Share

Kebohongan

Langit masih berada di tempat terakhir ia bersama Green, belum berniat untuk kembali ke rumahnya, yang dilakukan Langit hanya menatap kursi penumpang di sampingnya dan membayangkan Green ada di sana. Selain karena Green berbeda dengan wanita kebanyakan, wajah dan sikap Green mengingatkannya pada seseorang di masalalu, seseorang yang pernah mengisi hatinya. Langit tersenyum membayangkan wajah Green, namun seketika senyum itu pudar digantikan dengan ekspresi datar.

Alarm ponsel Langit berbunyi, sudah waktunya ia kembali ke rumah karena harus melanjutkan pekerjaannya. Langit mengemudikan mobil dan meninggalkan tempat tersebut, esok atau lusa ia berniat akan kembali ke tempat itu untuk sekadar meminta maaf pada Green karena telah membuat wanita tersebut tidak nyaman dan ketakutan.

“Green.., nama yang indah, seindah pemiliknya.” Langit berbicara dengan dirinya sambil tersenyum membayangkan wajah Green.

Bayangannya tentang wajah Green seketika hilang saat ponselnya bergetar, ada panggilan masuk dari Kalila—sang bunda. Langit mendengus kesal, sudah bisa dipastikan Kalila akan membahas mengenai pernikahan, dan itu sangat menjengkelkan bagi Langit.

“Lang, kamu di mana?” tanya Kalila setelah panggilan terhubung.

“Di jalan, Bun,” jawab Langit singkat.

“Jalan mana? Jalan kenangan?”

“Di jalan pulang, tadi Langit habis nganterin temennya Cherry.”

“Kamu nganterinnya sampe rumah, kan? Temennya Cherry gak kamu turunin di depan gang, kan?” Kalila berbicara dengan suara heboh.

“Temennya Cherry minta diturunin di depan gang, Bun, mobil Langit gak bisa masuk, gangnya terlalu sempit.”

Terdengar kehebohan dari suara dibalik telepon, sepertinya Jerry—sang ayah mengambil alih ponsel Kalila, lelaki itu mengatakan sesuatu yang membuat Langit geleng-geleng kepala, “Ganteng doang, nganterin cewek depan gang. Lang, kamu tau gak sih kalau yang sempit-sempit itu enak?”

Setelah mengatakan itu Langit dapat mendengar suara rintihan Jerry karena sepertinya Kalila mencubit pinggang lelaki itu, hal biasa yang dilakukan Kalila saat kesal pada Jerry.

“Bunda kenapa telepon?” tanya Langit. Jika bukan bundanya, sudah bisa dipastikan Langit akan menyudahi panggilan tersebut sejak tadi.

“Lang, anak temen bunda ada yang mau nikah. Kamu tau gak, sih, temen-temen bunda itu udah pada pamer menantu, kamu kapan kasih bunda menantu?”

Benar kan dugaan Langit? ujung-ujungnya Kalila akan membahas hal itu. Padahal Langit sudah menjelaskan dan meminta Kalila untuk tak membahas hal tersebut secara berulang-ulang.

“Nanti, Bun.”

“Kamu ini nanti-nanti mulu. Bunda juga pengin kayak temen-temen bunda, nyalon, belanja, masak sama menantunya.”

“Bunda kan bisa sama ayah,” ujar Langit tetap berusaha santai meskipun keinginan untuk menyumpal mulut istri ayahnya itu sangat besar.

“Om om itu susah diajak pergi Lang, meetiiiiinggggg terus padahal udah kaya.”

Suara selanjutnya yang Langit dengar adalah suara milik Jerry. “Kalau ayah gak kaya, bunda gak bisa bawa menantu nyalon sama belanja bareng.”

“Yaudah, Bun, Langit tutup dulu ya, Langit lagi nyetir,” putus Langit akhirnya karena sudah lelah meladeni ayah dan bundanya.

“Kamu itu kebiasaan kalau diajak ngobrol soal pernikahan pasti menghindar,” Kalila mendengus kesal, dan Langit mendengarnya.

Langit sangat paham dengan tingkah laku bundanya, saat ini wanita itu tengah kesal karena dirinya selalu tak memberikan jawaban pasti jika berbicara soal itu.

“Bun…,”

“Ya sudah, kamu hati-hati. Minggu depan ayah sama bunda ke Jakarta, bunda kangen sama kalian.”

“Iya Bunda. Ayah sama Bunda jaga kesehatan ya.”

“Iya, Nak, kamu juga.”

Setelah mengakhiri panggilan itu, Langit kembali fokus pada jalanan. Entah sudah berapa kali Kalila menanyakan hal serupa dan Langit selalu menghindar. Langit tak tahu sampai kapan ia menyangkal kebutuhan hatinya. Hatinya membutuhkan penghuni, namun Langit masih enggan, mungkin sampai batas waktu yang tak bisa ditentukan.

***

Alta panik saat Green bertanya mengenai pantai, ia menatap ponselnya dan melihat status W******p yang dibagikan beberapa jam lalu. Alta yakin ia telah memprivasi postingan tersebut agar Green tak bisa melihatnya, namun mengapa wanita itu tiba-tiba bertanya hal demikian? Siapakah yang memberitahu Green? Nanti ia akan mencari tahu, yang terpenting sekarang Green percaya padanya.

Alta beranjak dari kamar kemudian mendapati wanita yang telah bersamanya kurang dari satu tahun tengah memasak. Alta memeluk pinggang wanita itu dengan erat. “Sayang, kamu masak apa?” tanya Alta dengan suara mesra.

“Aku bikin sayur sup kesukaan kamu,” jawab wanita itu lembut sembari memeluk Alta.

“Makasih yaaa, aku sayang banget sama kamu,” Alta mengecup punggung tangan wanita itu dengan lembut.

“Sama-sama, aku juga sayang banget sama kamu. Al, ada yang mau aku omongin.” Nada bicara wanita itu mendadak serius, Alta merangkul pinggang wanita tersebut dan membawanya duduk di sofa.

Sudah sejak dua bulan yang lalu mereka memutuskan untuk tinggal bersama di rumah Reina, awalnya Alta menolak karena takut Green curiga. Namun karena Reina terus menerus membujuknya, Alta pun setuju. Alta dan Reina—telah menikah siri tentunya tanpa sepengetahuan Green.

Reina menatap Alta tepat di manik mata lelaki itu. “Green gimana? secepatnya dia harus tahu tentang kita, Al, aku gak mau begini terus. Hati aku sakit setiap denger kamu teleponan sama Green, belum lagi liat chat kalian. Aku gak tahan, Al.” Reina menangis dan Alta mendekapnya dengan erat.

“Kamu sabar ya, aku lagi cari waktu yang tepat buat ngasih tau Green.”

“Kamu cinta aku, Al?”

“Aku cinta banget sama kamu, Rei,” jawab Alta sambil menatap mata Reina dalam.

“Kamu cinta Green?”

Alta diam tak menjawab, sebelum ini Reina selalu menanyakan hal yang sama dan Alta tak pernah menjawabnya. Hari ini, Reina harus mendengar semuanya dari mulut Alta, ia ingin mendengar kejujuran lelaki itu terhadap perasaannya pada Green dan dirinya.

“Al…,” panggil Reina saat Alta tak merespon sama sekali.

Please jawab.”

“Sayang, sebaiknya kamu istirahat, udah malam.”

Alta hendak meninggalkan Reina namun Reina menahan lengan lelaki itu. “Putusin Green secepatnya.”

Alta berbalik menghadap Reina, Reina dapat melihat raut wajah Alta yang seperti tidak rela jika harus melepas Green. “Rei, aku janji akan putusin Green, tapi gak segampang itu, kamu sabar dulu ya,” ujar Alta dengan suara lelahnya, sudah berkali-kali ia menjelaskan hal tersebut pada Reina, namun sampai saat ini Reina belum juga mengerti.

“Harus sabar sampai berapa lama lagi, Al? Sebenarnya apa yang kamu tunggu?”

“Reina sayang, aku nunggu waktu yang tepat, kasih aku waktu seenggaknya sampai Green ulang tahun, dua bulan lagi.”

“Jangan bilang kamu akan ke Jakarta nemuin Green?”

“Reina..,” Alta menyentuh punggung tangan Reina sambil menatap wanita itu dengan tatapan memohon. “Gak, jangan harap aku izinin kamu pergi,” ucap Reina tegas.

Setelahnya Reina menepis tangan Alta yang menyentuh punggung tangannya, Reina menatap mata lelaki itu dengan tatapan tajam. “Kalau kamu gak putusin Green secepatnya, aku yang akan temuin Green, aku bakal bilang semuanya. Aku yakin setelah tau semua kebenarannya, Gren akan ninggalin kamu.”

“Jangan, Rei, aku yang akan bilang semuanya sama Green.”

Setelah mengatakan hal itu, Reina pergi meninggalkan Alta. Alta mengacak rambutnya kasar, secepatnya ia harus menyudahi hubungannya dengan Green karena jika tidak Reina akan berbuat nekat.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status