Lelaki itu berjalan dengan lunglai, dia sedang mabuk. Tadi malam ia menghabiskan waktu untuk meminum alkohol seperti biasa. Tidak ada yang menemaninya untuk menghabiskan beberapa botol alkohol, karena kesibukan temannya masing-masing.
Ia memegang kenop pintu rumahnya, terkunci ternyata. Saat ia ingin mengeluarkan kunci dari saku jaketnya, satu tangan lebih dahulu membukakan pintu tersebut, ia adalah Arka kembarannya.
Arsa masuk lebih dahulu, ia menerjapkan matanya guna untuk melangkahkan kakinya naik ke tangga untuk menuju kamarnya. Tapi tubuhnya begitu lemah dan pandangannya buram, jadi ia pun beberapa kali tersungkur. Arka dengan sigap membantu Arsa bangun, tapi lelaki itu menepisnya.
"Gua ga butuh bantuan lo," decak Arsa sambil menunjuk ke arah wajah Arka dan ia kembali naik ke atas menuju kamarnya. Arka menatapinya dari bawah berjaga-jaga agar saudaranya itu tidak jatuh lagi.
Arsa memasuki kamarnya dan langsung merebahkan dirinya. Ia memijat keningnya untuk menghilangkan rasa pusing.
TOK TOK
Suara ketukan pintu terdengar. Arsa menggeram dan ia menatap tajam ke arah seseorang yang berada di balik pintu tersebut, siapa lagi kalau bukan Arka. Ia tak senang jika tidurnya diganggu, apalagi Arka adalah orang yang sangat ia benci kedua setelah ayahnya.
Dengan pandangan yang buram, Arsa membuka pintu tersebut, "Ada apa, ga bosen lo ganggu kegiatan gua mulu," desis Arsa dengan tatapan tajam ke Arka.
Arka memberikannya sekaleng susu beruang dan juga air putih, "Buat hilangin mabuk kamu," ucapnya dengan senyuman tulus ke arah adiknya.
Arsa memutar matanya malas dan menutup kembali pintu itu dengan kasar serta kembali merebahkan dirinya ke kasur.
"Saya taruh di pinggir kanan pintu ya, Sa." Setelah itu Arka pergi dari pintu kamar Arsa.
Lelaki itu hanya mendecih mendengarnya dan mulai memejamkan matanya. Baru beberapa menit memejamkan matanya, panggilan masuk dari Satria. Lelaki itu mendengus kesal dan berjanji akan menghajar Satria nanti, dengan kesal Arsa menjawab panggilan tersebut.
"Apa!" ketus Arsa.
"Sa! Lo harus kesini, Gibran dihajar gengster, gue sama Radit on the way kesana." Arsa tidak mendengar perkataan Satria, karena terlalu bising kendaraan di panggilan telepon itu.
"Apa? Suara lo ga kedengeran," sahut Arsa.
Satria mendecak, "Gibran dihajar orang!"
Arsa yang mendengar perkataan Satria langsung membelalakkan matanya dan dengan terburu-buru langsung bangkit dan mengambil jaketnya yang tergantung.
"Gua kesana, kalian duluan bantuin Gibran," jawabnya. Setelah itu menutup panggilan tersebut.
Ia membuka pintu tersebut dengan terburu-buru, Arsa menoleh ke samping dan melihat air putih dan susu beruang ada disana. Ia mendecak sebal dan merutuki situasinya sekarang, ia masih merasa pusing dan belum seratus persen sadar, tetapi apa boleh buat sekarang ia harus menyingkirkan egonya dan segera meminum susu beruang pemberian Arka.
Arsa langsung meminumnya habis dan membuang botol tersebut. Arka melihat Arsa sedang terburu-buru turun dari tangga.
"Mau kemana, Sa?" tanya Arka sambil mencengkram tangan Arsa. Lelaki itu melihat ke arah Arka, menatap tajam lelaki itu agar melepaskan tangannya. Arka dengan cepat melepaskan tangannya. Arsa pergi, menghiraukan perkataan saudaranya itu dan ia bergegas langsung pergi ke bagasi rumahnya, menyalakan motornya.
(...)
Satria dan Radit sedang menunggu Arsa di pinggir gang menuju tempat itu. Arsa datang dan membuka kaca helmnya, "Gibran?"
Radit menunjuk ke arah gudang kosong tersebut, "Ck, terus kalian ngapain nunggu disini bego!" serunya.
"Ya nungguin lo lah anjir, kalau gue sama Radit masuk kesana nanti nambah runyam," jawabnya. Arsa hanya menghela napasnya kasar.
Lelaki itu langsung menutup kaca helmnya serta menyalakan motornya dan menancapkan gas menuju gudang kosong yang di tunjuk oleh Radit. Satria dan Radit menyusulnya menggunakan mobil.
Sesampainya di sana, Arsa sudah lebih dulu turun dari motornya dan masuk ke dalam gudang tersebut. Sepi, hanya ada beberapa kayu dan juga banyak debu.
Mata lelaki itu menjelajahi setiap sudut gedung tersebut, ia melangkahkan kakinya menuju tangga dan terlihat Gibran yang terkapar di lantai serta wajahnya yang sudah babak belur. Arsa langsung berlari ke arah Gibran, "Dimana mereka!?" seru Arsa.
Gibran menggeleng lemah, Arsa menjambak rambutnya dengan kasar, "Ah anjing!" teriaknya.
Arsa langsung membopong tubuh Gibran di punggunya dan membawanya keluar dari gudang. Satria dan Radit yang baru mau naik tangga langsung menyuruh Arsa menurunkan tubuh Gibran.
"Kalian bawa Gibran ke rumah sakit."
Radit menautkan alisnya, "Lo mau ke mana, jangan bilang?"
"Ada yang harus gua selesaikan. Titip Gibran," jawabnya. Setelah itu meninggalkan teman-temannya yang menghela napas kasar.
(...)
Arsa mengelilingi daerah sekitar gudang guna mencari pelaku yang membuat temannya babak belur seperti itu, walaupun ia sudah mengelilingi daerah itu sebanyak tiga kali. Tapi saat ia tak sengaja lewat depan warteg yang berada di pinggir jalan ia melihat lima orang sedang asik makan sambil tertawa-tawa, ia mencurigai mereka.
Untuk membuktikan kalau kecurigaannya benar dan mereka lah yang membuat Gibran seperti itu. Arsa memarkirkan motornya di depan warteg tersebut dan berpura-pura memesan kopi sambil mendengarkan percakapan mereka.
"Sumpah lo liat ga wajahnya yang udah ga berbentuk itu, hahaha," kata seseorang yang sedang melahap tempe di tangannya.
Satu orang lagi merespon perkataan lelaki dengan kulit tan tersebut, "Asli, lo sih Ko. Nafsu banget ngehajarnya."
Telinga Arsa sudah panas, lelaki itu menahan amarahnya, menunggu waktu yang tepat untuk menghajar mereka. Satu laki-laki berkulit putih sedang menyesap kopinya yang Arsa curigai adalah ketua geng tersebut, "Gimana ya, salah dia sendiri mau rebut Tamara dari genggaman gua. Satu kampus juga tau kalau gua lagi pdkt sama Tamara, dia dengan seenaknya dekati cewe yang gua suka."
Arsa mendecih dan menyinggungkan senyumnya. Mereka otomatis menatap kearah Arsa, salah satu dari mereka menghampiri Arsa dan mendorong bahu Arsa, "Lo liat apa? Fokus aja minum kopi lo, apa mau gue tambahin gula?" ejeknya sambil mengambil wadah yang berisi garam, setelah itu menumpahkan semua garam masuk ke dalam kopi yang Arsa pesan.
"Ayo minum," ujar lelaki itu, teman-temannya yang lain tertawa terbahak-bahak melihat temannya sedang membuli Arsa.
Lelaki itu mengambil kopi Arsa tadi, "Apa mau gue suapin?" ucapnya, temannya tertawa lagi melihat tingkah lelaki di depan Arsa yang sedang bertingkah seperti menyuapi anak bayi.
Arsa bangkit dari posisinya.
"Wah nantang dia," kata lelaki tersebut kepada teman-temannya.
Arsa menatap tajam lelaki di depannya, setelah itu memelintir tangan lelaki tersebut. Lelaki itu sudah mengerang kesakitan dibuatnya, setelah itu Arsa memberi pukulan sikunya di punggung lelaki itu dan akhirnya ia terkapar menahan sakit.
Arsa merentangkan tangannya, membuat sedikit perenggangan pada ototnya, "Udah lama ga berantem, jadi kangen suasananya," celetuk Arsa. Mereka mengindik ngeri dengan pukulan Arsa yang membuat temannya tumbang.
Arsa berjalan ke arah mereka semua yang langsung mundur keluar dari perkarangan warteg tersebut. Setelah itu, Arsa memberi isyarat dengan jarinya, menyuruh mereka maju. Dengan emosi salah satu mereka maju dan langsung melayangkan tinjunya ke wajah Arsa, dengan cepat Arsa mengelak pukulan tersebut dan membalas dengan meninju wajah lelaki tersebut, ia berakhir tersungkur ke tanah.
Lelaki yang tadi Arsa yakini adalah ketua geng mendorong tubuh anak buahnya untuk menghajar habis Arsa. Lelaki itu dengan senang hati langsung melayangkan tendangan kaki kepada dua orang itu sekaligus. Ia tersenyum bangga karena masih bisa menguasai tendangan tersebut.
Arsa memandangi lelaki yang berada di depannya yang sedang memegang pisau dengan tubuhnya yang gemetar. Arsa memijat pelipisnya, "Ngerepotin aja," gumamnya.
"... G-gue bisa denger ya," sahutnya. Arsa mengangguk.
Ia melangkah maju, begitu pula lelaki yang di depannya dengan cepat melangkah mundur, "Gua gamau basa-basi, lo kan yang ngebuat Gibran babak belur?"
Lelaki itu menatap remeh Arsa dan menyinggungkan senyumnya, "Oh lo dekengannya Gibran. Kenapa? Mau balas dendam apa yang gua perbuat ke teman lo?"
Arsa mengepalkan tangannya, "Ga usah banyak bacot lo anjing," pekiknya. Arsa berlari ke arah lelaki tersebut dengan cepat lelaki itu berjaga-jaga dengan pisaunya. Setelah itu ia menusuk ke arah perut Arsa, tapi ia dengan sigap langsung memegang lengan pria tersebut dan memelintirkan tangannya sehingga pisau yang ia pegang terlepas dari genggamannya.
Arsa merubah posisinya jadi di belakang lelaki itu dan menarik tangan lelaki itu ke belakang. Pria itu berteriak kesakitan dan memohon ke Arsa agar melepaskannya. Bukannya melepaskannya, Arsa malah menekan tangan lelaki itu dan membuatnya menggerang kesakitan.
" ... Sorry, iya gue salah. Tapi Tamara— Argh!" Arsa menekannya dengan keras.
"Minta maaf sama Gibran dan juga jangan ganggu Gibran lagi, kalau lo ga mau terkait masalah sama gua," ucap Arsa dengan nada mengintimidasi, setelah itu ia melepaskan tangannya.
Arsa masuk ke warteg tersebut dan mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah kepada ibu warteg tersebut, "Maaf sudah memberikan kekacauan di warung, Ibu."
Wanita tua itu tersenyum membalas ucapannya. Arsa melihat lelaki yang membulinya masih terkapar di bawah, dengan sengaja ia menginjak kakinya membuat ia menggerang kesakitan lagi.
(...)
Arsa baru sampai di rumah sakit yang di berikan alamatnya oleh Radit, dengan terburu-buru ia ke ruangan UGD. Di ujung ruangan tersebut terlihat Satria dan Radit sedang bercanda gurau dengan Gibran.
"Baru dateng lo, ketemu sama mereka?" tanya Radit.
Arsa mengangguk, Satria dan Radit menatapnya dengan takjub, "Sorry, Sa. Udah ngerepotin lo," celetuk Gibran.
Lelaki itu menggeleng, "Kita udah temenan dari jaman SMA, udah kayak saudara. Ga usah sungkan sama gua," jawabnya dan di angguki oleh Satria.
Gibran tersenyum tipis, "Tetap aja gue harus berterima kasih sama lo."
Arsa mengangguk, "Iya dah, lo juga harus cepat sembuh ga enak tidur di rumah sakit tuh." Dan Gibran mengangguk sambil tersenyum.
"By the way, gimana tadi? Pada tumbang ga? Terus, kok lo bisa ketemu sama mereka," tanya Radit bertubi-tubi.
Arsa menunjuk dahinya, "Pakai insting."
"Anjay," ucap mereka serempak. Setelah itu Radit menyuruh Arsa menceritakannya bagaimana ia menghajar orang-orang itu habis-habisan.
Mereka semua mengangguk mengerti, "Kalau ada gue pasti habis dah tuh mereka," celetuk Satria dengan bangga, membuat Radit dan Gibran menatapnya aneh.
"Yang ada malah ngeribetin kalau ada lo disana," sahut Radit.
Arsa menggeleng, "Kalau gua ga ada, kalian harus ngelindungin satu sama lain, jangan ngandelin gua."
Mereka semua menatap kearah Arsa, "Maksud lo? Mau pergi kemana coba," balas Gibran.
"Ya kita gatau kalau gua besok mati," jawab Arsa asal dan berakhir bahunya dipukul Radit.
"Sembarangan, omongan itu doa anying," ucap Radit.
Satria mengangguk, "Ya tuhan juga ga bakal ambil nyawa lo cepat-cepat kali, lo harus bayar dosa dulu."
Mereka semua mengangguk setuju. Arsa hanya tersenyum kecut mendengarnya.
to be continue.
Hari ini tepat hari pemakaman Arsa, semua orang berduka dengan kepergian sosok laki-laki keras kepala itu. Begitu juga dengan gadis cantik bernama Athanasia, tak ada hentinya air mata mengalir membasahi pipi, ia begitu putus asa setelah kehilangan sosok yang sangat berarti bagi hidupnya.Pakaian serba hitam dan juga duka yang menyelimuti seluruh orang yang datang. Kepergian Arsa, menyebabkan kehilangan yang amat dalam bagi orang yang pernah mengenal baik dirinya.Tak seperti prespektif orang-orang yang menatap dirinya buruk. Pemakamannya cukup ramai didatangi banyak orang, karena Arsa terkenal baik dengan banyak orang, sampai tukang bersih-bersih komplek rumahnya saja mengenal baik dirinya.Diana sangat berduka atas kematian putranya, bukan hanya dirinya saja, begitu juga dengan orang yang selama ini dikenal arogan dan kejam oleh banyak orang—Tama, pria paruh baya itu tentu sangat berduka sampai dirinya hanya terdiam dengan tatapan kosong.Ath
Dokter Daniel ke luar ruangan sambil melepaskan maskernya. Gibran, Radit dan Satria langsung menghampiri Daniel, sementara pria paruh baya itu menghela napas panjang. Tatapan matanya menjadi sendu, "Arsa masih bisa diselamatkan," ujar Daniel, mereka semua langsung bernapas lega mendengarnya.Diana dan Athanasia tersenyum bahagia mendengarnya, gadis itu melemparkan senyumnya ke Diana yang berada tepat di sampingnya. Wanita paruh baya itu membalasnya dengan senyuman tipis. Gorden jendela penutup ruang ICU kembali dibuka. Diana bangkit dari duduknya dan menatap kembali anaknya yang sedang terlelap di dalam ruangan."Saya memberikan obat penenang kepada Arsa. Gejala yang dirasakannya tadi cukup parah," tutur Daniel.Athanasia meletakkan tangannya di kaca sambil menatap nanar sang kekasih yang terbaring lemah di ranjang pasien. Rasa sesak di dadanya mulai berangsur membaik, dikarenakan Arsa sudah dalam kondisi baik dan juga langsung ditangani oleh Dokter.Ia k
Diana sampai di ruang ICU di sana Tama sudah duluan sampai dan sedang menunggu Diana untuk masuk bersama melihat anaknya. Mereka pun masuk bersama sambil memakai APD untuk masuk ke ruangan steril itu. Akibat karena pengunjungan dibatasi, maka hanya boleh kelurga yang menjenguk. Sementara Radit, Gibran, dan juga Satria hanya bisa menatap Arsa dari jendela.Tama masuk terlebih dahulu dengan APD yang lengkap dan disusul oleh Diana, kalau Arka ia sedang menyusun barang yang akan ia bawa ke London. Laki-laki itu akan terbang malam ini, kalau tidak ada halangan.Diana masuk, di sana mereka diarahkan oleh perawat. Arsa masih terbaring lemah, matanya berulang kali menerjap. Diana sedikit menekuk lututnya agar melihat sang putra lebih dekat. Manik mata Arsa menatap lamat ibundanya dengan lemah Arsa mengukir senyum tipis kepada Diana. "Arsa yang kuat ya, Nak. Bunda tahu anak Bunda satu ini anak yang kuat," cetus Diana sambil menggenggam erat tangan Arsa yang terasa dingin.
Perasaan gusar menyelimuti ruang tunggu ICU. Mereka semua hanya bisa pasrah kepada Tuhan, doa selalu mereka panjatkan untuk Arsa yang sedang mempertaruhkan nyawanya. Tama selaku ayah Arsa hanya bisa menundukkan wajahnya.Semua yang berada di ruang tunggu terus menerus berdoa untuk Arsa yang berada di dalam. Diana menatap dari luar ICU keadaan anaknya, air matanya terus mengalir tanpa jeda. Ia selalu meminta kesempatan kedua kepada Tuhan untuk memperbaiki dirinya untuk adil dalam menyayangi kedua putra kembarnya.Saat Dokter Daniel ke luar ruang ICU, Tama langsung mendekatinya, "Saya berani bayar berapapun untuk kesehatan Arsa, saya akan berbuat apapun untuk anak saya," tuturnya kepada Daniel. Raut wajah panik terlihat dari Tama, tetapi pria paruh baya itu tak pernah mengeluarkan sedikitpun air matanya.Daniel menghela napas panjang, "Tentu saja saya berbuat sebaik mungkin yang saya bisa untuk memulihkan kondisi tubuh Arsa, tetapi tiap waktu kondisinya mulai menu
Arsa lupa akan janjinya dengan Athanasia, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Ia pun menyibakkan selimut yang menutupi dirinya dan bangkit dari ranjangnya. Saat kakinya sudah menapak di lantai, tiba-tiba nyeri perutnya menyerang, membuat sakit yang amat mendalam sampai membuat dirinya jatuh ke lantai. Arsa tentu meringis sembari memegang perutnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi kakinya seketika lemas di tempat. Ia mengerang kesakitan, Satria yang baru tiba langsung terkejut melihat sahabatnya itu. Ia berlari mendekat ke arah Arsa dan membantu laki-laki itu ke ranjangnya. "Arka, di mana?!" pekiknya khawatir yang melihat Arsa terus mengerang kesakitan. Di situasi seperti ini, tentu ia bingung harus berbuat apa. Arka datang dengan membawakan segelas susu hangat yang hendak ia berikan kepada Arsa. Laki-laki berkacamata yang baru menepati kakinya di depan pintu terkejut melihat Arsa tengah merintih kesakitan. Dengan cepat Arka men
Diana tengah menyusun barang serta pakaian yang akan dibawa oleh Arsa. Awalnya Arsa menolak untuk Diana yang memasuki barang-barangnya, tetapi Diana tetap bersikeras untuk melakukannya, Arsa pun mau tak mau menyerahkannya.Arka juga begitu, laki-laki berkacamata hari ini akan berangkat ke London pada pukul lima sore. Tak lupa sebelum pergi, ia akan berpamitan dengan Arsa terlebih dahulu.Diana telah selesai memasukkan semua keperluan Arsa di dalam koper warna hitam. Ia ke luar sambil menggeret koper tersebut. Ia melihat ke arah kamar Arka, putranya tengah memandang sebuah foto berbingkai, yang Diana tahu itu foto terakhir Arsa dan Arka punya.Kedua putranya waktu zaman sekolah dasar, mereka sangatlah dekat sampai tak pernah ingin dipisahkan, walau hanya sebentar. Sekarang mereka bagaikan air dan minyak, tak akan pernah bisa bersatu.Dengan langkah berat, Diana mengetuk pintu kamar Arka terlebih dahulu. Laki-laki berkacamata itu langsung menyembunyik