Riri terkesiap. “Aku cuma perlu bicara dengan Arsya,” ulang Riri dengan suara lemah. Setengah kekuatannya sudah hilang karena ditatap tajam pria bermata sipit di depannya. “Aku nggak tertarik dengan penawaran itu.”“Penawaran ini tidak akan saya ulangi lagi sebegitu kaki saya melangkah keluar ruangan ini. Anda belum sembuh, Saudari Riri. Pak Arsya meminta saya menawarkan banyak kebaikan buat Anda yang harusnya Anda syukuri. Andai kamu ketemunya laki-laki seperti saya, mungkin kamu sudah saya jebloskan ke penjara tidak peduli kamu sakit jiwa atau tidak. Saya akan memastikan kamu minimal sepuluh tahun di penjara dan keluar sewaktu kamu menjadi wanita tua. Bagaimana? Mau mendengar saya?” Dean meletakkan amplop di ranjang. Mata Riri tak lepas menatap amplop itu.Pelan-pelan Riri mau mendekati ranjang dan tangannya terulur mengambil amplop.“Apa kamu tidak mau hidup normal seperti Indah? Kalau bukan Arsya, kamu pasti bisa menemukan pria lain yang lebih baik. Tetap di sini sampai kamu benar
Arsya tak pernah menganggap bahwa bermesraan dengan pasangan lebih penting dari urusan menyangkut perusahaannya. Bertahun-tahun dipilih memimpin SB Industrial Energy serta di tahun berjalan itu pula menjalin hubungan dengan Fanny, tak pernah sekali pun ia mendahulukan wanita itu jika menyangkut urusan perusahaan.Sekali pun ia dan Fanny tengah bermesraan intens, satu pesan pendek yang masuk ke ponselnya dan meminta untuk hadir segera, maka soal Fanny harus dilupakan. Arsya memejamkan mata kembali mengecup bahu Indah yang lebih hangat dibanding telapak tangannya karena sejak tadi tertutup blazer. Arsya mengusap bahu itu dan telunjuknya terselip untuk mengait tali tipis dalaman blazer yang terbuat dari sutera halus. Ia mengusap bahu halus seputih susu dengan telapak tangannya. Aroma parfum Indah sudah memenuhi hidungnya sejak tadi.Pernikahan itu ternyata amat berbeda dari yang ia bayangkan. Saat Fanny menodongnya dengan pernikahan, bayangan bermacam hal rumit datang menyerbu pikiranny
Siapa yang masih membandingkannya dengan sosok Indah yang dulu? Tentu saja sudah sangat berbeda. Dulu ia memang sangat manja dan cengeng. Kenapa ia begitu, mungkin karena terlahir sebagai anak tunggal dan sangat dekat dengan ayahnya. Hingga saat ia menikah dengan pria yang dikaguminya cukup lama, ia menumpukan harapan akan memperoleh keistimewaan itu dari suaminya. Nyatanya, menjadi istri Panca tidak seindah angannya.Indah tidak memejamkan mata. Ia harus melihat bagian tubuh Arsya yang luar biasa, yang sedang berada dalam genggamannya. Ia mengangkat kepala untuk melihat bagian puncak benda itu menekan dan mendorong masuk hingga menimbulkan gelenyar memabukkan. Saat hal itu terjadi, ia dan Arsya nyaris mendesah lega bersamaan. Arsya mulai memulai gerakan yang akan menuju permainan sebenarnya. Belum lagi malam, tapi Indah sudah merentangkan kakinya lebar-lebar agar kenikmatan bisa mencapainya lebih dalam. Mereka yang tadi berpakaian sama rapinya, kini bergunulan tanpa batas sehelai b
Di ruangan PresDir Pelita Sentosa, Mikaila Asteria masih duduk menyilangkan kaki dengan mata terpejam. Di pangkuannya ada setumpuk dokumen penting yang baru saja selesai ia baca. “Kamu bisa bicara sekarang,” pinta Eric Widjaja dari balik mejanya. “Saya sudah bilang minta waktu lima belas menit, kan? Bahkan lima menit saja belum. Saya perlu memikirkan semuanya dengan benar.” Mika membuka mata dan melemparkan tatapan tajam pada Eric. “Apa saya harus memecat pegawai yang meminta wanita bernama Indah menggandakan dokumen sepenting itu? Siapa namanya? Via? Dia salah satu staf di departemen kamu, kan?” Eric mengabaikan nada bicara Mika yang mulai sengit. Ia sedang sangat jengkel. “Haruskah saya mengatakan bahwa semuanya bukan salah Via? Bukannya saya membela Via atau siapa pun yang berada dalam departemen saya. Saya tidak peduli soal mereka satu pun. Saya tidak kenal. Tapi bukannya istri Arsya bekerja di sini diterima secara resmi? HRD yang melakukan penerimaan pegawai baru, kan?” M
Arsya duduk bersandar di sofa nyaman dan menyilangkan kakinya. Perhatiannya kini tertuju pada sosok pria muda bernama Davino Chandra yang memimpin tim strategi SB Industrial Energy tiga tahun belakangan. Pria berkacamata itu dipilih langsung oleh Ari Subianto saat timnya menjuarai kompetisi Inovasi Teknologi Dekarbonisasi. Dalam arti kata lain, Ari Subianto ‘jatuh cinta’ pada pria muda cerdas seperti Vino dan merekrut pria itu secepat mungkin. “Ayah nggak salah merekrut kamu, Vin. Saya kira kamu ahli dalam bidang tambang aja, ternyata nyari informasi juga lumayan kilat,” ujar Arsya memuji Vino. “Semua karena tim saya, Pak,” sahut Vino rendah hati. “Sebenarnya mencari informasi begini tidak terlalu sulit. Apalagi para pemain di dunia tambang biasanya sudah saling mengenal. Bisa jadi yang sekarang bekerja di perusahaan tambang ternama juga berasal dari kampus-kampus dunia terkenal. Dalam arti kata lain … mereka bukan tenaga ahli sembarangan. Sama seperti Mikaila Asteria. Saya menda
“Meledakkan dan membakar smelter membuat saya bergidik,” ucap Mika. Ia benar-benar mengusap lengannya karena bergidik. “Akan banyak korban. Pekerja smelter, para tenaga ahli, ekspatriat, bahkan warga sekitar. Kurasa itu baru tercetus menjadi ide paling buruk yang belum tentu dilaksanakan. Sebagai tenaga ahli saya kurang menyetujui hal itu. Anda bisa melaksanakan sabotase lain yang efeknya kurang lebih sama. Sama-sama membuat saham SB Industrial Energy anjlok.”“Tapi keinginan saya bukan hanya harga saham SB Industrial Energy yang anjlok. Tapi audit perusahaan mereka dan menemukan sesuatu kebusukan yang kita letakkan. Saya mau melihat Arsya Anggara Subianto duduk di kursi pesakitan. Ditambah lagi sebuah informasi mengatakan bahwa dia sedang menantikan kelahiran anak pertamanya? Saya akan berusaha bayinya lahir saat dia dipenjara.” Eric tertawa mengejek. “Kalau Anda benar-benar menginginkan hal itu, sepertinya saya harus menambahkan beberapa persyaratan sebagai catatan kaki.” Mika sedi
Indah membutuhkan beberapa waktu untuk mencerna apa yang dikatakan Arsya. Sepasang matanya tak lepas menetap Arsya karena tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Pelukannya kemudian mengendur. “Maksudnya … kondisi yang sangat tidak baik itu yang bagaimana?” Indah menelan ludah sembari pikirannya membayangkan apa yang mungkin terjadi pada bayi Panca. Demi Tuhan ia sama sekali tidak menginginkan hal buruk terjadi pada bayi yang dikandung Mayang.“Sepertinya bayi mereka lahir dalam kondisi tiba-tiba. Panca tiba tak sampai satu jam sebelum bayi mereka dilahirkan melalui jalan operasi. Pengacara mengatakan kalau Mayang dalam kondisi tertekan. Bayi mereka dalam kondisi tidak sadarkan diri sejak dilahirkan. Sekarang berada di PICU.” Karena Indah tak kunjung menjawab, Arsya kembali merangkul pundak wanita itu dan membawanya ke dalam.“Aku ….” Indah kembali diam. Tadinya ia lapar sekali, tapi berita itu membuat perutnya seketika kenyang. “Abang mau aku menjenguk bayi mereka?”Arsya menunt
Darah Arsya sedikit berdesir saat mendengar apa yang barusan diucapkan Panca. Ia melirik Indah dan sedikit tenang karena melihat istrinya itu memandang Panca dengan tatapan mengasihani.“Ngapain ke sini? Mau lihat seberapa hancur aku sekarang?” Panca kembali bersuara karena melihat Indah tidak bereaksi dengan ucapan pertamanya tadi.Indah menggeleng malas. “Aku kira kamu punya kalimat baru untuk bikin aku marah. Ternyata masih itu-itu aja. Ck,” Indah berdecak, lalu kembali melihat ke dalam bilik kaca. “Bayiku juga sakit, In?” Indah mengulangi ucapan Panca dengan kalimat tanya.“Iya. Bayiku juga sakit. Kamu pasti dengar dengan jelas apa yang barusan aku bilang.” Panca ikut menatap ke mana Indah memandang. Sorot matanya kosong. “Lahir kemarin nggak nangis. Sekarang masih pakai ventilator. Katanya … aritmia serius.”Indah memandang Panca. “Gangguan jantung seperti Alif bayi aku, kan? Alif bayi aku juga memiliki kelainan jantung dari lahir. Sampai di titik ini apa kamu belum menyadari ses