Share

2. Badboy

[POV Adrian]

-----

Buru-buru kuputar gagang pintu untuk menyambutnya, sosok yang kujaga sebagai harta karun nomor dua.

Jaket tebal, berhias bulu wol putih di kerah. Jaket warna olive itu membalut tubuh berlekuk biola nan menggugah nafsu liar dalam jiwaku. Dia berdiri di depan pintu apartemen seperti pragawati melipat kedua tangan ke depan dada, penampilan menantang nan indah, terlebih celana jeans panjangnya begitu ketat mengikuti lekuk kaki jenjang.

Seperti biasa senyum manisku untuknya, tapi kenapa dia diam? "Ada yang salah dengan penampilanku?"

Bibir tipis manis mencibir seperti moncong kuda ketika sepasang netra berbentuk almond tertuju pada pangkal atas kaki. "Serius?"

Aduh lupa, dari tadi hanya memakai celana dalam. Sial. Tetap tenang, diaFany, dia terbiasa dengan hal ini. "Ada masalah?"

Matanya berkancing warna kuning amber berputar dalam poros

"Ayolah Fan, kamu sering melihat bagian itu, bukan masalah besar kan?"

"Ya Tuhan." Dua tangannya mendobrak badanku, masuk menuju dapur, menganggap apartemen ini seperti miliknya sendiri. "Adrian Bened. Aku tidak bisa selalu datang kemari membangunkanmu!"

Aku menutup pintu, mengekor menuju dapur.

Dia Estefany Reine. Anak teman mendiang Ayahku. Fany mengerti diriku lebih dari keluargaku sendiri. Entah kenapa dia begitu baik, setia bersusah payah datang kemari sekedar membangunkan dan mengajak pergi ke kampus bersama.

Aku singgah ke stool bar, mengagumi sosok yang pemilik jaket di atas meja dapur sibuk menggoreng telur dan sosis goreng.

"Kapan kamu akan dewasa?" Tangan sibuk, bibir berucap, multi tasking, calon istri terbaik di dunia. 

Aku menjawab, "Buat apa jadi dewasa, kan ada kamu yang mengurusku?" sengaja memancing supaya dia berkicau lagi.

"Buat dirimu sendiri. Setidaknya mandi lah yang bersih, bangun pagi, bersihkan kandang babi ini." 

Suaranya ketus, tapi tetap manis. Dia lanjut berucap, "Umurmu sekarang dua puluh lima tahun, setidaknya pikirkan masa depanmu."

Aku mengangguk mengambil mug berisi kopi hangat buatannya.

Dia hendak bicara, tapi urung karena suara hisak gadis di atas ranjang. Astaga, aku lupa jika kami tidak sendiri di sini. 

Boneka barbie itu sadar akan kehadiran Fany. Dia menarik selimut menutupi badan, dengan bagian bawahnya seperti kain pel membersihkan lantai.

"Adrian!" Mata Fany mebyorktku, tali ujung telunjuk menunjuk gadis. "Dia--"

"Kamu mengenalnya?"

"Dia Melissa--"

"Aku tidak tahu kalau dia temanmu. Kamu bisa membawanya pulang. Aku tidak akan menemuinya lagi."

Fany mendorong pundakku mundur. "Berhenti bercanda idiot. Kamu tahu siapa dia?" Nada bicaranya mengecil seperti enggan menyapa Melisa.

Aku menanggapi sesantai mungkin, supaya tidak lahir perkara. "Apa ini sebuah pertanyaan, yang membuatku menjadi kaya raya jika menjawab dengan benar?"

"Ya Tuhan, Adrian. Dia tunangan Kakakmu!" Fany mengelus kening dan tangan yang satu berada di pinggang penuh keputus asaan. "Bagaimana kalau Kakakmu tahu? Ya Tuhan, maafkan dosa besar ini."

"Asal kita diam, dia tidak bakal tahu."

“Tuhan pasti tahu, Adrian Bened!” bentaknya.

Suara Melisa membuat kami menoleh serempak seperti bunga matahari ketika terkena hangat matahari. 

"Fany? Apa yang kamu lakukan di sini? Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Semua bisa dijelaskan."

Keduanya saling beradu argumen seperti debat pemilu. Aku tahu mereka menyukai Kakakku bahkan menyembahnya seperti menyembah Dewa dan ini merupakan tontonan yang mengasyikkan. Tunggu, mana handphone-ku? Sayang jika tidak direkam.

Samb merekam, obrolan mereka membuat ingatanku pulih. Tadi malam keluargaku dan keluarga Melisa bertemu dalam acara pertunangan Alfred dan Melisa. Tiba-tiba Fany datang, menangis di depan pintu restoran seperti kucing meminta susu.

Acara pertunangan Kakak gempar. Alfred mencoba menenangkan Fany. Keluarga Melisa bingung dan Melisa terbakar cemburu. Terlebih setelah Alfred memilih mengantar Fany, membiarkan Melisa bersamaku. Kakakku fantastik, kan?

Sisanya aku sangat ingat, berapa botok brandi membasahi kerongkongan kami, lalu berakhir di ranjang apartemen.

"Semua ini hanya kesalahan." Melisa menggenggam erat kedua telapak tangan Fanny sambil menangis tersedu-sedu. Wajah seperti kain basah yang diremas kencang. "Aku mohon jangan beritahu Alfred. Aku mencintainya lebih dari segalanya."

Apa wanita suka mengumbar cinta? Fany menggeleng pelan sembari melepas genggaman Melisa, memberi pandangan mengiba untuk gadis itu.

"Maaf Melisa, aku tidak bisa merahasiakan semua ini--"

"Tolong Fan,” rengek Melisa, hendak menyembah tali Fany menahan badannya. “Aku tidak ingin pertunangan ini berantakan. Tolong--"

"Bukan seperti itu," jawab Fany. 

Pintu apartemen dibuka dari luar, memaksa kami bungkam. Sosok lelaki gagah dalam balut kemeja biru tua berbalut setelan jas hitam masuk.

Langkahnya terpaku melihat Melisa berbalut selimut tebal milikku. Mata berbentuk almond itu memandangku seperti singa memandang mangsa.

Dia pasti akan membunuhku.

"Aku mandi dulu." Aku kabur memberinya waktu berpikir jernih. Semoga.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status