Share

7. Keluarga

[POV Fany]

-----

Aroma kayu cedar. Decit lantai di ruang tamu. Dinding kayu kusam. Semua mengusir kabut putih yang menutupi memori hangat masa lalu. 

Kenangan ketika pertama kali datang ke sini di musim gugur. Aku bersembunyi di belakang kaki ayah. Adrian yang pertama kutemui. Dia yang menggandengku masuk ketika ayah mengobrol dengan paman Mike. 'Biar orang tua sibuk dengan urusan mereka, kita main saja yuk'. Lalu memperkenalkan Alfred dan Bibi Nicole, juga Kim kecil. Ya, di sini menjadi awal segalanya.

"Kak Fany, ayo, Ibu menunggu kalian di meja makan." Kim tumbuh menjadi gadis periang yang manis, fashionable, dan sedikit memaksa. Dia menyeretku masuk lebih dalam, menjelajahi lebih banyak memori. Seperti ciuman pertamaku yang lepas--ya Tuhan, aku di sini karena masalah besar yang Adrian buat, bukan untuk tamasya memori.

Suara air kran mengalir menyambutku. ampu redup menyinari dapur dan ruang makan makan. Alfred duduk di anak tangga tak jauh dari meja, sementara Kim menyibukkan diri mencuci piring di dapur. 

Bibi Nicole mendorong pelan kursi supaya tidak berderit. Senyum di wajah tirus membentuk pisang ketika menyambutku. Bukan dengan salaman, tapi langsung memeluk hangat mengelus punggung. Bagian hitam netranya semakin memudar. Kulit kendur tak menyembunyikan sisa kejayaan masa mudanya dulu.

"Nak Fany, kamu tambah cantik." Elusan di pipiku terhenti. "Mana Adrian?"

Bagus, ke mana bocah itu sekarang? Jangan bilang dia kabur ke apartemen.

"Mungkin dia sedang meniduri gadis tetangga," sahut Kim kecil. Serangan telak untuk Adrian.

Bibi melirik tajam pada punggung gadis itu yang tertutup tali celemek dan tangtop kuning longgar. “Jangan berkata seperti itu pada Kakakmu. Lekas panggil dia."

"Aku sibuk mencuci, Bu,” keluh Kim. “Nanti juga kalau lapar dia datang sendiri."

Kami ke sini untuk menyelesaikan masalah, bukan membuat yang baru. 

"Biar aku saja."

Apa dia belum bisa membaca situasi? Berapa kali harus kubilang bersikaplah baik selama berada di sini.

Asap putih terlihat melambai dari teras. Aroma tak sedap menjadi dinding penghalang bagi langkahku. Ya Tuhan, beri aku kekuatan melawan bayi kawak.

Aku menyambar puntung rokok dari tangannya, melempar ke halaman depan. Dia tetap santai, menyeringai dalam remang.

Dengan polosnya dia berucap, "Kamu tahu, di musim panas puntung rokok yang menyala bisa menimbulkan kebakaran."

"Dan kamu tahu, jika tidak segera masuk aku bisa mencakar mukamu?"

Ancamanku mendarat ke telinga tuli. Dia merenggangkan badan, bermalas-malasan seperti kucing bongsor. Kucing lucu, smeentara dia tidak.

“Adrian Bened, lekas masuk!" bentakku, menunjuk pintu yang terbuka. "Temui Ibumu atau aku tidak akan mau bicara denganmu lagi."

Ini seperti permainan tahan-tahanan untuk tidak berkedip, tapi aku bermain sendiri. Entah berapa menit, tapi aku menang. Dia berdiri mengumpat tak jelas.

"Senang sekarang?" 

Aku mengangguk, mendorong punggung lapang keras menuju ruang makan. Butuh kesabaran untuk meladeni Adrian. 

Kami sampai di tempat tujuan. Aku duduk ke kursi makan dan Adrian duduk di sebelahku. Semua mulut terkunci selama … entahlah, mungkin beberapa menit. Tidak nyaman terkurung dalam belenggu hening, tali mau bagaimana lagi?

Handphone adrian mendarat ke pahaku. Di layar nampak pesan singkat yang dia tulis  Ini cara kami untuk bicara dalam hening ketika berada di sekolah dulu.

Aku membaca tulisannya. [Sekarang bagaimana?]

Aku menulis, [Cobalah memulai pembicaraan dengan caramu sendiri] lalu mengembalikan benda itu.

Dia membaca, lalu memandangku dengan satu alis terangkat. Jangan bilang dia tidak paham. Bagus, dia menulis lagi, Lalu memberi gawai kepadaku. [Bagaimana?]

Ya Tuhan, lebih mudah mengajari bayi bicara papa. Aku tulis,  [Terserah!] lalu membiarkannya membaca.

Syukurlah kali ini dia tidak menulis, tapi berdeham. Ini dia momentum Adrian membuka perbincangan serius.

Adrian berdeham, memaksa seluruh mata di rumah fokus padanya.

"Boleh aku makan?" 

Oh Tuhan, begini cara Adrian memulai perbincangan? Aku salah memberi kalimat 'terserah', harusnya aku tulis, 'aku salah, aku menyesal, aku minta maaf, beri tahu cara memperbaiki kesalahan'.

Alfred tertawa lepas melihat tingkah adiknya, suaranya menyindir keras. "Isi kepalamu hanya ada wanita, makan, dan pesta ya?"

Adrian menyeringai nakal, menjawab, "Ada yang lain. Seperti memikirkan bagaimana cara menjadi lelaki yang tidak mengadu."

"Kalian berdua, hentikan." ujar Bibi, berhasil melerai. "Adrian, kenapa kamu melakukan hal itu? Kamu tahu Melisa tunangan Kakakmu, dia akan menjadi Kakak iparmu kelak."

Adrian menjawab, "Kenapa calon suaminya membiarkan calon istrinya pergi bersama pria brengsek sepertiku, Bu?"

Bibi menghela napas. "Adrian, kamu menghancurkan segalanya, kamu membuat karir Alfred--"

Adrian tertawa, menjawab dengan santai. "Ibu hanya memikirkan kepentingan Alfred. Bagaimana denganku?"

Bibi mencoba memotong ucapan itu. "Adrian diam--"

"Selalu aku yang salah, ya kan?" tanya Adrian.

"Karena kamu selalu salah!" sentak Alfred. "Dan sebaiknya kamu mulai merubah diri."

"Kamu bukan Ayahku, jangan sok ngatur!"

Sudah aku duga semua ini bakal menjadi perdebatan pepsi dan coca cola.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status