry masih tertidur dengan keringat membasahi kening. Langit segera mendekat dan menepuk-nepuk pipi Cherry lembut. “Cher, ini kakak.”

Cherry membuka mata dan terlonjak kaget. “Kak Langit.” Napasnya menderu menandakan wanita itu baru saja bermimpi buruk, Cherry segera memeluk Langit dengan erat.

“Gue mimpi buruk, Kak.”

“Kamu tenang ya, ada kakak di sini,” ujar Langit seraya mengelus lembut rambut panjang adiknya.

“Kak, boleh gak malam ini Green nginep di sini? Gue takut tidur sendirian,” pinta Cherry.

Langit tak langsung menjawab, ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Lain kali aja ya, ini udah jam tiga pagi, Cher. Green pasti udah tidur,”

Arah pandang Chery tertuju pada jam weker yang berada di atas meja belajarnya, benar apa yang dikatakan Langit, ini sudah pagi dan sepertinya Green pun sudah tertidur.

“Besok gue mau ajak Green nginep di sini ya, Kak, sekalian ngerjain tugas. Boleh, kan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status