Share

Berubah

"Ya enggak bisa dong, Mas." Kembali aku membantah perintah yang bagiku tidak berdasar itu.

"Pak, panggil aku Pak. Bukankah aku atasanmu di kantor ini." Mas Satria meninggikan intonasi suaranya.

"Astaga kesambet apaan, sih. Salah makan palingan, makanya sarapan itu pake nasi bukan petasan cabe." Sengaja suaraku aku pelankan sehingga yang terdengar hanya seperti ngedumel saja.

"Apa? Bicara yang jelas. Jangan kayak orang kumur-kumur," bentaknya padaku.

Tanpa sadar kertas yang berada di tangan aku remas-remas hingga tak berbentuk lagi. Aku bukanlah orang yang pandai mengontrol emosi. Bukan dengan kata-kata atau makian. Aku terbiasa melampiaskan dengan cara meremas apa saja.

"Hei … kamu, ya." Pria itu mengambil kertas yang sudah menyerupai bola tanpa bentuk itu dari tanganku.

Aku hanya melihatnya dengan tatapan malas dan kesal. Masih terlalu pagi untuk merusak mood seseorang. Aku merasa dia ingin membuatku tidak betah dan hengkang dari kantor ini. Oh … tidak bisa, aku yang lebih dulu berada disini.

"Harusnya Bapak lebih profesional, jangan melibatkan masalah pribadi dengan pekerjaan," ucapku kemudian, setelah sesaat mengatur perasaanku yang sebenarnya sedikit berantakan.

"Masalah pribadi? Kamu merasa memiliki masalah pribadi denganku? Berarti kamu yang bermasalah. Aku merasa tidak memiliki masalah pribadi dengan kamu." Pria itu bicara sambil menunjuk ke arah dadanya.

"Kok, saya." Benar-benar sedang menguji kesabaranku sepertinya. Untung Mama menyiapkan sarapan empat sehat dan lima sempurna tadi pagi. Sehingga bukan badanku saja yang sehat, tapi, pikiranku juga. Ada hubungannya? Entahlah.

"Kan kamu yang bilang punya masalah pribadi, bukan aku." Pria itu menjatuhkan bobot tubuhnya ke kursi. 

"Sudah, kerjakan saja. Jangan membantah kalau masih ingin bekerja di sini." Mas Satria bicara tanpa melihatku. 

"Lah …." Aku masih melihatnya dengan tatapan kesal, sedangkan dia sudah sibuk dengan laptop di depannya.

Dia pikir ini perusahaan punya dia, bisa berbuat seenaknya. Jelas aku tidak bisa menerima perlakuan pria tidak jelas itu. Bagaimana bisa melakukan rotasi mendadak. Meski aku memang beberapa kali di rotasi tapi, selalu ada pemberitahuan sebelumnya.

"Kerja, ngapain masih berdiri di situ. Dah sana … bikin polusi pandangan aja," ucap Mas Satria dengan nada ketus.

Polusi pandangan? Lalu dia apa? Pagi-pagi sudah membuat orang emosi. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba main rotasi pekerjaan.

"Sabar Ran … sabar, orang sabar pasti kesel." Aku hanya bisa ngedumel sambil meremas ujung baju.

"Bicara yang jelas," bentaknya  lagi, aku hanya menggeleng dan kemudian berbalik untuk beranjak keluar ruangan.

"Tunggu!" Baru beberapa langkah pria itu sudah memanggil lagi.

'Ck'

Aku akhirnya menghentikan langkah, tapi, tidak memutar tubuh untuk berbalik melihatnya. Aku hanya memiringkan kan kepala sebagai ekspresi capek dan menunggu kalimat berikutnya.

"Pekerjaanmu, bawa!" 

Dengan terpaksa aku memutar badan untuk berbalik kemudian berjalan mendekat ke arah meja. Pria itu menunjuk gumpalan kertas di meja dengan dagunya. Aku mengambil dengan tangan kanan dan kembali membukanya menjadi lembaran.

"Rusak," ucapku menunjukkan kertas yang sudah lusuh tak berbentuk itu padanya.

"Salahku?" tanyanya dengan senyum menyebalkan.

Aku menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan sambil menekan dada dengan tangan kanan. Bukan hanya satu kali karena aku sebenarnya benar-benar kesal. Semalam aku tidak mimpi buruk padahal, kenapa hari ini buruk sekali.

Tanpa bicara apa-apa lagi aku membalik badan dan segera beranjak berjalan ke arah pintu. Membawa lembaran kertas tak berbentuk di tangan kananku. Setelah keluar aku langsung menuju ruangan kepala cabang. Sayang Pak Agus sedang keluar ada acara dengan relasi.

"Kenapa?" tanya Tika sesampainya aku di meja kerja. "Kusut banget tuh muka kek cucian belum disetrika."

"Nggak, cuma kena rotasi dadakan," jawabku sambil menghempaskan pelan tubuhku ke kursi.

"Kok bisa ndadak? Biasanya kan dikasih tau dulu." Tika mendekati mejaku.

"Gantiin Mbak Titin yang cuti, sepertinya." Aku melebarkan kertas yang tadi aku bawa. Menekan dengan telapak tangan di atas meja agar tidak terlalu kusut.

"Iya, dia ndandak memang. Hplnya masih berapa minggu ke depan, eh dah brojol duluan." Tika menarik kursi dan duduk di depanku.

"Iya," jawabku singkat.

"Setauku Nurul yang diminta gantikan, kok bisa jadi kamu?" 

"Nggak tau." Kembali aku hanya singkat menjawab.

"Palingan daripada ngajarin lagi, dia kan baru. Kalau kamu kan dulu lama di divisi marketing." Tika berasumsi sendiri. Bisa jadi itu pertimbangan manajemen, tapi, caranya aku tak suka. Apalagi duda jutek itu yang menyampaikan padaku.

"Ehh … habis ketemu duren, ya. Eh itu orang kenapa bisa cakep gitu yak. Kayak oppa oppa gitu." Aku hanya melihat sekilas ke arah Tika yang senyum-senyum saat bicara.

"Opa opa," celetukku dengan nada kesal.

"Oppa, Sayangku. Kalau dudanya kayak dia pasti banyak cewek yang siap jadi mama baru buat anaknya." Tika kembali melanjutkan.

"Ish … dah ahh, ngapain bahas dia. Kerja … kerja," seruku pada sahabatku yang malah disambutnya dengan tawa.

Mas Satria sudah banyak berubah, tidak ada lagi yang aku kenali dari sosoknya. Dia dulu tidak seperti itu, jangankan bicara kasar. Bicara sedikit keras saja dia akan meminta maaf berulang kali. Sekarang sepertinya dia sangat membenciku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status