Aku tidak segera menjawab, jujur aku bingung dengan perasaanku sendiri. Ada rasa takut, mungkin juga gengsi. Meskipun ada, aku juga enggan mengakui apalagi aku cewek. Iya kalau Mas Satria masih punya rasa yang sama kalau tidak dia akan menertawakanku pastinya."Sudah nggak ada yah?!" Mas Satria menimpali ucapannya sendiri. Menarik kesimpulan dari sikap diamku. "Apa itu masih ada artinya?" tanyaku kemudian. "Sedangkan kondisi kita sudahlah tidak lagi sama seperti dulu pastinya.""Iya … aku lupa. Empat tahun pasti bisa merubah segalanya. Termasuk perasaanmu kepadaku." Mas Satria tersenyum masam."Hanya aku? Bagaimana dengan mas sendiri. Semua memang salahku dan penyesalan juga tidak akan bisa merubah hal yang sudah terjadi. Empat tahun … hmm pasti sudah banyak hal yang berubah bukan. Termasuk perasaan Mas Satria juga." Aku menggigit pelan bibir bawah, ada sebah terasa hadir di dada."Sok tau," cetus Mas Satria ketus."Ya kan gitu kenyataanya. Mas sudah punya kehidupan baru dan berbahag
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Jam digital yang menunjukkan waktu hampir jam enam terpampang di layar yang masih terkunci. Telunjukku mengusap pelan dan kemudian membentuk pola untuk membuka ponselku.Menu kamera aku buka dan mulai mengarahkan bidikan ke beberapa sudut ruangan. Area teras juga tidak lepas dari tangkapan kamera ponselku. Biasanya aku akan berselfie di tempat sekeren ini. Hanya saja suasana hatiku sedang kacau.Sudah cukup lama Mas Satria pergi sekitar lima belas menit sudah. Seorang pelayan datang dengan nampan berisi minuman dan menu ringan di atasnya. "Silahkan," ucap mas pelayan kemudian beranjak keluar.Aku menghela napas setelah dua puluh menit waktu berlalu dan Mas Satria belum kembali juga. Pembicaraan kami tadi terhenti dan banyak hal mengantung yang harus di urai kejelasannya."Maaf lama." Akhirnya Mas Satria datang juga. Entah dari mana aku engan menanyakannya. Pria itu meminta maaf lalu menarik kursi dan duduk dindepanku."Kok nggak diminum? Makan
Aku terdiam tidak mampu berkata apa-apa lagi. Air mata menggenang di sudut mataku. Segera aku raih tisu yang ada di depanku untuk mengusap air mata yang tengah bersiap meluncur. "Maafkan aku," lagi-lagi hanya itu kata yang sanggup aku ucap."Aku ingin menebus semuanya, katakan! Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua kesalahanku?" "Aku tidak ingin dikasihani," balas Mas Satria kemudian. "Dan tidak ingin sebuah penebusan, kenapa kamu belum mengerti juga.""Aku minta maaf, aku tidak pandai merangkai kata. Atau memberi penjelasan atas apa yang ada dalam hatiku. Apakah masih ada kesempatan untukku?" Aku benar-benar bingung, ini bukan rasa kasihan atau penebusan atas rasa bersalahku. Ini rasa yang sama yang aku miliki hanya untuknya. Bertahun-tahun aku memendamnya, menahtakan cintanya di tempat tertinggi dalam hatiku. Tidak bisa digantikan oleh siapapun, meski rasa itu menyiksaku."Aku mencintaimu, tidakkah kamu melihat itu semua?" Mas Satria menatapku lekat."Iya, aku bisa melih
"Apa?" Setelah sekian lama, mendengar panggilan itu kembali pipiku terasa menghangat."Kangen aja manggil kamu dengan sebutan itu," jawab Mas Satria dengan senyum terulas tipis."Mas …." Sekarang gantian aku yang memanggil pria dengan sepasang alis tebal tersebut."Hm?" Dagu Mas Satria terangkat sebagai respon dari panggilanku. Tangan kanannya meraih cangkir kopi dan mengangkatnya."Apa hal ini tidak terlalu cepat?" tanyaku ragu."Maksudnya?" Mas Satria urung meneguk kopinya dan meletakkan kembali di meja."Hubungan ini," jelas ku kemudian."Kita bukan yang baru saja saling mengenal. Kita sudah melewati begitu banyak hal, terutama aku. Entah denganmu, mungkin kebersamaan kita dulu tak berarti apa-apa." Terdengar embusan napas kasar dari Mas Satria. "Kan sudah minta maaf." Aku membela diri, "Sudah jelas juga kan gimana perasaanku.""Iya, maaf."Aku terdiam tidak membalas apa-apa. Meski kami sudah saling jujur atas perasaan kami masing masing. Tetap saja Mas Satria belum bisa menepis
"Ran … mama cuma mau yang terbaik untuk kamu. Harapan setiap orang tua adalah melihat anaknya bahagia tidak salah pilih, begitu juga dengan mama. Pengalaman dulu kita jadikan pelajaran." Mama memberikan alasan."Siapa yang salah pilih? Rania?" Aku menghela napas dalam dan mengembuskan perlahan kemudian. "Mama juga tau apa yang terjadi, kesediaan Rania waktu itu demi bakti tidak lebih. Itu pilihan kalian sebagai orang tua, dan Rania hanya bisa menerima karena tidak mau disebut sebagai anak durhaka." Setidaknya mama juga tidak akan lupa, apa yang mendasari keputusanku atau alasanku menerima perjodohan itu. Semua aku lakukan tidak lebih dari perwujudan bakti seorang anak. Bukan karena cinta atau hal lainnya. Bahkan aku tidak berharap apapun untuk diriku sendiri, harapanku hanya kebahagiaan orangtua. Selebihnya hanya rasa hambar yang aku harap memudar seiring waktu."Iya, kami juga tidak tau akan seperti itu jadinya. Karena itulah mama tidak mau hal seperti itu terulang kembali. Pikirkan
"Yakin, Ma. Rania mohon restu dari mama, agar bisa jalanin hubungan ini. Mas Satria orang baik, dan Rania sangat mengenalnya." Tidak ada yang lebih baik dari sebuah restu dari seorang Ibu dan juga keluarga yang lain."Apa dia serius dengan kamu?" Sebuah pertanyaan kembali mama lontarkan."Iya," jawabku singkat sambil menarik bantal untuk bisa aku dekap."Ya … meski mama belum sepenuhnya yakin dan menerima, tapi, mama bisa apa. Jujur mama lebih suka kalau kamu dengan Roni. Hanya saja ini hidupmu, sebuah kesalahan telah mama dan papa lakukan dulu. Mama tidak akan memaksakan apapun, tapi, ingat anak perempuan seusiamu bukan waktunya lagi cuma pacaran, gandengan rentang renteng ke sana ke mari. Paham maksud mama kan?"Meski belum sepenuhnya, tapi, aku merasa lega atas keputusan mama. Aku juga yakin seiring waktu berjalan, pandangan mama pada mas Satria akan berubah. Ini hanya soal kebiasaan dan juga soal waktu."Mama … terima kasih." Aku berucap pelan sambil menatap mata mama yang duduk
"Ngapain?" tanyaku pada Roni yang crngar cengir saat aku sampai di ruang tamu."Jemput kamu," jawab Roni kemudian."Makasih ya, Nak. Harusnya nggak perlu repot-repot." Mama bicara dengan senyum lebar. Di tangannya terlihat satu ikat besar kelengkeng jumbo."Nggak repot, tant. Panen sendiri juga kok." Roni tersenyum dengan sedikit menurunkan bahu saat bicara dengan mama."Dah siang, ayok." Roni beralih fokus padaku, dagu pria berkulit putih itu terangkat."Lah … aku bawa motor, ya sudah sana duluan." Aku menjawab kemudian mengerucutkan bibir, manyun. Ada-ada saja kelakuan, orang aku nggak minta jemput juga. Pagi - pagi sudah nongol buat jemput."Barengan aja kenapa? Biasanya juga gitu," ajak Roni lagi."Dah sana bareng aja," suruh mama. "Ayok." Mendapat dukungan Roni langsung tersenyum lebar."Iya … iya." Aku bersungut kesal. "Assalamualaikum," ucap salamku seraya mencium punggung tangan mama.
Aku kurang fokus pada apa yang Pak Agus dan yang lain sampaikan pagi ini. Masih kepikiran dengan kejadian barusan serta tatapan dingin Mas Satria di ruang absen tadi. Harusnya aku tadi memberitahunya saat perjalanan, tapi, semua sudah terlanjur."Ran … Rania." Mbak Wiwid karyawan divisi operasional menyenggol lenganku sambil memanggilku. Membawa kesadaranku kembali dari lamunan yang datang begitu saja. Karyawan yang lain juga ikut melihat ke arahku. Keningku sedikit mengkerut mencoba memahami apa yang terjadi.Astaga, aku segera beranjak merangsek ke depan sambil merogoh ponsel di saku. Giliranku menyampaikan pencapaian per hari kemarin. Sesaat aku mengatur napas sebelum semua menyadari kalau aku sedang tidak fokus. Layar ponsel aku usap dan membuka laporan di grup WA yang biasa aku kirim selepas closing alias penutupan."Terima kasih, ada yang perlu ditanyakan?" tutupku setelah membacakan pencapaian cabang. Mataku mengedar, tidak ada yang bertanya ataupun bicara. "Kalau tidak ada,