Bab 3 Benda Terlarang
Dengan terpaksa Naira lantas beranjak dari tempatnya. "Lagian siapa sih yang dia maksud? kenapa juga aku harus ikut?" gerutu Naira seraya terus berjalan menyusul langkah Nathan. Singkat cerita Naira sudah sampai di kantor milik Nathan. Kedatangannya untuk pertama kalinya ke tempat kerja pria berstatus suaminya itu betul-betul disambut dengan senyuman ramah dari setiap orang yang ia temui. Sebuah sambutan yang sebelumnya tak pernah ia terima selama hidupnya. Naira dan Nathan terus berjalan beriringan menuju satu ruangan. Sementara itu, Namu tetap mengikuti mereka dari belakang. "Kita mau ke mana?" tanya Naira saat ia dan Nathan akan memasuki sebuah lift. "Ruang kerja ku," balas Nathan tanpa menoleh ke wanita berhijab itu. Naira hanya mangut-mangut dan memilih tak bertanya lagi. Walaupun sebenarnya isi kepalanya begitu berisik lantaran dipenuhi berbagai pertanyaan terkait keikutsertaannya ke kantor milik Nathan hari itu. Ting! Begitu terdengar pintu lift terbuka, dengan tetap berjalan di samping Nathan, Naira terus melangkah menuju satu ruangan yang di maksud pria yang selalu menunjukkan sikap dingin itu. Dan sepanjang jalan menuju ruangan tersebut, Naira dibuat semakin terperangah. Bagaimana tidak, seumur hidup ia tak pernah melihat bangunan perkantoran yang begitu mewah seperti itu. Tepat ketika Naira dan Nathan sampai di ruang kerja, Namu lantas membukakan pintu dan terlihat seorang pria yang gadis itu kenal sedang duduk di dalamnya. "Kak Arhan," gumam Naira, dengan pandangan tetap tertuju lurus ke depan. Tanpa memedulikan Nathan, dengan cepat Naira mendekat ke arah kakak kandungnya itu. Begitu juga dengan Arhan, ia beranjak dari tempatnya ketika melihat kedatangan adik tercintanya itu. Dan tepat saat mereka sudah saling berhadapan, di momen itu lah Arhan langsung memeluk Naira. "Maafkan Kakak, ya," ujar Arhan. Naira hanya menghela napas sambil menahan emosinya mendengar permintaan maaf dari kakaknya itu. Terasa sulit untuk memaafkannya meskipun ia tahu apa yang dilakukan kakaknya terhadap dirinya saat ini adalah demi kebaikan ibu mereka. Naira melepas pelukan dari Arhan. "Ibu mana, Kak?" tanyanya. "Ibu ada, operasinya berhasil dan sekarang sedang masa pemulihan." "Aku harap Kakak gak bohong sama aku." Arhan tersenyum. "Enggak. Kakak gak bohong." "Terus kapan ibu dibawa pulang?" Arhan terdiam sejenak. "Nanti ya, kalau keadaan ibu sudah benar-benar membaik." Naira tak menjawab. Ia mencoba mempercayai ucapan kakaknya itu walaupun dalam hati kecilnya ingin sekali menyanggahnya. "Sudah cukup!" Terdengar suara dari Nathan yang akhirnya membuat Naira dan Arhan menoleh ke arahnya. Kemudian tibalah Namu yang kini mendekat di mana Naira berada. "Nona, tolong ikuti saya," ujar Namu. Naira melihat ke arah Arhan dan ia pun mengangguk kecil seolah mengiyakan ucapan Namu. Dan akhirnya dengan agak berat hati gadis itu lantas pergi meninggalkan kakaknya lalu mengikuti langkah Namu. *** "Silakan masuk, Nona," ujar Namu setelah membuka pintu. Naira pun berjalan masuk ke dalam sebuah ruangan yang tampak seperti ruang tidur. Pandangannya berkeliling ke segala arah melihat setiap sudut ruangan yang begitu mewah. Sampai beberapa saat setelah menikmati setiap pemandangan yang ada, Naira pun tersadar dan membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Namu. "Ini ruang tidur? milik siapa?" tanya Naira penasaran. "Milik Tuan Nathan," jawab Namu datar. Naira mengernyit. "Ada ya ruang seperti ini di sebuah perusahaan?" Seketika Namu menatap Naira dengan serius. "Ini perusahaan milik Tuan Nathan, jadi terserah beliau akan dibuat seperti apa. Termasuk ruangan ini." Namu pun mengalihkan pandangannya usai berkata demikian. "Ya, ya!" kesal Naira. "Kalau Nona membutuhkan sesuatu, silakan hubungi saya. Permisi." Namu pun pergi tanpa menunggu jawaban dari Naira. "Apa dia bilang? 'kalau membutuhkan sesuatu silakan hubungi saya'," gerutu Naira menirukan ulang ucapan terakhir Namu. "Gimana mau hubungin, punya nomornya aja enggak!" Setelah kepergian Namu, karena penasaran dengan ruangan yang terlihat tak biasa bagi dirinya itu, Naira pun berkeliling untuk melihat setiap sudut yang ada. Sampai akhirnya pandangannya pun tertuju pada satu lemari yang berada tak jauh darinya berdiri. Perlahan Naira mendekati lemari tersebut dan berniat untuk melihat isinya. Dan ya ... tepat ketika Naira membuka pintu lemari tersebut, ia kembali dibuat terperangah. Bukan karena isinya yang mewah melainkan beberapa senj*ta ap*. "Benda ini ...." Naira begitu terkejut melihat apa yang ada di depan matanya sekarang. "Siapa sebenarnya laki-laki yang menikahiku?" batin gadis cantik itu. Naira yang awalnya mulai menerima takdirnya karena keputusan kakaknya, akan tetapi setelah melihat benda-benda "mengerikan" barusan membuatnya malah ketakutan. Pikirannya seakan tak lagi bisa berpositif thinking dengan keadaannya yang sskarang. Mendadak perasaan takut kalau-kalau pria yang kini menjadi suaminya itu adalah seorang penj*h*t atau ... bahkan seorang mafi*. "Astaghfirullah ... aku harus gimana ya Allah ...." Melihat benda terlarang untuk pertama kalinya itu betul-betul membuat tubuh Naira lemas seketika. Di saat Naira masih berdiri di depan lemari itu, tiba-tiba terdengar pintu yang dibuka yang membuatnya menoleh seketika. "Nona!" panggil Namu. Ia lantas berjalan menghampiri Naira. "Kenapa ada senj*t* ap* di sini? untuk apa?!" tandas Naira tanpa basa-basi. Namu menoleh sebentar ke arah lemari yang terbuka. Lalu dengan tatapan dinginnya ia lantas berkata," itu bukan urusan Nona. Lebih baik sekarang Nona ikut saya karena Pak Arhan akan segera pergi." "Pergi? maksud kamu?" Namu terdiam tak menjawab. "Kenapa kakakku pergi lagi? memangnya tugas dari bos mu itu apa, sih?!" Dan lagi, Namu tak menjawab. "Jawab Namu!" desak Naira. "Maaf Nona, itu bukan ranah saya untuk menjawab. Mari ikut saya." Namu pun melangkah pergi meninggalkan gadis itu. Emosi Naira mendadak bergemuruh. Tubuhnya yang tadinya lemas kini seakan mulai kembali pulih. Pikirannya pun kembali berisik dengan apa yang sebenarnya dilakukan kakaknya dengan bosnya itu. *** Tepat ketika Naira sampai di hadapan Arhan, di saat itulah kakaknya itu langsung memeluknya. Dan ketika Naira hendak membalas pelukan kakaknya, tanpa sengaja tangannya menyenggol sebuah benda yang berada di pinggang Arhan. Detik itu juga Naira langsung teringat dan yakin kalau benda yang barusan ia senggol itu adalah benda yang sama yang ia lihat di ruang tidur Nathan sebelumnya. "Gak. Pasti cuma buat perlindungan kak Arhan aja," batin Naira, mencoba menepis kecurigaannya. Namun sedetik kemudian .... "Tapi ...." Naira betul-betul tak bisa berprasangka baik pada kakaknya sendiri ketika ia teringat sesuatu. Di mana ia tahu kalau kakaknya itu hanyalah karyawan biasa di perusahaan ini yang itu artinya tidaklah perlu ia membawa benda seperti itu. "Kakak pergi dulu. Kamu yang nurut sama suamimu. Dan percayalah, bos kakak itu akan selalu menjaga mu," pesan Arhan. Naira menghela napas. Satu buliran bening berhasil jatuh membasahi pipinya. Entah, ia merasa begitu berat melepas kepergian kakaknya itu yang seolah ia memiliki firasat yang buruk terhadapnya. Apalagi dengan tujuan yang Naira sendiri tak tahu itu. Ditambah dengan benda terlarang yang dibawanya. "Kak ...." Mendapati tangisan Naira, Arhan lantas mempererat pelukannya. "Kakak akan kembali sayang. Kita akan kumpul lagi seperti dulu sama ibu," ujar Arhan menenangkan adiknya. "Sebenarnya Kakak mau ke mana? gimana sama ibu, Kak?" tanya Naira yang sedikit terisak. "Ibu aman. Tenanglah. Kakak pergi karena harus menyelesaikan tugas dari bos Nathan dulu. Dan kamu tau sendiri kan kalau tugas itu bagian dari kesepakatan yang sudah kami buat?" Naira melepas pelukan Arhan. "Tapi kesepakatan apa itu, Kak?!" "Tolong lah, aku tuh gak bisa tenang kalau Kakak belum cerita semuanya ke aku," imbuh Naira. "Belum saatnya kamu tau, Dik. Maafkan Kakak, ya." balas Arhan. Dan Naira pun hanya bisa terdiam. "Sebelum pergi, Kakak mau kasih ini ke kamu," kata Arhan. Ia berbalik arah dan dengan cepat mengambil buket bunga yang berada di tempat duduknya sebelumnya, lalu memberikannya pada adiknya sebagai hadiah pernikahan. "Kakak berikan bunga ini sebagai hadiah pernikahanmu. Ada banyak perasaan yang bisa kita ungkapan dari sebuah bunga. Salah satunya perasaan yang Kakak rasakan sekarang. Bahagia karena pernikahanmu dan berhasilnya operasi ibu. Kakak sayang kamu, Dik," ujar Arhan menatap Naira dalam. Naira begitu terharu mendengar ucapan Arhan barusan. Ia pun menerima bunga pemberian pria pengganti sosok ayahnya itu dan kembali memeluknya untuk beberapa saat. Perasaan yang tadinya ingin meledak pun juga mulai runtuh di momen itu. Setelah saling berpelukan, Arhan pun menoleh ke arah Nathan. "Bos, aku titip adikku, ya." "Pergilah. Naira sudah jadi istriku, karena itu, melindungi dia adalah tugas ku," balas Nathan. Arhan kembali menoleh ke arah Naira sambil mengulas senyum. "Kakak pergi ya," ujarnya, lalu mulai berjalan meninggalkan adik satu-satunya itu. Arhan terus berjalan dengan sesekali menoleh ke arah Naira. Dari raut wajahnya, ia begitu berat untuk meninggalkan adiknya itu. Namun di sisi lain, karena kesepakatan yang ia buat dengan bosnya lah yang membuatnya terpaksa melangkah pergi dengan membawa tujuan yang masih menjadi misteri. Bersambung ...Bab 15 Keinginan Naira Mendengar jawaban Alvin, Naira menghela napas kesal. Ia tak puas dengan jawaban yang baginya sama sekali tak membantunya itu. Ia pun pergi meninggalkan Alvin begitu saja."Masa iya sih aku harus tanya langsung ke Nathan?" pikir Naira dalam hati. Ia bingung sekaligus ragu.***Malam pun tiba. Dan Naira yang terduduk di atas kasur pun masih saja terpikirkan perihal dua nama yang begitu asing baginya. "Zara? Devan? siapa mereka dan apa hubungannya dengan Nathan?" pikir Naira.Ditengah-tengah lamunannya itu, tanpa Naira sadari tiba-tiba Nathan sudah berada sangat dekat di depan wajahnya."Naira?" panggil Nathan. Naira tersentak kaget dan reflek menjauhkan wajahnya dari suaminya itu."Kamu mikirin apa?" tanya Nathan lembut.Naira terdiam sejenak. Ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk menanyakan dua nama asing yang tengah menyelimuti pikirannya saat itu."Boleh aku tanya sesuatu?" ujar Naira."Boleh. Kamu mau nanya apa?" Nathan lantas memposisikan duduknya dan
Bab 14 Dua Nama Asing"Kami akan pergi. Tapi sebelumnya izinkan saya bicara empat mata dengan Anda. Maaf kalau ini tidak sopan," ucap Aland.Nathan terdiam. Ia bingung harus mengizinkan Aland berbicara padanya atau tidak. Karena sebenarnya, Nathan sendiri sudah cukup lama mengenal siapa sosok Aland itu. Hanya saja karena masalah yang ada membuat hubungan keduanya merenggang.Namun pada akhirnya Nathan mempersilakan Aland untuk berbicara empat mata dengannya. Selain karena sudah mengenalnya, Nathan juga sedikit penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh pria yang usianya di bawahnya itu. Setelah mendapat persetujuan, Aland lalu meminta Alvin untuk meninggalkannya terlebih dahulu. Alvin menurut dan akan menunggu Aland di luar."Aku harap kamu tetap baik," pesan Alvin pada Aland. Lalu ia pun pergi.Ternyata, meski Alvin tak tahu pasti apa yang akan disampaikan Aland kepada Nathan, namun dengan pesan yang diucapkannya kepada rekannya itu seakan dirinya mengerti dengan keadaan yang
Bab 13 Apa mungkin aku sudah jatuh cinta dengannya? Ketika perasaan Naira sudah mulai lega, tangisannya juga sudah mereda, ia pun melepas pelukan dari Nathan. Ia menatap suaminya itu dengan serius dan mengatakan satu hal yang membuat Nathan tercengang. "Kalau kamu bisa menyuruh kakakku untuk membu*nuh seseorang, bisakah kamu membu*nuh pria jahat itu untuk ku?" Mendengar ucapan Naira, Nathan tercengang sejenak lalu memeluknya. "Tenanglah, biar aku urus satu manusia itu. Percaya sama aku, aku pastikan setelah ini dia gak akan pernah lagi mengganggu hidup kamu." Sebenarnya Naira merasa tak puas dengan jawaban Nathan. Namun mengingat keadaannya, ia juga tak bisa berbuat lebih. Ia pasrah dan mencoba untuk mempercayai suaminya itu. Cukup lama Naira berada dalam pelukan Nathan. Dan selama itu pula lah gadis berambut panjang itu mulai merasa nyaman dan tenang. Begitu juga dengan Nathan, entah mengapa ia juga merasakan kenyamanan selama bersama gadis yang mulanya terpaksa ia nikahi it
Bab 12 Kemunculan Roy di Rumah Nathan "Sudah aku katakan sebelumnya, jangan pernah ganggu Naira lagi," peringat Aland, menatap tajam ke arah Roy.Mendengar ucapan Aland barusan membuat Nathan bertanya-tanya dalam hati. "Darimana dia tau nama istriku? apa mungkin dia dan Naira sudah saling mengenal sebelumnya?""Pergi!" usir Aland seraya mendorong kasar Roy.Meski takut dengan pistol yang dibawa Aland, Roy tak menyerah. "Akan ku buktikan pada Arhan, selama aku masih hidup, aku gak akan nyerah buat dapetin Naira. Kalaupun aku gak bisa, seeggaknya aku harus menyentuhnya!" Roy tersenyum menyeringai. Roy ingat betul dengan perkataan Arhan waktu itu, yang mana memintanya untuk terus bermimpi mendapatkan Naira. Lantas karena hal ini lah yang menjadikan Roy merasa tertantang sekaligus semakin terobsesi pada Naira. Tak hanya itu, karena perkataan Arhan tersebut lah yang akhirnya membuat Roy dendam pada Arhan. Dan tentu saja, salah satu untuk membalaskan rasa sakit di hatinya itu, Roy haru
Part 11 Pertemuan Nathan dengan Anak Buah Devan"Aku yakin terjadi sesuatu sama Arhan. Jadi sekarang lebih baik kamu pergi ke Amerika. Entah mati atau hidup, yang penting kita harus temukan dia.""Baik, Pak. Tapi maaf ...." Namu sengaja menggantungkan ucapannya.Nathan menatap heran ke arah Namu. "Tapi apa?""Tapi ada kemungkinan kalau pak Arhan tertangkap oleh anak buah pak Devan ... atau bahkan oleh polisi. Karena itu nomornya gak aktif lagi.""Itu memang bisa saja terjadi, tapi aku berharap itu gak akan pernah terjadi. Kalaupun iya, aku yakin Arhan akan tetap baik. Kecuali kalau polisi yang menangkapnya, tentu akan beda cerita."Di tengah obrolan serius antara atasan dan bawahan itu, tiba-tiba ada panggilan telepon masuk ke telblephone. Nathan pun segera mengangkatnya yang rupanya dari resepsionis yang mengatakan kalau ada dua orang yang ingin bertemu dengan Nathan. Dua orang tersebut mengaku sebagai anak buah dari Devan, orang yang menjadi target utama dari Nathan. "Biarkan mere
Bab 10 Keberadaan Arhan ?Menepis perasaannya, Naira pun mencoba kembali menghubungi kakaknya. Sayangnya, hasilnya masih tetap sama. Nomor telepon Arhan masih tak aktif. Dan karena inilah membuat Naira khawatir dengan keadaan kakaknya itu sekaligus merasa curiga terhadap Nathan."Jangan-jangan ... dia membohongi ku soal keadaan kak Arhan."Menyadari ada yang tak beres, Naira segera beranjak dan keluar dari kamar. Wanita itu menyusuri hampir seluruh dalam rumah guna menemukan keberadaan Nathan. Dan ya, akhirnya Naira menemukan suaminya itu yang sedang tertidur di atas sofa.Dengan menahan amarah karena merasa dibohongi, Naira berjalan mendekat di mana Nathan berada. Lalu, saat ia tepat di hadapan pria itu, Naira malah terdiam sejenak lalu mengurungkan niatnya untuk membangunkan Nathan. Sebab Naira melihat wajah yang begitu lelah dari suaminya itu.Naira berbalik arah dan meninggalkan Nathan yang terlelap. Ia betul-betul tak tega jika harus membangunkannya di saat keadaannya yang sepert