Share

6. Jantan

[POV Adrian]

-----

Aku beri tinju yang mampu merobohkan pohon pinus di pada botak biadab, hingga dia jatuh. Aku injak tangan kotor yang berani memegang Fany. Suara teriakannya seperti meongan kucing.

Teman-temannya tam tinggal diam, seperti semut mengeroyok gula. Mereka memukul, mendorong, gagal. 

"Cukup Ad, hentikan! Adrian Bened, aku bilang hentikan!" pinta Fany. Sahabat Tuhan selaku begini, padahal aku berusaha memberi pelajaran pada binatang yang mengganggunya. "Apa kau dengar? Aku bilang cu-kup!"

“Mereka harus meminta maaf kepadamu. Tidak ada yang boleh menghinamu,” jawabku, sepatuku menggiling tangan si botak.

"Tidak perlu, yang terpenting kamu tidak kenapa-napa," jawab Fany, membuatku tersentak diam. Perhatian seperti ini yang selalu membuat hatiku meleleh. 

Kutarik kaki membiarkan teman-temannya menolong si botak, membawa pria itu menjauh. 

Aku ingin mereka, “Minta maaf karena menghina gadisku.” tapi mereka malah berbicara bahasa alien.

Mungkin mengomentari telapak tangan yang seperti omelet telur bercampur saus tomat itu.

Salah satu dari mereka melakukan apa yang jagoan lakukan ketika terdesak. Mengeluarkan pisau lipat sambil memberi kode teman-temannya untuk mengerumuniku. Mereka pikir berapa semut dibutuhkan untuk mengalahkan gajah?

Beruntung mereka selamat oleh suara mobil polisi. Mereka mundur menjauh, sibuk menyembunyikan mainan mereka.

Sebuah mobil sedan warna panda, kendaraan patroli polisi berhenti di bahu jalan. Seorang polisi di kursi sebelah kemudi menyapa kami dengan suara berat yang terdengar santai.

"Semua baik-baik saja di sana?" 

Pria yang tadi mengeluarkan pisau memamerkan jempolnya ke langit.

"Semua terkendali, Pak Polisi!" Dia dan teman-temannya memandang, mengantaginiskan diriku ketika membawa si botak pergi dari sini.

"Ayo kita kembali," bisik Fany. "Sebelum polisi menangkapmu."

"Kenapa mereka menangkapku?"

"Wajahmu menyebalkan. Sudah ayo cepat."

Dia seperti ibuku ketika menjemputku di kantor kepala sekolah dulu, ceramah sepanjang perjalanan.

Sesampainya di mobil dia ceramah sambil mengusap lukaku pakai tisu. Kasar sekali dia, sengaja menekan luka di bibir.

"Bagaimana cara untuk membuatmu mengerti dengan satu kalimat? Sekarang lihat, kau terluka. Bagaimana kalau Bibi Nicole bertanya, aku harus jawab apa?"

"Dengar, aku berusaha menolongmu dengan memberi sediit pelajaran pada mereka, meminta mereka meminta maaf--"

Dia memotong ucapanku dengan lengking. "Aku tidak peduli dengan permintaan maaf mereka!"

"Tapi aku peduli."

Situasi henning sesaat. Sekelebat senyum muncul di bibirnya lalu tertutup lagi dengan sikap dingin yang dibuat-buat. "Aku tidak peduli. Toh mereka hanya berandal dan bersikap seperti berandal."

"Jadi kau mau aku diam saja ketika hewan-kewan itu memakanmu?"

Dia menggeleng. "Cukup bawa aku pergi dari sana, tidak usah berkelahi. Kamu tahu, aku takut kamu kenapa-napa. Semakin dewasa kamu semakin liar. Setiap kali kamu berkelahi aku takut jika …" Hidungnya mampet mendadak. Air membanjiri mata, tali dia menyembunyikan itu dengan memandang ke arah lain. 

Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini. Air matanya bagai permata, tak boleh terbuang sia-sia. Aku hendak membalik badannya menghadapku, tapi suara deheman malah membuatku menoleh ke arah lain. 

Seorang polisi kurus berseragam serba hitam berdiri di samping pintu mobilku. Dia menarik ikat pinggang mengawasi minimarket sejenak sebelum sunglasses-nya berpaling padaku. Kumis hitam lebatnya mirip punya Caplin, pasti Fany tertawa jika melihat ini.

"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Polisi.

"Ya,” jawabku. “Hanya gadis di sebelahku sedang menangis."

"Kelilipan," sahut Fany, menoleh ke arah pandanganku. Aku kenal suaranya ketika menahan tawa, sedikit tertahan di setiap napas, mirip suara babi oink oink. 

Polisi berdeham, sepertinya terusik dengan tingkah Fany. "Aku tidak pernah melihat kalian di sini. Bisa tunjukkan kartu pengenal kalian?"

Fany memberi kartu pengenalnya kepadaku untuk kuberi ke polisi. Lahi-lagi dia membuang wajah ke arah lain. Kaki ini badannya bergetar. Wanita aneh, tadi menangis sekarang tertawa. 

Aku memberi kartu kami padanya untuk dibaca, lalu dia mengembalikan semuanya.

"Murid UCLA tidak biasanya berada di sini. Di sekitar sini banyak anggota gangster bersenjata tajam dan mungkin membawa senjata api. Mau ke mana kalian?"

"Glendale,” jawabku, sembari memberi tepukan di paha Fany, supaya dia berhenti bersikap aneh di depan polisi.

"Ada apa dengan temanmu?"

"Dia sedang menangis. Ayahnya menikah lagi dengan wanita seumurannya."

Syukurlah polisi percaya. "Gadis malang. Tapi itu hak ayahnya untuk menikah lagi. Kalau begitu biar kami kawal sampai keluar dari kawasan ini. Ayo."

Setelah Caplin--maksudku polisi menjauh, Fany menunjukkan sikap lainnya yang hanya diketahui segelintir orang.

Dia girang seperti kakinya digelitik pakai bulu merpati. Dadanya kembang kempis, keringatan mirip gadis yang mencapai klimaks setelah bermain denganku. "Kamu lihat polisi tadi, aku kira dia Caplin."

"Aku kira dia Mein Fuhrer."

"Caplin."

Suara sirine polisi memberitahu kami untuk mengikuti para polisi baik hati.

Aku memacu mobil mengikuti mobil patroli menuju Glendale. Beberapa menit mobil Polisi memberi kode kedip lampu dan suara sirine, berbelok di perempatan sementara kami lurus.

"Terima kasih, Pak!" Karena membuat Fany berhenti bersedih, menabur kebahagiaan dalam kendaraan ini.

Selama perjalanan kami membahas Caplin. Tak terasa langit semakin gelap ketika lampu mobilku menyorot papan di pinggir jalan bertulis 'Glendale'. Walau situasi lebih ramai oleh banyaknya rumah tipe modern berdiri di sisi kiri dan kanan jalan, tetap saja papan itu membuka kenangan lama.

Kabut hitam menyelimuti hati. Tepat di sini beberapa tahun yang lalu Ayah meregang nyawa. Orang-orang kulit hitam menembakinya tanpa belas kasih.

"Adrian lihat, mobil Alfred." Mobil SUV hitam mahal bertengger di tepi jalan tepat di depan rumah kayu dua tingkat yang dikelilingi pagar hijau tanaman hias.

Setelah memarkir mobil di depan mobil si tukang ngadu, kami turun nyaris serentak.

"Biar aku yang bawa." Sekarang semua barang belanjaannya berada di tanganku.

Sambil melangkah aku memeriksa isi kantong plastik. Benar-benar wanita, selain membeli buah, dia membeli kosmetik dan perlengkapan mandi, bahkan ada handuk baru. 

Sesampainya di teras rumah, Fany memencet bel. "Ingat, bersikaplah baik di depan Bibi Nicole. Jadilah lelaki. Akui kesalahanmu walau tidak salah."

Prinsip Fany, lelaki selalu salah. Terutama jika lelaki itu diriku. 

Kimberly membuka pintu. Gadis yang masih bersekolah di sekolah menengah ke atas, grade 12. Dia adikku, gadis paling cantik dan manis di Glendale.

"Kak Fany!" Riang dia memeluk Fany, mencium pipi kiri dan kanan lalu cemberut memandangku. "Ibu menunggu di dalam. Ayo masuk."

Aku membiarkan Fany masuk. Lalu berbelok duduk di kursi santai teras berselonjor kaki, menikmati suara jangkrik menjelang musim panas juga aroma cedar yang terbawa hembusan angin hangat. 

Aku takut melihat Ibu sedih. Ternyata aku hanya seorang pengecut kecil. Sekarang apa yang harus aku lakukan, Ayah.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status