Home / Urban / Audacity / 2. Badboy

Share

2. Badboy

Author: WarmIceBoy
last update Last Updated: 2021-07-19 19:54:24

[POV Adrian]

-----

Buru-buru kuputar gagang pintu untuk menyambutnya, sosok yang kujaga sebagai harta karun nomor dua.

Jaket tebal, berhias bulu wol putih di kerah. Jaket warna olive itu membalut tubuh berlekuk biola nan menggugah nafsu liar dalam jiwaku. Dia berdiri di depan pintu apartemen seperti pragawati melipat kedua tangan ke depan dada, penampilan menantang nan indah, terlebih celana jeans panjangnya begitu ketat mengikuti lekuk kaki jenjang.

Seperti biasa senyum manisku untuknya, tapi kenapa dia diam? "Ada yang salah dengan penampilanku?"

Bibir tipis manis mencibir seperti moncong kuda ketika sepasang netra berbentuk almond tertuju pada pangkal atas kaki. "Serius?"

Aduh lupa, dari tadi hanya memakai celana dalam. Sial. Tetap tenang, diaFany, dia terbiasa dengan hal ini. "Ada masalah?"

Matanya berkancing warna kuning amber berputar dalam poros

"Ayolah Fan, kamu sering melihat bagian itu, bukan masalah besar kan?"

"Ya Tuhan." Dua tangannya mendobrak badanku, masuk menuju dapur, menganggap apartemen ini seperti miliknya sendiri. "Adrian Bened. Aku tidak bisa selalu datang kemari membangunkanmu!"

Aku menutup pintu, mengekor menuju dapur.

Dia Estefany Reine. Anak teman mendiang Ayahku. Fany mengerti diriku lebih dari keluargaku sendiri. Entah kenapa dia begitu baik, setia bersusah payah datang kemari sekedar membangunkan dan mengajak pergi ke kampus bersama.

Aku singgah ke stool bar, mengagumi sosok yang pemilik jaket di atas meja dapur sibuk menggoreng telur dan sosis goreng.

"Kapan kamu akan dewasa?" Tangan sibuk, bibir berucap, multi tasking, calon istri terbaik di dunia. 

Aku menjawab, "Buat apa jadi dewasa, kan ada kamu yang mengurusku?" sengaja memancing supaya dia berkicau lagi.

"Buat dirimu sendiri. Setidaknya mandi lah yang bersih, bangun pagi, bersihkan kandang babi ini." 

Suaranya ketus, tapi tetap manis. Dia lanjut berucap, "Umurmu sekarang dua puluh lima tahun, setidaknya pikirkan masa depanmu."

Aku mengangguk mengambil mug berisi kopi hangat buatannya.

Dia hendak bicara, tapi urung karena suara hisak gadis di atas ranjang. Astaga, aku lupa jika kami tidak sendiri di sini. 

Boneka barbie itu sadar akan kehadiran Fany. Dia menarik selimut menutupi badan, dengan bagian bawahnya seperti kain pel membersihkan lantai.

"Adrian!" Mata Fany mebyorktku, tali ujung telunjuk menunjuk gadis. "Dia--"

"Kamu mengenalnya?"

"Dia Melissa--"

"Aku tidak tahu kalau dia temanmu. Kamu bisa membawanya pulang. Aku tidak akan menemuinya lagi."

Fany mendorong pundakku mundur. "Berhenti bercanda idiot. Kamu tahu siapa dia?" Nada bicaranya mengecil seperti enggan menyapa Melisa.

Aku menanggapi sesantai mungkin, supaya tidak lahir perkara. "Apa ini sebuah pertanyaan, yang membuatku menjadi kaya raya jika menjawab dengan benar?"

"Ya Tuhan, Adrian. Dia tunangan Kakakmu!" Fany mengelus kening dan tangan yang satu berada di pinggang penuh keputus asaan. "Bagaimana kalau Kakakmu tahu? Ya Tuhan, maafkan dosa besar ini."

"Asal kita diam, dia tidak bakal tahu."

“Tuhan pasti tahu, Adrian Bened!” bentaknya.

Suara Melisa membuat kami menoleh serempak seperti bunga matahari ketika terkena hangat matahari. 

"Fany? Apa yang kamu lakukan di sini? Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Semua bisa dijelaskan."

Keduanya saling beradu argumen seperti debat pemilu. Aku tahu mereka menyukai Kakakku bahkan menyembahnya seperti menyembah Dewa dan ini merupakan tontonan yang mengasyikkan. Tunggu, mana handphone-ku? Sayang jika tidak direkam.

Samb merekam, obrolan mereka membuat ingatanku pulih. Tadi malam keluargaku dan keluarga Melisa bertemu dalam acara pertunangan Alfred dan Melisa. Tiba-tiba Fany datang, menangis di depan pintu restoran seperti kucing meminta susu.

Acara pertunangan Kakak gempar. Alfred mencoba menenangkan Fany. Keluarga Melisa bingung dan Melisa terbakar cemburu. Terlebih setelah Alfred memilih mengantar Fany, membiarkan Melisa bersamaku. Kakakku fantastik, kan?

Sisanya aku sangat ingat, berapa botok brandi membasahi kerongkongan kami, lalu berakhir di ranjang apartemen.

"Semua ini hanya kesalahan." Melisa menggenggam erat kedua telapak tangan Fanny sambil menangis tersedu-sedu. Wajah seperti kain basah yang diremas kencang. "Aku mohon jangan beritahu Alfred. Aku mencintainya lebih dari segalanya."

Apa wanita suka mengumbar cinta? Fany menggeleng pelan sembari melepas genggaman Melisa, memberi pandangan mengiba untuk gadis itu.

"Maaf Melisa, aku tidak bisa merahasiakan semua ini--"

"Tolong Fan,” rengek Melisa, hendak menyembah tali Fany menahan badannya. “Aku tidak ingin pertunangan ini berantakan. Tolong--"

"Bukan seperti itu," jawab Fany. 

Pintu apartemen dibuka dari luar, memaksa kami bungkam. Sosok lelaki gagah dalam balut kemeja biru tua berbalut setelan jas hitam masuk.

Langkahnya terpaku melihat Melisa berbalut selimut tebal milikku. Mata berbentuk almond itu memandangku seperti singa memandang mangsa.

Dia pasti akan membunuhku.

"Aku mandi dulu." Aku kabur memberinya waktu berpikir jernih. Semoga.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Audacity   -Epilog-

    [Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb

  • Audacity   157. Akhir Dari Keputusan

    [POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."

  • Audacity   156. Asa

    [POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.

  • Audacity   155. Di Rumah Tuhan

    [POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t

  • Audacity   154. Hukum

    [POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.

  • Audacity   153. Perubahan Adrian

    [POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status