Share

Siapa?

Langit memilih diam, membiarkan Green hanyut dengan pikirannya. Bahkan wanita itu tak menyadari bahwa saat ini dirinya tengah bersama Langit di mobil lelaki itu. Terlalu asik mengenang memori bersama Alta membuat Green lupa bahwa ada manusia lain di sampingnya.

“Maaf, Pak,” tutur Green dengan nada tidak enak.

“Tidak apa-apa, Green.” Langit menanggapinya dengan santai.

Hening kembali menyelimuti keduanya, hujan belum juga reda, suara guntur kembali bersahut-sahutan. Orang-orang yang berlalu lalang berlarian mencari tempat berteduh, mereka yang awalnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pada akhirnya dikalahkan oleh hujan.

“Alta pasti sosok yang sangat berarti bagi kamu,” ucap Langit membuka obrolan.

Green menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan, tangannya memeluk tas ransel yang berada di pangkuannya. Sejak tadi ia belum menyentuh ponselnya, keinginannya untuk melihat benda itu sangat kuat namun ingatan tentang Alta yang melarangnya bermain ponsel saat hujan turun menghentikan niatnya.

“Bisa dibilang begitu, Pak,” jawab Green lirih.

Sesuatu dalam diri Green membuat Langit tertarik untuk mengenal Green lebih jauh, ia melihat Green tak seperti wanita kebanyakan saat bertemu dirinya. Wanita itu bahkan terkesan cuek dan tak peduli, padahal Langit yakin bahwa Green tahu siapa dirinya.

“Green...,” panggil Langit pelan, Langit sangat menyukai nama itu, sepertinya setelah ini nama Green akan menjadi favoritnya.

“Iya, Pak?” jawab Green.

“Sebaiknya jangan panggil saya bapak, saya masih terlalu muda untuk mendapat panggilan itu. Lagipula, selain di kampus saya bukan dosen kamu.”

Mendengar ucapan Langit, Green merasa tidak enak, pasalnya lelaki itu secara terang-terangan menolak panggilan yang ia sematkan, lantas apa panggilan yang diinginkan lelaki tersebut? Green bertanya-tanya dalam hati. Hal itu dipahami oleh Langit. “Panggil saya kak, seperti Cherry memanggil saya,” ujar Langit sambil tersenyum tipis.

Saat Langit tersenyum, lesung pipi lelaki itu tercetak meskipun tak cukup jelas. Lagi-lagi Green salah fokus dengan lesung pipi itu, buru-buru Green mengalihkan pandangan sebelum tertangkap basah oleh Langit.

“Bagaimana, Green? Kamu tidak keberatan, kan?” tanya Langit memastikan.

“Ti-tidak, Pak. Eh Kak,” ralat Green yang mendadak gelagapan.

“Ada apa, Green? Ada yang salah?” Langit bertanya demikian karena menangkap kegugupan dalam nada bicara Green.

“Tidak, Kak.”

“Boleh saya mengatakan sesuatu?”

“Silakan.”

“Kamu adalah satu-satunya orang yang saya kenal tapi tak meminta tanda tangan setelah membeli novel Kilas Balik karya saya.”

Green teringat akan novel yang berada di tasnya, novel yang dimaksud Langit. Jangankan meminta tanda tangan, ia saja baru mengetahui bahwa lelaki yang berada di sampingnya adalah penulis novel tersebut.

“Saya baru tahu Kak Langit penulisnya,” Green jujur pada Langit, menurutnya itu lebih baik daripada berbohong dan mengatakan omong kosong.

Reflek tangan Langit terangkat kemudian mengacak-acak rambut Green, dugannya ternyata salah. Langit merasa lucu dengan tingkah gadis polos disampingnya, sepertinya alasan Cherry menjadikannya teman kelompok adalah karena keduanya memiliki kesamaan, terlihat dari cara wanita itu saat berhadapan dan bertemu dengan dirinya di luar kampus. Green yang mendapatkan perlakuan itu segera menjauhkan diri, lagi-lagi pikirannya tertuju pada Alta. Rasa bersalahnya membuncah, ia menatap Langit dengan tatapan tak suka.

“Maaf Kak, sebaiknya tidak melakukan hal begitu lagi, saya permisi.” Setelah mengatakan itu, Green buru-buru keluar dan menerobos hujan. Persetan dengan basah kuyup dan sakit, yang terpenting dirinya dijauhkan dengan hal-hal yang membuat ia tanpa sengaja menyakiti Alta.

Langit yang belum sempat meminta maaf berusaha menahan kepergian Green, namun wanita itu terus berlari tanpa mengacuhkan panggilannya. Rasa bersalah akibat perlakuannya beberapa saat lalu membuat Langit kehilangan kesempatan untuk mengenal Green lebih jauh, wanita itu telah masuk ke dalam gang sempit dan hilang dari pandangan.

***

Sesampai di rumah, Green menangis sejadi-jadinya, merasa bersalah pada Alta atas apa yang ia lakukan hari ini. Diantar oleh Langit, bahkan Green mengizinkan lelaki itu mengacak-acak rambutnya, sebuah kebiasaan yang hanya boleh dilakukan oleh Alta.

Green menghapus air matanya dengan kasar, ia mengambil ponsel dan menyalakan ponsel tersebut. Tak ada panggilan ataupun pesan singkat dari kekasihnya, bahkan pesan yang ia kirimpun hanya sekadar dibaca. Green memutuskan untuk melihat pesan lain, matanya tertuju pada sebuah pesan yang berisi foto. Ia membuka foto yang dikirimkan Sindi— rival olimpiadenya semasa SMA dan berkuliah di tempat yang sama dengan Alta. Meskipun Sindi pernah menjadi rivalnya, komunikasi keduanya masih berlanjut hingga sekarang. Sesekali Green bercerita tentang Alta, dan sesekali juga Sindi menghubungi dirinya untuk sekadar haha hihi dan basa-basi.

Sembari menunggu foto tersebut terbuka, Green mengeringkan rambutnya dengan handuk pemberian Alta. Bahu Green meluruh kala melihat foto tersebut, setelahnya Sindi mengirimkan pesan.

‘Green, lo ke Jogja kok gak ngabarin gue? Parah lo, ya!’

Green mengabaikan pesan itu, ia segera melihat kumpulan status W******p. Perasaannya tidak enak, pikirannya berkecamuk namun ia berusaha untuk tenang. Ketenangan yang berusaha Green ciptakan lenyap seketika, ia tak melihat status Alta, padahal jelas sekali foto yang diberikan Sindi merupakan hasil tangkapan layar dari status Alta, sepertinya Alta memprivasi postingannya agar Green tak dapat melihat. Green mengamati foto yang dikirim oleh Sindi sekali lagi. Foto siluet dua manusia yang tengah menatap matahari terbenam, Green yakin lelaki dalam foto itu Alta, meskipun itu hanya siluet Green bisa mengenalinya. Namun, yang disebelah laki-laki itu bukan dirinya, siapa wanita itu?

Tanpa pikir panjang, Green segera menghubungi Alta, Green menunggu sampai Alta menjawab panggilannya. Pada dering ketiga, Alta mengangkat panggilan tersebut. Lelaki itu menyapa Green dengan suara khas orang bangun tidur.

“Hai sayang.”

“Al, kamu tidur?”

“Iya sayang, maaf ya aku ketiduran sebelum sempet bales teks dan angkat telepon kamu,” ujar Alta dengan nada bersalah.

Green mengabaikan ucapan Alta, ia justru bertanya hal lain. “Seharian ini kamu ngapain aja?” tanya Green.

“Seharian ini aku di kampus sayang, bareng temen-temen organisasi, kita lagi melakukan penggalangan dana buat bantu korban banjir.”

“Yakin cuma itu? Gak ke pantai?” tanya Green lagi, kali ini ia bertanya dengan nada curiga.

“Ke pantai? Enggak. Ngapain? Kamu boleh tanya Daren kalau gak percaya, aku barengan dia juga tadi.” Daren adalah teman SMA mereka yang juga berkuliah di tempat yang sama dengan Alta, namun sudah lama Green tak berkomunikasi dengan laki-laki itu.

“Kemarin, kemarinnya, atau seminggu yang lalu gak ke pantai juga?” tanya Green memastikan dan mengabaikan soal Daren.

“Sayang, kamu kenapa? Aku gak ke pantai hari ini, kemarin, atau seminggu yang lalu. Kamu, kan, tau aku gak suka mainan air.”

“Bener? Kamu gak bohong, kan?”

“Enggak sayang, buat apa aku bohong sama kamu.”

“Aku percaya sama kamu.”

Meskipun dalam hatinya masih ada sedikit keraguan, Green memutuskan untuk percaya pada kekasihnya, mungkin itu hanya orang yang kebetulan mirip dengan Alta. Ia percaya Alta tidak akan berkhianat apalagi mengingkari janjinya.

“Ya udah, aku mau ngerjain tugas sayang, besok harus dikumpulin soalnya. Aku tutup dulu gak apa-apa, ya?”

“Iya, semangaat, Al.”

“Kamu juga semangat ya, jangan lupa istirahat, jangan terlalu capek.”

“Iya, aku cinta kamu.”

“Aku juga.” Alta mengakhiri panggilan teleponnya, sepertinya budaya Green yang harus selalu mematikan telepon akan benar-benar hilang, mengingat sudah dua kali Alta melakukannya. Green berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran buruk tentang Alta dan mengabaikan informasi dari Sindi, rasa percayanya pada Alta melebihi rasa percayanya pada siapapun.

Green kembali melanjutkan aktivitasnya mengeringkan rambut, tak lama kemudian Ponsel Green kembali berdering, nama Sindi memenuhi layar, Green segera mengangkat panggilan itu.

“Greennnnnnnnnnn.., lo keterlaluan banget, sih, kenapa ke Jogja gak ngasih tau gue? Gak mampir lagi!” teriakan Sindi cukup memekakkan, Green menjauhkan ponsel dari terlinganya.

“Sin, lo sok tau banget, sih,” ucap Green pura-pura kesal.

“Kemarin gue liat Alta ke pantai sama cewek, gue mau nyamperin karena gue pikir gak ada cewek lain dalam hidup Alta selain lo, tapi adek gue malah nangis minta pulang.”

Keyakinan dan kepercayaan yang tengah Green upayakan kembali berantakan setelah mendengar penjelasan Sindi, Green diam selama beberapa detik hingga Sindi kembali bersuara.

“Green, sumpah ya lo jahat banget. Pokoknya gue gak mau tau, kalau lo ke Jogja lagi, lo harus nginep di rumah gue, titik!”

“Iya Sin, nanti gue nginep. Ya udah, gue tutup dulu teleponnya ya, gue ada perlu.”

“Oke deh, see you, Green.”

“See you.”

Green meletakkan ponselnya dengan tatapan berkaca-kaca, siapa yang harus ia percaya? Jika Sindi benar, siapa sebenarnya wanita yang bersama Alta?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status