Apotek yang dituju Indah terletak di dekat di dekat rumah sakit, yang tak jauh juga dari rumahnya. “Saya mau colostomy bag yang biasa. Satu kotak aja. Harganya masih sama, kan?” Indah mengangsurkan uang kertas empat ratus ribu.“Susunya sekalian, Kak? Untuk Alif, kan?” Gadis yang sudah mengenal Indah muncul dari belakang.Indah menggeleng. “Susunya masih banyak. Bulan depan aja,” kata Indah. Ia memilih bulan depan untuk berbelanja susu bukan karena susu Alif masih banyak. Tapi uangnya sudah sangat menipis. Bantuan bulanan yang biasa diberikan papanya belum tiba dan ia tidak enak untuk mengingatkan.Jadi, Indah berharap bulan depan akan ikut menerima gaji dalam jumlah proporsional seperti yang dijanjikan. “Mudah-mudahan susu Alif cukup sampai akhir bulan. Lagian masih bisa ASI juga.” Indah bergumam dengan bungkusan yang terayun di tangannya.Dari apotek ke rumah, Indah berjalan kaki hampir dua puluh menit. Cukup lama memang tapi sayang kalau harus ditempuh dengan ojek sepuluh ribu. Uan
Arsya meraup ponselnya dari meja dan menegakkan punggung. “Kenapa tidak ketuk pintu?”“Udah. Mungkin Bapak nggak dengar.”“Harusnya kamu istirahat makan siang. Atau hari ini kamu berniat diet? Sebaiknya jangan karena saya lebih suka kamu yang sedikit berisi.” Arsya bicara sambil lalu tanpa memandang Indah.Indah tidak mau menanggapi perkataan Arsya. Atasannya itu sedang mengalihkan tujuannya berdiri di sana siang itu. “Maaf sedikit lancang masuk ke sini untuk urusan pribadi. Tapi saya minta Bapak ambil semua belanjaan yang udah dikirim ke rumah saya.”“Saya tidak pernah mengambil apa yang sudah saya berikan.”“Saya memang sedang kesulitan. Tapi itu bukan berarti kehidupan saya dan putra saya bisa dijadikan hiburan para orang kaya.” Indah berdiri dengan kedua tangan terkepal di samping tubuh. Tatapannya lurus menatap atasan yang sejak tadi tidak memandangnya. Atasan gila, pikirnya. Bagaimana mau melamar kalau memandang dirinya saja pria itu tidak mau.Indah tertegun. Apa sebegitu besar
Pembukaan project baru perusahaan membuat Panca sering pulang-pergi Kalimantan. Kebetulan hari itu ia masuk kantor pertama kali setelah seminggu di luar kota. Dengan segudang tuntutan Mayang yang menyandang status sebagai istri sirinya, Panca tak sempat memikirkan pesan Indah yang bertubi-tubi. Dalam sehari Indah bisa mengirimkan sampai sepuluh pesan. Panca terganggu tapi tidak memblokir nomor Indah karena khawatir wanita itu malah datang merusuhinya. Juga karena alasan yang tidak bisa ia mengerti. Lewat tengah hari Panca baru saja berencana turun untuk makan siang. Mayang yang juga berkantor di gedung itu mengatakan sudah menunggunya di café lantai dasar. Namun setelah kaki Panca menjejak lobi, rasa laparnya menguap. Pak Hadi Ismawan; papa mertuanya berdiri dari salah satu sofa untuk menghampirinya. “Bagaimana Panca? Papa bisa bicara soal Indah dan Alif? Kita sudah lama sekali tidak ngobrol.” Pak Hadi sangat berharap Panca bisa meluangkan waktu siang itu. Perjalanan tiga jam dengan
Aksi menghindari Indah masih dilakukan Arsya sejak rombongan orang catering memasukkan meja dan menatanya seperti jamuan pesta di ruang tamu mungil wanita itu. Laporan tentang kantong belanja yang dikembalikan, diikuti dengan kabar bahwa buah-buahan dan cake tidak kembali. Sewaktu menerima laporan itu, Arsya baru selesai makan malam bersama keluarganya. Satu jam sebelum pulang biasanya ia dan ayahnya duduk menikmati secangkir kopi di teras samping, sambil mengobrol banyak hal. Arsya menjawab panggilan telepon di sebelah Pak Ari Subianto yang sedang mengangkat cangkir dan menyeruput isinya. “Kalau sudah selesai ditinggal aja, nggak apa-apa. Orang yang di sana pasti selalu update kabar. Yang paling penting cateringnya harus on time. Jangan ngaret. Harus pas di waktu yang ditentukan. Oke, terima kasih.” Arsya mengakhiri pembicaraan dan meletakkan ponsel di meja. “Siapa, Bang? Kenapa ngomongin catering? Presdir perusahaan tambang ngurusin catering juga?” Pak Ari Subianto memandang putr
Arsya diam sesaat memandang sepasang mata Indah yang tergenang air mata. “Kamu sadar ngomong apa barusan?” Indah menelan ludah. “Sadar, Pak.” “Karena sakit hati dengan apa yang dikatakan suami kamu barusan?” Arsya melirik Panca yang masih memandang ke arah mereka. “Bisa jadi,” jawab Indah. “Saya akan kirim pengacara untuk membantu proses gugatan cerai yang akan kamu layangkan. Paling lama tiga hari dari sekarang. Sebelum itu saya minta kamu memikirkan keputusan itu matang-matang. Saya nggak mau kamu menyesal atau mundur di hari H.” Arsya mengatupkan bibir seraya mengawasi air mata Indah yang sudah menggantung; bersiap jatuh ke pipi. Indah lalu berpura-pura menunduk menepuk bagian depan roknya. Ia mengerjapkan mata untuk menghalau cairan hangat itu. “Rasanya saya nggak perlu mikir sampai tiga hari. Saya udah yakin, Pak.” Telunjuknya mengusap pipi dengan sangat cepat. Tapi tidak cukup cepat untuk menyembunyikan air mata yang jatuh. “Baik. Sebelum topik ini dilanjutkan saya harus ng
“Kenapa ke sini? Kalau cuma mau tanda tangan itu, kan, bisa ketemu di luar.” Indah mengangkat Alif yang tadi ia pangku ke dalam dekapan.Arsya memandang meja catering dan menunjuknya. “Masakannya enak?”“Enak. Makasih banyak. Pertanyaan saya tadi, Pak. Kalau cuma tanda tangan itu, kita bisa ngobrol di luar. Saya nggak enak ….” Indah baru saja akan mengatakan bahwa ia tidak enak kalau Bu Anum atau tetangga melihat Arsya masuk ke rumah. Tapi rupanya Bu Anum yang sedang bersiap pulang keluar dari kamar. Indah menekuk wajahnya menjadi sangat serius.“Saya mau lihat Alif sebelum mengajak mamanya ngobrol di luar.” Arsya ikut duduk di lantai, tak sampai semeter dari Indah.“Selamat malam, Pak,” ucap Bu Anum.“Malam,” sahut Arsya tersenyum.“Saya bisa jaga Alif kalau Bapak dan Mbak Indah mau keluar.”“Nah, begitu. Terima kasih. Saya ada sedikit urusan bersama Mama Alif. Bukan sekarang, tapi sebentar lagi. Sekarang saya mau lihat Alif yang katanya sudah pintar mengenali mamanya. Begitu, kan?”
Indah melirik ponsel yang panggilannya baru saja ia matikan. Untung saja, pikirnya. Tidak terbayang kalau Panca tahu bahwa ia dibantu atasannya dalam mengurus perceraian. Sumpah serapah dan hinaan Panca pasti bisa membuatnya muntah.“Saya bukan menemui laki-laki itu seperti kata Bapak barusan. Saya mau bicara di telepon.” Indah menunjukkan ponselnya pada Arsya.“Kalau begitu,” secepat kilat Arsya meraih ponsel Indah dan memblokir kontak Panca tanpa persetujuan, “kita blokir aja. Kontak ini tidak penting lagi buat kamu.”“Pak,” mulut Indah setengah ternganga, “tapi itu bapak anak saya. Bagaimana juga Alif itu anaknya. Kalau Alif membutuhkan suatu donor, saya bisa menghubungi papanya.” Lift yang isinya hanya mereka berdua sudah tertutup dan bergerak turun ke lantai dasar. “Kamu yakin laki-laki itu mau mendonor untuk Alif? Entah apa pun itu? Kamu nilai sendiri. Lagipula … sebelum tanda tangan harusnya kamu baca surat kuasa itu. Saya tidak akan mengizinkan kamu mendatangi dia karena itu
Bukan sulit membuat Panca babak belur siang itu. Ruang meeting kecil bisa jadikan sasana untuk menghajar Panca yang bertubuh tidak terlalu tinggi. Walau Panca melawan dengan sekuat tenaga pun, belum tentu pria itu bisa menang karena Arsya memiliki beberapa medali judo yang diperolehnya sejak masa kuliah. Arsya hanya menghadiahi satu pukulan pada Panca karena tidak mau pria itu mati atau babak belur di kantornya. Arsya mengingat apa yang selalu dikatakan seorang Ari Subianto padanya, “Abang adalah wujud perusahaan itu sendiri. Apa yang Abang lakukan; baik atau buruk, semua akibatnya akan dirasakan langsung oleh ribuan karyawan. Jangan pernah berbuat dosa lalu minta dikasihani sebagai konsekuensinya.”“Kau berani main pukul karena aku ada di lantai ini, kan? Kau cuma berkuasa di sini?” Suara Panca memantul di ruang meeting.“Anda baik-baik saja karena berada di sini,” sahut Arsya. “Bagaimana? Anda sudah tenang? Saya akan memanggil Indah kalau Anda sudah siap bicara dengan tenang.”“Man