BUGH
Arsa yang baru pulang sudah mendapatkan pukulan dari sang ayah. Melihat perlakuan suaminya tersebut, ibunya membantu Arsa untuk bangkit.
"Mas udah, Arsa cuma butuh di didik doang, bukannya malah di pukul seperti ini," celetuk ibunya Arsa kepada suaminya.
Arsa menyentuh pinggir bibirnya yang sudah di pastikan terluka dan mengeluarkan darah segar.
Arsa mendecih menatap bundanya serta memijat pelipisnya, "Gue ga butuh di didik, kalian cuma memperhatikan si Arka anak emas kalian bukan. Gue cuma sampah yang lahir di keluarga ini, cuma buat malu kalian," ucap Arsa.
Ayahnya yang terbalut emosi langsung menarik tangan Arsa memasuki anaknya ke ruang kerjanya. Bunda Arsa langsung mengikuti ayahnya membawa Arsa pergi, tapi saat hendak menarik tangan Arsa keluar dari ruangan tersebut, ayah Arsa langsung menutup pintunya dengan kasar.
Lelaki paruh baya itu mendorong Arsa, hampir saja kepalanya mengenai ujung kursi. Lelaki itu langsung mengambil stik golf yang ada di sudut ruang.
PRANG
Ayah Arsa memecahkan guci yang ada di sampingnya, serpihan guci itu mengenai tangannya. Setelah itu, lelaki paruh baya tersebut berjalan kearah Arsa menatap anaknya dengan tajam dan melayangkan stik golf ke arah Arsa.
BUGH! BUGH!
Pukulan itu mendarat dua kali di punggungnya, "Anak kurang ajar! Bukannya bersyukur di perhatikan. Memang kau adalah sampah di keluargaku, tidak seharusnya kau lahir di keluarga ini, kamu sangat tidak cocok, kamu berbeda dengan Arka, kau bodoh! Dasar anak tak tahu diri!"
Arsa menahan sakitnya, giginya mulai menggertak. Ia menahannya dengan sekuat tenaga, walaupun berkali-kali tubuhnya ambruk.
Tidak puas dengan Arsa yang masih menatap dirinya dengan tatapan tajam, Ayahnya yang masih terbalut emosi pun langsung melayangkan pukulan lagi terhadap putranya itu.
"Masih tidak jera kamu!"
Akibat pukulan keras yang ia dapatkan, Arsa muntah darah di buatnya. Darah segar itu keluar di akibatkan pukulan tersebut mengenai perut sebelah kirinya. Arsa memegang ujung stik golf tersebut dan menariknya dari pegangan sang ayah.
"Kamu!"
Arsa berdiri dan melempar stik golf tersebut ke sembarang arah. Ia jalan mendekat ke arah ayahnya, "Berhenti berbuat tindakan seperti ini, gua bukan anak kecil berusia sepuluh tahun yang hanya pasrah saat dipukul, gua bisa melawan sekarang. Berhenti menjadikan gua mainan lo, lebih baik sekarang lo urus boneka lo si Arka," ucap Arsa dan keluar dari ruangan tersebut.
Bundanya yang melihat Arsa dengan keadaan seperti itu shock bukan main.
"Sa, kamu ga papa, Nak?" tanya bundanya sambil memegang wajah Arsa.
Arsa menepis tangan bundanya, "Berhenti pegang gua, Bunda sama aja kayak Ayah yang selalu membedakan Arka dan Arsa," celetuknya langsung masuk kedalam kamar.
Arka Putra Pangestu adalah kembaran Arsa yang sangat nurut kepada orang tuanya, anak pintar sering membanggakan kedua orang tuanya. Berbeda Arsa yang hanya membuat malu keluarganya, seperti kata ayahnya tadi. Arsa dan Arka dua pribadi yang sangat berbeda, walaupun wajah keduanya sangat identik.
Lelaki itu mengusap wajahnya dan pergi menuju ke kamar mandi yang berada di kamarnya, mencuci mulutnya secara bersih menghilangkan semua sisa darah yang keluar tadi. Tangan Arsa mulai mengepal menahan semua amarahnya.
Karena telalu lelah, ia mulai membuka bajunya berniat membasuh tubuhnya, lelaki itu menghadap belakang memperlihatkan punggungnya yang penuh dengan luka memar, semua itu ia dapatkan saat usianya sepuluh tahun dan itu pertama kali Arsa dipukuli beberapa kali oleh ayahnya, bukan tanpa sebab Arsa dipukuli, karena dia gagal menerima peringkat pertama di kelasnya. Lelaki itu lebih menyukai olahraga di bandingkan harus berurusan dengan rumus.
Setelah itu ia mulai menyalakan shower dan memulai kegiatan membersihkan tubuhnya. Beberapa menit, lelaki itu keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan kegiatan membasuh tubuhnya dan beralih mengambil ponsel yang ia taruh di ranjang.
Banyak pesan masuk mulai dari para wanitanya, grup chat temannya, dan juga ada satu pesan dari kembarannya itu.
Arka
Kata bunda kamu mabuk lagi?
Kasihan bunda, dia sering cerita
tentang kamu.
Arsa, tolong berhenti minum ya
11.07
"Shit, sok perhatian lagaknya." Membuat Arsa mendengus kesal dibuatnya. Selalu seperti ini. Menurut Arsa, Arka cuma cari muka dan sok baik hati kepadanya, hanya untuk mengambil hati ibundanya.
Arsa membuang ponselnya dan mulai mengobati luka yang ia dapat tadi, perih rasanya. Tapi lebih menyakitkan kata-kata ayahnya tadi, buatnya pukulan tadi tidak seberapa di bandingkan cemooh yang ia dapatkan dari sang ayah.
Lelah rasanya berpura-pura tegar dan kuat. Padahal ia juga rapuh di satu sisi, dia cuma menginginkan perhatian seperti ibundanya dan ayahnya yang selalu menyanjung Arka, bukannya malah membandingkan dirinya dengan kembarannya itu.
Setelah selesai mengobati lukanya Arsa kembali mengambil ponselnya dan mulai mengecek pesan yang berada di grup.
****
Radit cepu anjink
Radit
Asu, unamenya ganti njink
Satria
Hahaha, manusia cepu datang
Gibran
Anak ambu kalau kata satria
Btw, gimana Sa sama cewe baru?
Radit
Ha? Ada cewe baru?
Satria
Makanya jangan cabut, baru bangun
langsung main cabut
Radit
Ya, tadi aja hampir ketahuan gw njir
Gibran
Mana nih manusianya?
Arsa
Biasa aja, bukan tipe gua
Satria
Enteng banget ngomongnya, padahal menurut gue cakep jir
Mata lo picek kali
Radit
Emang lo tau ceweknya?
Gibran
Temannya Tamara, tadi gw bareng Satria
abis stalk ig nya
Radit
Usn nya apa?
Satria
@gadisss__
Kalau Arsa gamau buat gue aja, Sa
Arsa
Ambil aja, gue lagi mau nyari yang lain
bosen banget sama cewe liar
Gibran
Emang lo mau nyari yang gimana?
Arsa
Cewe manja, kalau perlu anak bonyok.
Ya anak yang di kekang gitu dah
Radit
Dih, susah banget anjir tipe lu
Satria
Kayaknya ada deh satu cewe,
cakep jir, tapi sayang anak papa.
Dia sering curhat di tw, kalau mau
nanti gue kasih usn tw nya deh.
Gibran
Kirim kesini aja kli Sat
Satria
Ga berguna buat lo manusia bucin
Arsa
Kirim sini aja Sat
Satria
@athana.siaa
Tuh tw nya, ky nya dia domisili
Jaksel, tp katanya dia bakalan pindah ke Bandung
Radit
Paan sih, yang bener gimana?
Sekarang dia tinggal dimana?
Satria
Sekarang ky nya bandung,
soalnya rumah bokapnya ada dua
Anak holkay btw.
————
Arsa hanya tertawa kecil melihatnya. Setelah itu dia beralih membuka aplikasi burung biru tersebut. Mencari akun bernama Athanasia.
Tanpa berlama-lama, akun bernama Athanasia tersebut di temukan. Terdapat banyak curhatan wanita tersebut, ternyata dia sangat aktif di sosial media ini.
Dan ada satu gambar yang memikat Arsa, gambar dimana seorang pria memeluk tubuh gadis kecil yang tengah menangis. Begitu pula kata-katanya yang membuat Arsa tertegun.
'Hari ini satu ujian yang kau hadapi, esok mungkin beribu-ribu ujian yang kau dapat. Maka dari itu berhentilah menangis dan kuatlah,' petiknya.
"Ternyata gadis ini sangat puitis," gumamnya.
Setelah itu ia mengirim pesan kepada gadis tersebut.
@arsaa.p
Gambaran lo bagus gua tertarik
dengan kata-katanya juga.
Maka dari itu, apa boleh kita kenalan?
(...)
"Gimana? Udah dua hari nih," celetuk Satria sesekali menyesap rokoknya.
Arsa menyinggungkan senyumnya, "Berhasil, tiga hari lagi mungkin dia bakalan tidur sama gua," ujarnya.
Gibran menutup mulutnya, "Serius lu, cewe kayak dia?" ucap Gibran tak percaya, secara orang tuanya sangat overprotektif terhadap gadis itu.
"Gue berani taruhan kalau Arsa ga dapet cewe itu, secara susah anjing," celetuk Radit, Gibran mengangguk setuju dengan pendapat Radit tersebut.
Satria menaruh kunci mobil Mercedes Benz S-class yang baru sepekan ia beli, "Gue berani taruh mobil gue, kalau Arsa bakal dapetin tuh cewe."
Radit tersenyum kecut, "Bener nih, awas aja lo nangis ngadu bokap."
Satria mendengus, "Gue mah kaga kayak lo ya, Dit. Yang takut sama nyokap," sahutnya.
Gibran menggeleng melihat tingkah kedua sahabatnya ini, "Gue ikut taruhan juga deh," ucapnya sambil mengeluarkan kartu ATM dari dompetnya.
"Gue taruhan kalau Arsa ga bakal dapet tuh cewe, karena di tentang bokapnya. 1M gue jabanin," tambahnya.
Radit melihat teman-temannya satu persatu, "Pada ikut semua nih," ujarnya.
Satria mengangguk percaya diri, "Kenapa? Takut sama nyokap lo?" tukas Satria sambil menatap Radit dengan remeh.
Radit menyinggungkan senyumnya, "Siapa bilang."
Radit mengeluarkan tiga kartu atm dari dompetnya, "Masing-masing isinya 1,5M," sambungnya dengan gaya sombong.
"Kalian mau taruhan apa ajang nyombongin kekayaan," celetuk Arsa.
Satria menunjuk Radit, "Dia yang mulai noh," serunya.
Radit yang tidak mau di tuduh pun, akhirnya malah menunjuk Gibran. Setelah itu mereka saling bertengkar tidak jelas.
Arsa sibuk melihat teman-temannya bertingkah seperti anak kecil menurutnya.
TRING!
Dering notifikasi muncul dari ponsel Arsa, terdapat satu pesan dari gadis yang sedang di bicarakan tersebut.
Arsa menunjukkan chat gadis itu kepada teman-temannya, "Gimana? Masih tetep lanjut taruhan?"
Mereka semua langsung fokus melihat ponsel Arsa secara bersamaan.
"Lanjut, bokapnya belum tau. Kalau udah tau apes hidup lu, Sa," jawab Radit di angguki oleh Gibran.
Arsa mengangguk seraya tersenyum tipis, "Oke, kita buktiin nanti, Sat," ucapnya.
Satria menunjukkan jempolnya, "Kita tunggu dua hari lagi, Guys."
Arsa beranjak dari tempat, memasuki ponselnya kembali ke saku celananya dan memakai jaket yang ia kenakan, "Gua cabut duluan."
"Ke tempat Athanasia?" tanya Radit.
Arsa menggeleng, "Cewe yang kemarin?"
Teman-temannya sudah tau Arsa banyak simpanan wanita, nomor di kontaknya saja sudah seperti asrama putri.
"Gadis? Cewe kemarin?" tanya Satria, padahal lelaki itu berniat untuk pdkt.
Arsa mengangguk, "Minta di temenin, bonyoknya lagi keluar kota."
"Anjing, enak dong malem ini lo. Semoga lancar ya cocok tanamnya," ucap Radit menyemangati Arsa.
Arsa mengangkat tangannya dan jarinya membentuk tanda ok.
"Padahal mau gue gebet bangsat," umpat Satria.
Hanya di balas tawa dari Gibran dan Radit.
"Kalah start sih lo," ejek Gibran.
to be continue.
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik