SAMPAI di rumah, aku melihat adikku Yeyen sedang melayani seorang pembeli di toko. Aku pun membuka pagar rumah yang sudah tidak tergembok. Sebelum aku masuk, pandangan mataku terganggu. Rupanya ada satu pot bunga yang pecah di halaman luar rumah.
Kok bisa pecah?
Ya sudah tidak apa-apa. Mungkin karena ulah anak-anak yang bermain hingga menyenggol pot lalu terjatuh dan pecah. Ibuku sendiri memang suka bercocok tanam. Di halaman depan rumah, berjajar dan bergantungan berbagai jenis tanaman hias dan toga.
“Opo’o iku?” tanyaku kepada Yeyen.
“Mboh gak ngerti,” jawabnya.
Aku pun mengambil sapu dan cikrak lalu membersihkan sekaligus membuang pot bunga yang pecah itu ke tong sampah.
Setelah itu, Yeyen pun bertanya semalam aku tidur di mana? Aku menjawab di rumah Mr. P di Manyar Sambongan. Kan tidak mungkin aku menjawab tidur di rumah Juleha. Aku pun menambahkan, ketika aku pulang, pagar rumah sudah dalam keadaan tergembo
“Lang!” teriak seorang perempuan memanggilku dari luar kamar. “Galang,” panggilnya lagi. “Tangi, Le! Gak jemput Amel ta?”“Nggih, Buk!” balasku setengah sadar dari dalam kamar.Tapi, kok ibu bisa tahu aku mesti jemput si Amelia, malam ini? Aku kan gak cerita ke beliau. Mungkin saja, bapak yang kasih tahu. Aku lihat jam dinding hitam bergambar logo huruf A dan W putih yang saling tumpuk. Telunjuknya yang pendek mengarah ke angka 5, sementara telunjuk panjanganya menunjuk angka 1. Sudah jam lima sore.Rupanya aku ketiduran setelah bermain gitar tadi. Paracetamol memang jos markuojos! Pantas, orang berkendara dilarang mengonsumsinya.Aku pun merenggangkan ototku yang kaku, lalu menengok ponsel. Ada beberapa pesan percakapan via WhatsApp. Masih dalam keadaan terbaring, aku baca siapa saja yang mengiriku pesan. Yang terbaru ada si Ameliaia Limantoro yang mengingatkanku untuk menjemputnya tepat jam tujuh malam. Ak
DI beranda, Suk Budi sepertinya mengeluarkan sesuatu dari saku celana pendeknya. Rupanya, dia mengambil cangklong bambu-gading berukir, korek api, dan sejumput tembakau dan cengkeh. Suk Budi duduk di seberang Koh Vincent yang sibuk mengamati kliping berita.Cangklong itu pipa rokok atau once, kalok kalen gak tau.Jari-jari Suk Budi tampak lincah saat mencampur tembakau dan cengkih. Ramuan jamu itu dia masukkan ke ujung pipa yang menyerupai cawan. Suk Budi kemudian membakarnya dengan korek api.Pria tua Tionghoa ini memejamkan mata dan menghirup nikotin dengan sungguh-sungguh. Asap yang keluar dari mulutnya sama seperti asap knalpot becak tua.Saat menghisap pipa rokok, Suk Budi terlihat lebih karismatik. Tapi menurutku, dia juga pria berkelas. Cangklong memang perangkat legendaris. Berdasarkan sejarahnya, alat tersebut sudah digunakan jauh sebelum industri rokok berkembang.Setelah itu, Suk Budi putar berdiri lalu mengantarku masuk ke ruang tamu da
DARI kejauhan, aku melihat lampu pengatur lalulintas berubah menjadi merah. Kuhentikan mobil di belakang mobil pikap yang mengangkut sejumlah penumpang bergamis. Mereka tampak sedang koor dengan bahasa Arab yang tak aku tahu artinya. Bunyi rebana-rebana membahana mengalahkan bising lalulintas. Ada acara apaan, tanyaku dalam hati?Setelah berkendara beberapa lama, kami masuk Jalan Ahmad Yani. Dari kejauhan, aku bisa melihat gedung Emerald Exhibition and Convention Center diterangi lampu-lampu sorot yang diarahkan ke langit. Puluhan mobil tampak mengular antre demi masuk ke parkiran.FYI, Gedung Emerald ini merupakan salah satu gedung paling megah se-Kota Surabaya. Bangunan ini biasanya dipakai untuk perhelatan acara besar, seperti kongres partai politik, pameran otomotif, hingga bursa lowongan kerja.Selain itu, Gedung Emerald ini memang biasa dipakai oleh orang-orang kaya menggelar resepsi, lantaran ballroom-nya yang super luas dan desainnya yang modern. Fasilit
“BENERAN, nih, Mel,” tanyaku setengah menggeram.Amelia tak langsung menjawabku. Dia malah memarahi manja Kirana karena telah membocorkan rahasianya. Menurutku sih, itu bukan keterampilan yang mesti dia rahasiakan.Demi memproses informasi yang terbaru tentang Amelia ini, aku pun pamit ke dua cewek ini untuk menenangkan diri di luar gedung. Sementara dua cewek cantik ini, melanjutkan mengobrol cantik mereka. Padahal aku cuma ingin merokok.Di luar gedung, aku bisa melihat Jalan Ahmad Yani yang hidup. Cahaya-cahaya dari lampu kendaraan melesat-lesat tak keruan. Di awang-awang, langit tampak cerah menampilkan kerlap-kerlip bintang. Aku jadi membayangkan si Amelia di tengah panggung memainkan biola, sambil disorot lampu. Betapa syahdunya.Di tengah menatap langit itu, aku tiba-tiba teringat dua lintang kemukus yang menjelma bidadari, kemarin. Juleha. Aku periksa WhatsApp di ponsel. Doi tak juga membalas. Rokokku pun sudah habis. Setelah mematikan
AKU pun masuk barisan sambil malas-malasan.Kirana berinisiatif swafoto berempat. Kami pun mulai berpose menyesuaikan diri dengan lebar layar kamera. Dan, cekrek, bunyi shutter ponsel. Kirana lantas melihat-lihat hasil foto lalu mengaguminya. Pada saat itu, ada suara berbisik di telingaku.“Sopo maneh iki?” bisik Mas Inod kepadaku. (Siapa lagi ini?)“Ojok mulai nggosip,” aku menjawab. (Jangan mulai bergosip)“Lha, yang berhijab dulu mana?” tanya Mbak Wulan berbisik.“Jangan mulai bergosip,” aku mengulangi.Kirana lantas berbalik mengadap kami bertiga. Mas Inod, Mbak Wulan dan aku pun langsung bersikap seolah-olah tidak terjadi apa.Aku dan Kirana lantas bersalaman, lalu mengucap terima kasih kepada Mas Inod dan Mbak Wulan. Kirana pun berbalik dan mulai berjalan di depanku. Ketika itu, pantatku didorong Mas Inod, hingga ‘senjataku’ hampir menyentuh pantat Kirana. Untung aku pu
Bunyi dawai-dawai yang digesek busur Amelia Limantoro sungguh menghanyutkan. Seolah-olah perasaanku yang campur aduk malam ini, terwakili oleh permainan biolanya yang menakjubkan.Aku merasa, ada kebahagiaan dalam nada-nada mayor, dan ada pula kesedihan dalam nada-nada minor. Semuanya terjalin kelindan dalam satu harmoni yang agung. Sampai-sampai, aku tak sadar tanganku menggenggam tangan Juleha.Kendati terkejut, aku tak ingin segera melepas genggaman tanganku padanya. Aku masih bersikukuh merasakan kasarnya telapak tangan Juleha. Pikiranku seakan terhubung, betapa keras dan seringnya telapak ini digunakan, hingga menimbulkan bilur dan lecet. Sebagai laki-laki, aku jelas tak sampai hati. Juleha adalah wanita yang kuat nan tabah.Seingatku, sejak kami masih kecil aku tak pernah menyentuhnya dengan sengaja, walau sekedar telapak tangan. Meski Juleha orang yang suka ngomel, aku sangat menghormatinya, sebagai seorang perempuan. Tapi, aku sendiri tak mengerti, menga
“JUWONO!” panggil Suk Alex. “Ambil kursi, bawa ke sini!”Yang dipanggil pun manut. Ketika berdiri dari tempatnya duduk, aku bisa melihat, perawakan Juwono ini jangkung nan tegap. Dengan balutan jas hitam, dia seperti pengawal pribadi Suk Alex. Rambutnya yang pendek rapi, membingkai wajahnya yang oval.Dengan berkacamata, ada kharisma sekaligus kecerdasan yang terpancar. Aku menaksir, usianya setara dengan Koh Vincent, putra sulung Suk Budi. Juwono menyeringai, membetulkan kerah jas, lalu menuruti perintah bapaknya.“Itu putra tertua Suk Alex,” bisik Amelia.Ketika Amelia berbisik itu, aku bisa mengendus aroma mint. Ingin rasanya kugeser pipiku supaya bertemu bibirnya yang tipis-mungil itu. Tapi, aku jadi bertanya-tanya, apa yang telah diperbuat kakekku, sehingga cucunya bisa menerima kehormatan, diambilkan kursi secara langsung oleh putra sulung tuan rumah.Oleh Juwono, kursi yang diambilkannya itu kemudian
"Ambil itu! Yang itu juga!" orang Tionghoa tua itu memerintahkan dengan suara yang keras dan serak kepada anak buahnya.Para katering yang sibuk merapikan makanan tampak ketakutan oleh beberapa orang besar yang mendatangi mereka. Padahal mereka sama-sama orang Jawa.Tiba-tiba aku merasakan seseorang memperhatikan aku lagi. Kali ini, lebih intens dari sebelumnya."Troy!" sapa Alex dengan berdiri lantas membuka tangannya lebar-lebar."Dasar tua bangka! Ngundang gua ke pesta malam-malam!" jawabnya kasar lalu menyapa Alex dengan pelukan ramah.Dari jarak sedekat ini, aku bisa menamatkan wajah enkong Tionghoa satu ini. Wajahnya persegi dibalut rambut cepak ala militer njeprak. Bekas luka di wajahnya yang aku sebutkan sebelumnya, bukan luka bekas luka sayat atau akibat benda tajam lainnya, tapi lebih seperti luka bakar. Dan itu berbekas di separuh wajah dan telinganya.Orang tua yang dipanggil Troy itu lalu menatap Cak Ji. Dia tersenyum sejenak la