Share

BAB III

Akhir-akhir ini gadis itu selalu menghabiskan waktunya dengan ponselnya, menunggu setiap saat notifikasi pesan dari Arsa.

Ya, lelaki yang baru dua hari kemarin ia sukai postingannya, malah sekarang lelaki itu mengirim pesan kepadanya. Ternyata lelaki itu juga menyukai seni lukis, maka dari itu mereka berteman karena menyukai hal yang sama.

Sekarang Sia sedang menunggu pesan dari lelaki itu, tapi tidak ada balasan dari si pemilik. Karena frustasi menunggu, Sia memberanikan diri untuk menelpon lelaki tersebut.

Rasa takut mulai menyelimutinya, takut Sia menganggu Arsa, Sia menunggu telepon tersebut diangkat oleh pemilik sambil menggigit kuku jarinya.

Memang seperti ini kebiasaan gadis itu, kalau sedang ketakutan ataupun khawatir.

"Halo?" 

Panggilan tersebut terjawab, tapi anehnya yang menjawab adalah suara perempuan di seberang sana.

"Halo?"

Dengan cepat Sia mematikan panggilan tersebut dan membuang ponselnya asal.

"Mampus, itu cewenya yang jawab?" celetuk Sia.

Ponselnya kembali berdering, dengan berat hati Sia mengambil ponselnya yang berada di ujung ranjang dan melihat nama Arsa tertera di panggilan tersebut.

Sia merutuki dirinya sendiri, bagaimana ini kalau ia disembur oleh kekasih orang itu.

Dengan gemetar, Sia menjawab panggil tersebut, "Maaf ya, sepertinya ini salah sambung," ucapnya dan hendak menekan tombol matikan panggilan.

Tapi terdengar suara tawa lelaki di seberang sana.

"Halo?" ujar Sia.

"Ini gua Arsa, apa masih salah sambung?" jawabnya, Sia menghela nafas panjang.

"Engga kok, tadi itu cewe kamu ya?" tanya Sia.

" ... " Tidak ada jawaban dari Arsa, Sia mulai overthinking di buatnya, bagaimana kalau sekarang lelaki itu sedang bertengkar dengan kekasihnya gara-gara dia.

Karena tidak ada jawaban dari seberang sana, Sia memberanikan diri untuk memanggil nama Arsa.

"Sa," panggilnya.

"Oh sorry, tadi kata lo apa?" tanya lelaki itu menyuruh Sia mengulang kembali kalimatnya.

Sia mengambil nafas, "Tadi itu cewe kamu?"

"Menurut lo gimana?" Lelaki itu malah melontarkan pertanyaan itu kepadanya.

"Cewe kamu?"

Arsa yang berada di seberang sana terkekeh kecil mendengarnya.

"Lo lucu, btw dia cuma temen," jawab Arsa.

Tanpa tersadar semburat merah muncul di wajahnya, kalau Arsa melihatnya sekarang mungkin lelaki itu tertawa. 

"Syukur deh." tak sadar kata-kata tersebut keluar dari mulutnya.

"M-Maksud aku, syukur gitu ga ada yang marahin aku karena nelpon pacar orang, iya gitu," ucap Sia terbata-bata.

"Kamu sangka aku berfikiran apa?" 

Sia memukul kepalanya, bodoh. Ah bisa gila dia dibuatnya.

"Aku kayaknya harus sarapan dulu deh," ujar Sia mencoba untuk melarikan diri dari percakapan ini.

"Ini udah siang, udah lewat waktu sarapan."

Sia dengan tergesa-gesa langsung mematikan panggilan tersebut secara sepihak.

Sia langsung merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit.

Bagaimana ia akan menjelaskan kepada lelaki itu nanti dan juga mengapa tiba-tiba jantungnya berdegup kencang.

"Ah! Sia bodoh!" teriaknya.

(...)

Satria kebingungan melihat Arsa yang cengar-cengir bodoh menatap ponselnya. Tadi Arsa menelepon dirinya untuk menjemput ia yang berada di salah satu perumahan elit.

Niatnya Arsa akan menginap dirumahnya, Satria tahu pasti lelaki itu tengah berselisih dengan keluarganya.

"Berhenti jadi kayak orang bego, Sa. Risih gue liatnya anjir," celetuk Satria.

Arsa memandang sinis terhadap Satria, "Lo gatau sih, siapa yang telepon gue tadi."

Ikut penasaran Satria bertanya kepada temannya itu, "Siapa yang bikin Arsa Putra Pangestu klepek-klepek sampai senyum-senyum kayak orang gila di depan ponsel."

"Sia," jawabnya singkat.

Satria bingung, nama ini baru pertama kali disebut Arsa.

"Siapa anjir Sia, sia maneh," canda Satria mendapat jitakan dari Arsa.

Lelaki itu terkejut, "Gue lagi nyetir nih anjir, kalau kecelakaan gimana."

"Siapa bilang lo lagi nyelem," ucapnya.

"...Athanasia, panggilannya Sia, anak yang kemarin lo kenalin ke gua yang jadi bahan taruhan kalian."

Satria langsung manggut-manggut mengerti, "Oh, Hana," jawabnya.

"Hana?" tanya Arsa.

Satria mengangguk, "Iya Hana, itu nama yang biasa di panggil sama pengikutnya," jawab Satria.

Arsa hanya mengangguk saja.

"Hana, cantik juga," gumam Arsa.

Satria langsung menoleh kearah Arsa, "Ha? Gue ga salah denger lo barusan muji cewe dengan kata cantik?"

Arsa hanya memutar matanya malas, "Lo budeg." 

"Anjing," umpat Satria.

(...)

Lelaki itu mengajak Sia keluar hari ini, ia ingin bertemu dengan gadis itu. Sia sudah bersiap-siap dan juga merangkai kata-kata agar Papanya memperolehkan ia keluar tanpa menggunakan bodyguard.

Sia berkaca di cermin dengan pakaian berwarna pastel dan juga rok pendek di atas lutut.

"Cantik," pujinya.

Gadis itu tersenyum semangat membayangkan ini pertama kali dirinya kencan dengan seseorang. Sebenarnya dulu pernah, tapi selalu gagal, berakhir lelaki yang mendekatinya secara terang-terangan mundur dan tidak mendekati dirinya lagi.

Sia menghela napas dan tersenyum manis menatap pantulan dirinya, "Kali ini, aku jamin ga bakal gagal lagi," timpalnya.

Gadis itu keluar kamarnya dengan santai. Saat baru keluar dari kamar Sia tak sengaja berpapasan dengan pembantunya yaitu Bibi Jami tengah membawa cemilan yang hendak dia antar ke kamar Sia.

"Non, mau kemana?" tanya Bi Jami.

Sia memegang pundak Bi Jami dan membalikkan tubuhnya.

"Mau pergi sama teman, jadi Bi Jami ga usah repot-repot nganter ini ke kamar Sia," ujarnya sambil menunjuk beberapa cemilan di nampan yang dibawa.

Bi Jami membelalakkan matanya, "Tapi nonā€”," ucapan Bi Jami terhenti tak kala Sia menaruh jari telunjuknya di bibir mengisyaratkan Bi Jami agar diam.

"Bibi ga usah khawatir, biar Sia yang ngomong sama papa, okay?" bujuk Sia, mendapat anggukan pasrah dari dari Bi Jami.

Sia tersenyum senang dan berjalan mendahului.

Gadis itu turun dari tangga dan dengan cepat pergi ke ruang kerja papanya. Tak lupa gadis itu mengetuk sebelum masuk.

"Hai Pa," sapanya.

Brian terheran-heran melihat anaknya tengah tersenyum ceria kearahnya, biasanya gadis kecilnya itu selalu memasang wajah jutek kepadanya.

"Pasti ada maunya," tebak Brian.

Sia tersenyum manis sambil berjalan mendekat kearah Brian dan menaruh tangannya di meja kerja tersebut serta menangkup wajahnya, ia hendak menggoda Ayahnya itu.

Brian terkekeh kecil melihat tingkah anaknya, "Mau kemana? Sudah rapi begini," ucapnya.

"Pa, aku mau keluar bareng teman," celetuk Sia dengan ekspresi memohon kepada Brian agar mengerti maksudnya.

Brian mengangguk, Sia langsung tersenyum lebar. Tapi senyumnya tak berselang beberapa lama setelah mendengar kalimat dari Brian.

"Boleh, nanti papa suruh om Johnny menemani kamuā€”" 

Sia mengubah air wajahnya, setelah itu menghentakkan kakinya kesal.

"Sia maunya sendiri, jalan sendiri bareng teman Sia, masa ga boleh sih!?" pekiknya.

Brian mengusap wajahnya kasar, "Sayang, ayolah ini demi kebaikan kamu, hm?"

Gadis itu pergi meninggalkan ruangan kerja Brian dengan hentakan kaki mengisyaratkan kalau ia sedang marah kepada Papanya.

Ponsel gadis itu berdering, Sia dengan cepat mengambil ponselnya yang berada di dalam tas dan segera menjawab panggilan dari Arsa.

"Aku udah di depan rumah kamu, aku masuk ya?" kata Arsa.

Sia langsung berjalan menuju gerbang depan rumahnya, "Ga usah masuk, Sa. Aku aja yang kesana," tolak Sia langsung mematikan panggilan tersebut dan dengan langkah cepat pergi ke gerbang depan rumah.

Sedangkan Arsa, lelaki itu baru sampai dan melepaskan helmnya sambil memandangi rumah besar di depannya. Arsa takjub melihatnya, lelaki itu sesekali menerjapkan matanya.

Arsa langsung mengambil ponselnya yang berada di saku celana dan menghubungi gadis bernama Athanasia tersebut.

"Aku udah di depan rumah kamu, aku masuk ya?" tanyanya. 

Gadis itu menjawabnya dengan napas yang tersengal-sengal, "Ga usah masuk, Sa. Aku aja yang kesana."

Setelah itu Sia mematikan panggilan secara sepihak. Arsa menggeleng, "Kebiasaan," gumamnya.

Satpam rumah itu melihat Arsa dengan tatapan bingung, setelah itu keluar dari gerbang dan menanyai Arsa.

"Mau cari siapa ya, Mas?" tanya Satpam tersebut yang bernama Udin di tanda pengenalnya.

Arsa dengan sopan turun dari motornya dan berjabat tangan dengan satpam tersebut, "Begini Pak Udin, saya mau cari anak pemilik rumah ini."

"Non Sia?" cetusnya.

Arsa mengangguk, "Benar, mau saya jemputā€”"

Satpam tersebut langsung menggeleng, "Sebaiknya jangan deh Mas, dari pada Masnya babak belur, mending Mas pulang aja ke rumah," potong Satpam tersebut.

Arsa mengernyitkan keningnya, "Makasih sebelumnya sudah khawatir terhadap saya, tapi saya cuma mau ajak Sia keluar sebentar," ucap Arsa.

Pak Udin memijat pelipisnya, dia bingung bagaimana menjelaskan tentang keluarga Sia kepada lelaki muda di depannya.

"Arsa!" panggil Sia. 

Tapi ada pria paruh baya di belakangnya yang mencekal pergelangan tangan Sia.

Sia memberontak sekuat tenaga untuk melepaskan cengkraman tersebut.

Arsa yang melihat itu hendak menolong Sia, tapi teriakan dari pria itu menghentikan langkahnya.

"Pak Udin, tutup gerbangnya!" seru Brian sambil membawa masuk Sia secara paksa.

"Iya, Ndan," jawab Pak Udin langsung melaksanakan perintah pemilik rumah tersebut.

Setelah pria itu masuk dengan Sia, Pak Udin memanggil Arsa menyuruhnya agar cepat pulang.

Rasa penasaran menyelimuti Arsa, siapa lelaki itu.

"Tadi itu Pak Brian, papa nya nona Sia," jawab Pak Udin.

Merasa puas dengan jawaban Pak Udin. Arsa berterima kasih, setelah itu pergi meninggalkan rumah Sia. 

"Mungkin hari ini date nya di tunda dulu," pikirnya.

(...)

Arsa sekarang menjadi olok-olokan dua insan tersebut. Siapa lagi kalau bukan Gibran dan Radit.

Radit tertawa geli mendengar cerita Arsa tentang pengalaman yang ia dapatkan tadi. Karena baru kali ini seorang Arsa gagal ngedate dengan wanita.

"Gimana Sat, mobil mercedes lo jadi buat kita kan," celetuk Gibran, sontak membuat Satria memijat pelipisnya frustasi.

Setelah itu ia melirik Arsa dengan tatapan tajam. Arsa yang menyadari dirinya sedang di tatap tajam oleh Satria.

"Bukan salah gua lah anjing, gua juga gatau kalau bakalan kayak gini," elak Arsa sambil mengeluarkan sebungkus rokok di saku jaketnya.

Radit dan Gibran hanya menggeleng melihat kedua temannya, "Gimana, Sat?" tanya Radit.

Mereka niatnya hanya menggoda Satria, tapi anak itu terlalu serius sekarang. Satria dengan berat hati mengeluarkan kunci mobilnya dan menaruh di depan Radit.

"Terserah mau lo pakai atau jual," ujar Satria dengan nada pasrah.

Gibran sontak tertawa dengan keras, "Bercanda anjing, serius amat hidup lo," ledeknya.

Radit mengambil kunci mobil itu, "Gue pakai deh seharian buat nganterin nyokap arisan," tambahnya sambil memasuki kunci mobil tersebut ke dalam saku celananya.

"Gue pulangnya gimana?" tanya Satria.

Radit mengeluarkan uang nominal 100ribu dari dompetnya, "Nih, cukup kan buat naik taksi ke rumah lo."

"Ga cukup anjing," gerutu Satria.

" ...Dari sini ke rumah gue 150 ribu bangke," lanjutnya.

Gibran dan Arsa hanya menggeleng melihat tingkah laku Satria.

"Lo kenapa, ada masalah? Biasanya kelakuan lo mirip hewan kebun binatang," ujar Gibran, Satria hanya mendengus kesal mendengarnya.

Satria menyenderkan tubuhnya dan memejamkan matanya, "Gua lagi bingung, nyokap bokap gua berantem mulu setiap hari, jing. Kaga ada capeknya," ucapnya.

Arsa yang berada di samping Satria menepuk pundak lelaki itu, "Sabar bro," ucap Arsa, dia juga bingung ingin memberi saran bagaimana.

"Yoi, Sat. Jangan terlalu dipikirin, sekarang lo lupain dulu jangan buat diri lo stres sendiri," titah Radit dan menuangkan wine ke gelas Satria.

Gibran mengangguk, "Sat, c'mon kita harus senang-senang dong, lupain semua masalah, ayo kita mabok sampai pagi!" pekiknya sambil mengangkat gelas berisi wine.

Mereka semua langsung berseru semangat termasuk Satria yang tadinya lesu dan tidak punya semangat.

Jam menunjukkan pukul dua dini hari, dua puluh lima botol minuman keras berserakan dimana-mana, mereka benar-benar ingin mabuk sampai pagi hari. Tapi sudah ada saja yang tepar sebelum pagi, yaitu Satria dan Radit tidak seperti biasanya Satria tepar duluan, mungkin karena masalahnya.

Gibran masih senantiasa sadar, walaupun ia beberapa kali menerjapkan matanya untuk membuat tetap sadar.

"Gi, tidur aja kalau udah ga kuat. Jangan memaksakan diri," bujuk Arsa, Gibran menggeleng lemah.

Ia mulai meracau tak jelas, "Sa, gue pengen lepas dari Tamara," lirihnya.

Arsa yang masih sadar menoleh ke arah Gibran, lelaki itu sedang menggoyangkan botol vodka.

"Gua capek lihat dia selalu bareng cowok mulu setelah putus sama gua, sakit, Sa," racaunya.

Arsa melihat temannya satu persatu, mereka semua mempunyai masalah pribadi, begitu juga dia. Maka dari itu mungkin Tuhan mempertemukan mereka dan semoga memberi akhir yang bahagia.

Arsa melirik ke arah Gibran, ternyata lelaki itu sudah tertidur pulas.

Ponsel Arsa bergetar, lelaki itu mengambil ponselnya yang berada di saku jaket, "Halo."

Terdengar isakan kecil seorang wanita di seberang sana. Arsa mengecek siapa yang menelepon tengah malam-malam seperti ini.

Sia, nama itu muncul di ponselnya. Arsa langsung sadar, lelaki itu lantas khawatir.

"Sia, lo kenapa? Lo di dimana," ucap Arsa, beribu-ribu pertanyaan ada di kepalanya, tanpa sadar nada bicaranya meninggi.

Isakan tangis wanita masih terdengar. "Maaf," ucap gadis tersebut.

Arsa dibuatnya bingung, "Maaf untuk apa, lo dimana sekarang?" tanya Arsa lagi.

Dengan berat, gadis itu menjawab, "Dirumah." 

Arsa menghela napas panjang, satu persatu ketakutan lelaki itu menghilang.

"Kenapa nangis, ada yang marahin lo. Bokap lo marahin lo?" tanpa Arsa, lelaki itu berjalan ke luar dari club karena terlalu bising.

"Bukan, kamu lagi di luar ya?" Suara gadis itu sangat berbeda saat menangis.

Arsa menjawab dengan dehem, "Tapi, serius lo ga papa kan?"

Gadis itu menjawab Arsa dengan lembut, "Iya."

"Lantas, kenapa nangis?" tanya Arsa.

"..." Tak ada jawaban dari Sia.

Apa mungkin gadis itu tertidur lelap, "Halo."

"Iya," jawab gadis itu singkat.

Arsa menghela napas, "Jawab pertanyaan gua."

Dengan berat hati gadis di seberang sana menjawab pertanyaan Arsa, "Karena kamu."

Ucapannya membuat Arsa makin bingung di buatnya.

to be continue.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status