Share

BAB IV

Penulis: nadjae
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-07 11:06:28

Baru ingin memejamkan matanya, ponsel Arsa berdering dan terlihat nama Arka muncul. Tanpa berpikir panjang, Arsa langsung mematikan panggilan tersebut, menaruh ponselnya di meja dan kembali memejamkan matanya.

Baru beberapa menit memejamkan matanya, ponselnya kembali berdering, karena malas menjawabnya. Arsa menghiraukan panggilan tersebut.

Satria yang terbangun gara-gara nada dering ponsel Arsa, langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, Arsa lagi tidur," ucap Satria. Saat hendak mematikan panggilan tersebut, teriakan seseorang di ujung sana membuatnya enggan menutup panggilan itu.

"Sa! Ayah jantungnya kambuh lagi!" pekik seseorang di seberang sana.

Satria merubah posisinya yang tadinya masih tidur, sekarang duduk sambil mengucek matanya berusaha membaca nama di ponsel tersebut.

Akibat minum alkohol terlalu banyak tadi malam, ia merasakan efek sampingnya yaitu pusing saat bangun. Arka, nama kontak yang menelepon Arsa.

Satria membelalakkan matanya dan langsung menendang kaki Arsa, berusaha membangunkan lelaki tersebut.

Arsa yang risih langsung melempar bantal sofa yang berada di sampingnya, "Matiin aja," ucapnya.

Lelaki itu mengelak dan memberikan ponsel kepada Arsa.

"Bokap lo penyakitnya kambuh lagi," ujarnya menyampaikan perkataan Arka tadi kepadanya.

Arsa memutar matanya malas, "Bukan urusan gua,"  balasnya, kembali menutup matanya.

Satria tetap menyuruh Arsa menjawab panggilan saudara kembarnya itu.

Karena ia tidak mau berdebat dengan Satria pagi-pagi seperti ini, Arsa langsung beranjak dari posisinya sembari mendengus kesal dan mengambil ponselnya yang berada di tangan Satria.

"Apa," ketus Arsa.

Tidak mendapat jawaban dari Arka, hanya terdengar suara isakan tangis.

Arsa mendecih, "Kalau ga ada yang mau diomongin, gua matiin. Ganggu orang aja," ujarnya.

"Arsa, pulang nak. Ayah kambuh lagi," kata orang di seberang sana, suara itu siapa lagi kalau bukan Bunda Arsa yang sedang menangis tersedu-sedu.

Lelaki itu mematikan ponselnya, mengusap wajahnya dan beranjak dari kursinya. Mengambil jaketnya serta mengeluarkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah dan menaruh di meja tersebut.

Satria mengambil uang tersebut, memberikannya kembali kepada Arsa, "Gausah, kali ini gue yang traktir. Masa lo terus yang traktir kita," celetuknya.

Arsa mengelak, "Ambil aja, gua cabut duluan. Bilang anak-anak gua punya urusan mendadak," balasnya dan setelah itu beranjak pergi.

"Sa, naik taksi aja," teriak Satria, tapi lelaki itu tidak mendengar anjurannya.

(...)

Arsa baru sampai di rumah sakit yang dikirim alamat oleh saudara kembarnya.

Dengan cepat Arsa pergi ke tempat resepsionis rumah sakit, "Permisi, ruang operasi di mana ya?"

Resepsionis wanita tersebut menunjukkan arah kepada Arsa. Lelaki itu berterimakasih terlebih dahulu setelah itu pergi seperti petunjuk yang diberikan resepsionis tadi.

Dengan terburu-buru, Arsa sampai di ruang operasi, di depan pintu ruang operasi sudah ada saudara kembarnya yang sedang memeluk bundanya untuk menenangkan.

Arsa kembali berjalan dengan tenang, berusaha membuat orang-orang terkecoh dan tidak menganggap ia sedang khawatir.

Bunda yang melihat Arsa langsung memeluknya, "Makasih udah datang, Nak," ucap Bundanya yang masih sesenggukan.

Arsa tidak membalas pelukan bundanya, terkesan menghiraukan perkataan wanita paruh baya itu.

"Lagi pula gua kesini mau menyaksikan dia menghembuskan nafas terakhirnya," celetuk Arsa tiba-tiba.

Bundanya yang mendengar perkataan Arsa mulai melepaskan pelukannya perlahan, bagi bundanya wajar Arsa memiliki dendam kepada ayahnya.

Tapi tidak dengan Arka, saudara kembarnya. Lelaki itu mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut saudara kembarnya dan langsung memberi Arsa tatapan tajam, tangannya mulai mengepal dan siap melayangkan tinjunya.

Lelaki itu maju dan langsung menarik kerah baju Arsa. Sementara itu, Arsa hanya tersenyum miring.

"Tonjok aja, sepuas lo," gertak Arsa dengan raut wajah meremehkan Arka.

Bundanya berusaha memisahkan mereka berdua. Arka meredamkan emosinya dan menjauh dari Arsa.

Lelaki itu memilih untuk meredakan emosi dari pada harus bertengkar di depan ruang operasi di mana ayahnya sedang bertaruh nyawa.

Arsa menyeringai melihat saudara kembarnya, "Pengecut," gumamnya.

Bunda serta Arka mendengar perkataan yang barusan keluar dari mulut Arsa. Bundanya menggeleng berusaha menenangkan putranya tersebut.

(...)

Arsa melirik arlojinya, sudah satu jam berlalu tapi ruang operasi itu tak kunjung terbuka. Merasa bosan, Arsa melangkah untuk pergi mencari udara segar, tapi baru ingin melangkahkan kakinya, seorang pria paruh baya yang ia perkirakan adalah dokter keluar.

Dokter tersebut tersenyum, "Selamat, operasinya berjalan dengan lancar," kata dokter tersebut.

Bundanya langsung memeluk Arka dengan senang. Arsa menghela napas dan tersenyum tipis, setelah itu beranjak pergi.

Arsa berjalan dengan santai, sesekali melihat satu persatu pasien di rumah sakit yang sedang berlalu lalang.

"Arsa?" panggil seseorang, lelaki itu membalikkan tubuhnya.

Arsa tersenyum tipis dan berjalan kearah seseorang yang memanggilnya tadi dan mereka saling berjabat tangan.

"Kamu ngapain kesini? Periksa?" tanya lelaki di depan Arsa yang bernama Daniel.

Arsa menggeleng, "Papa penyakitnya kambuh, jadi harus operasi," jawabnya.

Raut wajah Daniel berubah menjadi khawatir, "Bagaimana operasinya? Lancar?" 

Arsa mengangguk, "Lancar. Oh iya Dokter ngapain disini?"

Daniel mengelus dadanya, "Syukurlah."

" ... Saya hanya bertemu teman lama saja. Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi kamu?" tanya Daniel.

Arsa menggaruk tengkuknya, "Akhir-akhir ini belum, mungkin karena saya rutin minum obat yang diberikan dokter," jawabnya.

Daniel mengangguk dan menepuk pundak Arsa, "Bagus kalau begitu, tapi sesuai anjuran saya tolong jangan sering meminum alkohol. Kalau kamu sayang dengan tubuhmu, berhenti mengkonsumsinya." 

Lelaki itu menyinggungkan senyumnya, "Kalau sudah di takdirkan untuk mati, percuma juga untuk sembuh, Dok. Anda tahukan seberapa penting alkohol bagi saya," tuturnya.

Daniel memijat pelipisnya. Arsa memang selalu keras kepala di bilang, mau seribu kali Daniel menasehatinya seperti itu, tetap saja lelaki itu selalu menjawabnya.

Daniel mengangguk pasrah, "Baik-baik, kalau penyakitnya kambuh jangan lupa menelepon saya. Tapi, semoga penyakitmu sembuh total ya." Arsa mengangguk.

"Kalau begitu, saya pamit dulu," ucapnya sambil menepuk pundak Arsa dan pergi meninggalkannya.

(...)

Arsa menyampaikan pesan kepada Sia kalau hari ini ia akan berkunjung ke rumahnya. Gadis itu amat senang dan menunggu Arsa di balkon kamarnya, karena kalau turun ke bawah dan bertemu di gerbang pasti bodyguard papanya sudah menyeretnya masuk.

Setelah beberapa jam menunggu lelaki tersebut. Akhirnya ia datang dengan sepeda motornya yang di parkirkan di seberang gerbang rumahnya.

Lelaki itu melambaikan tangannya ke Sia, dengan wajah senang serta tersenyum lebar Sia membalasnya.

Arsa mengeluarkan ponselnya dari saku celana, setelah itu lelaki tersebut mengetik sesuatu di sana.

Notifikasi pesan masuk ke ponsel Sia, dengan cepat gadis tersebut membukanya. Ternyata pesan dari Arsa.

LINE

Arsa : Papa lo ga ada?

Sia : Ga ada, memangnya kenapa?

Arsa : Ayo jalan

Sia melirik ke arah Arsa, ia mengayunkan tangan menyuruh Sia turun ke bawah. Sia langsung menggeleng cepat dan mengetik pesan kepada Arsa.

Sia : Ga bisa, ada bodyguard

         Papa di bawah.

Arsa memijat pelipisnya, apa mungkin kali ini ia kalah lagi mengajak gadis itu ke luar. Kalau iya mungkin nanti ia menjadi bahan olokan temannya, harga diri Arsa dipertaruhkan disini.

Arsa turun dari motornya dan berjalan mendekat ke arah gerbang ke pos satpam Pak Udin. Sia membelalakkan matanya dan segera mengirim pesan ke lelaki itu. 

Arsa memeriksa ponselnya, Sia menyuruhnya untuk pergi dan kembali besok. Arsa melirik ke arah Sia yang berada di balkon yang sedang menggeleng sambil membentuk tanda X dengan tangannya.

Karena merasa tertantang dirinya langsung menyapa Pak Udin yang tengah membaca koran sambil menyesap kopinya.

Sia hanya bisa menghela napas berat sambil memperhatikan lelaki itu dari atas sini.

"Selamat pagi, Pak Udin," sapanya dengan senyum andalan.

Pak Udin menutup korannya dan memperhatikan lelaki yang menyapanya dengan lama. Pak Udin mengingat lelaki muda ini langsung menepuk keningnya dan menggeleng-geleng tak percaya.

"Ya ampun, kamu lagi to Mas Arsa," celetuknya, keluar dari pos satpam sambil membenarkan topi satpamnya.

Arsa tersenyum lebar. 

"Mau ngapain lagi to kesini? Bentar lagi tuan pulang, mending Masnya pulang juga," tuturnya. 

Arsa memberikan tiga lembar uang berwarna merah kepada Pak Udin, "Buat jasa tutup mulut, gimana?" bujuknya.

Pak Udin menggigit bibirnya cemas saat memegang uang tersebut, "Aduh, Mas. Bukan gimana ya, saya juga to takut sama komandan," jawabnya.

Lelaki itu merogoh kembali saku celananya guna mengambil dompet, setelah itu menambahkan dua lembar uang berwarna merah kepada Pak Udin.

Keringat dingin mulai membasahi wajah Pak Udin, "Aduh Mas, nanti kalau saya di pecat gimana to?"

Arsa dengan cepat menggeleng, "Ga bakal, asalkan Pak Udin tutup mulut," jawabnya.

TIN TIN

Bunyi klakson tersebut membuyarkan percakapan mereka. Arsa membalikkan badannya, terlihat mobil Mercedes Benz warna hitam tepat di belakangnya. Lelaki itu dengan cepat menyingkirkan tubuhnya, Pak Udin langsung membuka gerbang tersebut. Sesekali memberi isyarat agar Arsa pergi, tapi lelaki itu tak menyadari Pak Udin.

Mobil Mercedes Benz tersebut masuk, tapi seketika mobil itu berhenti dan seorang pria paruh baya keluar dari mobil tersebut.

"Pak Udin," panggil lelaki paruh baya tersebut. Arsa mengingat lelaki ini yang kemarin menarik tangan Sia. Ia adalah Brian, Ayahnya gadis itu.

Pak Udin langsung bersikap siap menghadap Brian, "Siap, komandan," ucapanya.

Pak Udin sudah keringat dingin dibuatnya.

"Kalau ada orang yang tidak di kenal mencoba untuk masuk ke dalam, usir dia. Kalau tidak bapak tau bukan konsekuensinya?" sergah Brian. 

Pak Udin menelan salivanya, napasnya dibuat naik turun, dan tidak lupa keringat yang sudah mulai berjatuhan di sisi wajahnya.

"Siap, Ndan!" 

Brian mengangguk dan menepuk pundak Pak Udin, setelah itu berjalan meninggalkan Pak Udin.

Baru beberapa langkah, "Pak Brian," panggil Arsa.

Sia merutuki panggilan Arsa tadi terhadap Papanya. Gadis itu tak berani melihatnya dan langsung masuk ke dalam kamarnya.

Brian membalikkan tubuhnya, lelaki paruh baya itu melihat seorang lelaki muda yang berada di luar pagar sedang memanggilnya.

Brian menyipitkan matanya dan menatap lelaki itu. Setelah menatapnya, Brian mengetahui siapa lelaki itu.

Dan langsung berjalan tergesa-gesa ke arah Arsa dengan raut wajah garang. Pak Udin yang menyaksikan itu langsung menutup matanya.

"Papa!" pekik Sia.

Brian berhenti dan membalikkan tubuhnya ke arah Sia, setelah itu tersenyum lebar.

Sia berlari memeluk tubuh Papanya, "Pa, kangen!" serunya.

Sia melihat ke arah Arsa dan menyuruh lelaki itu pergi sekarang. Arsa yang mengetahui isyarat Sia bingung. 

Mengapa ia harus pergi sekarang, bukannya ini waktu yang pas buat memperkenalkan dirinya kepada Papa Sia? Begitulah pikir Arsa.

Sia mengayunkan tangan, menyuruh Arsa lekas pergi.

Lelaki itu pun menurut dan pergi berjalan ke arah motor, menyalakan motornya, memakai helm, dan setelah itu pergi.

Sia menghela napasnya lega, setelah itu melepaskan pelukannya.

Brian kembali membalikkan badannya, tidak ada siapa-siapa disana. Hanya terlihat Pak Udin tengah tersenyum kikuk. Brian menggaruk kepalanya bingung.

"Kenapa, Pa?" tanya Sia.

Brian menggeleng, "Bukan apa-apa. Ayo masuk," ajaknya.

to be continue.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Athanasia   Epilog

    Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath

  • Athanasia   Bab LX

    Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k

  • Athanasia   Bab LIX

    Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.

  • Athanasia   Bab LVIII

    Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu

  • Athanasia   Bab LVII

    Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men

  • Athanasia   Bab LVI

    Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status