Tanganku sudah dipenuhi balon di sisi kiri dan sisa cokelat di sisi kanan. Lutut terasa bergetar sebab mengikuti pergerakan dua makhluk ajaib yang dikirim dari planet Saturnus. Dua squishy yang sibuk memantul ke sana kemari. Tanpa lelah; dan aku hampir mati.
Ya Tuhan! Anak kembar berusia lima tahun ini sepertinya tidak pernah kehabisan energi. "Thea, Anna, kemari. Ayo istirahat dulu sebntar. Kita harus makan siang, kan?" pintaku dengan suara setengah memohon. Thea menoleh –mungkin juga Anna sebab aku tidak tahu- dan berlari menghampiriku. Tak lama, satu squishy lainnya datang dengan tawa yang lebar. Mereka berdiri di depanku dengan senyuman yang mentereng. "Kita makan siang apa, aunty?" Aku diam sejenak. "Pizza? Pasta? Spaghetti?" "Spaghetti," jawab mereka serempak. Aku mengusap kepala mereka berdua lembut, untuk kemudian menggamit dua jemari mereka di sisi kanan dan kiri untuk kemudian masuk ke dalam cafe. Sayangnya, ini bukan cafe Dio. Padahal di sana, aku akan meminta makanan gratis untuk kedua squishy ini. Oke, aku tidak akan jatuh miskin hanya karena dua piring spaghetti. Aku membiarkan mereka duduk dan memesan spaghetti serta ice chocolate. Sembari mendengarkan mereka berceloteh, aku mulai menekuri ponsel. "Anna!" Tak lama, hanya sekitar lima menit setelah makanan datang dan dua makhluk hiperaktif itu sibuk dengan spaghetti mereka, tiba-tiba sebuah suara memekakkan telinga muncul. Dari arah jam 9, berkemeja rapi dengan wajah yang masih selalu menampilkan ekspresi datar. Itu Jaden dan ... perempuan! "Anna muntahin makanannya!" teriak Jaden seraya memijit tengkuk Anna. Aku bingung, perempuan yang bersama Jaden bingung, orang-orang bingung, semua bingung. "Heh, nggak ada racun di makan itu kok! Setidaknya, aku nggak sejahat itu sekalipun aku sangat benci dengan ayah mereka," protesku kesal. Jaden tak mempedulikan. Dia sibuk membuat anaknya memuntahkan makanan yang baru satu atau dua sendok dikunyahnya. Tak lama, Anna sudah mengeluarkan semuanya dengan matanya yang memerah, hidung berair dan sedikit isakan. "Kamu hampir saja meracuni anakku!" Aku terkesiap. Laki-laki menyebalkan, menantu nenek Willie, ayah dari si squishy kembar, membentakku! Lagi dan lagi! "Apa maksud kamu sih brengsek? Aku cuma membelikan mereka makan siang. Kamu pikir apa yang aku lakuin dengan dua squishy ini? Mereka sendirian karena nenek Willie ke dokter. Dia bilang kamu sibuk dengan rapat dokter gigi, nggak tahunya lagi sibuk kencan," sindirku. Entah apa tendensiku sampai harus berbicara sesinis itu. "Dan aku nggak meracuni si squishy!" Aku tersengal. Kesal memuncak dan mata nyalang menatap si arogan Jaden. Bagaimana bisa dia bahkan melontarkan tuduhan paling jahat; meracuni Anna? Hey, meskipun aku tidak terlalu menyukai anak kecil, setidaknya aku masih punya nurani. Mereka tidak perlu dibawa-bawa dalam kebencianku pada si arogan Jaden. "Kencan atau bukan, itu bukan urusan kamu," jawabnya datar. "Sialan! Aku juga nggak peduli soal kencan kamu tuh. Aku cuma nggak terima karena kamu bilang kalau aku meracuni putri kamu, brengsek!" Aku makin menjadi. Kekesalan pada seorang Jaden seperti alat terbaik bagi melampiaskan dendam dan kesakitan untuk seseorang yang jauh di sana. Kemarahan yang begitu ingin aku tunjukkan di hadapan Micko Kasetra. Walau sejatinya, Jaden sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dia. "Aunty ... Daddy ... jangan berantem." Kami terdiam. Mata menoleh ke arah Thea dan Anna yang menangis. Satu di antara mereka memegang lenganku, dan lainnya memegang lengan ayahnya. Jaden nampak kembali membungkuk, mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Anna. Seperti obat, sebab setelahnya Anna meneguk habis air putih. "Jaden ... Kamu bisa jelaskan ini semua?" tanya perempuan yang datang bersama Jaden tadi. Aku mengernyit dan menatap Jaden. Dia menghela napas panjang dan bersiap memberikan penjelasan. Ini seperti drama di mana aku dan kedua anakku menemukan ayahnya sedang kencan dengan perempuan lain? Astaga! "Siapa dia, ayah?" tanya Anna atau Thea. "Jaden, apa? Ayah?" ulang wanita itu dengan nada tak percaya. Oh ... Lyla Anyelir Daphne yang pandai ini sudah bisa membaca situasinya. "Benar nona, ayah, anak-anak dan ibu," jawabku seraya menunjuk ke arah Jaden pada kata 'ayah', pada si squishy kembar saat mengucapkan kata 'anak-anak' dan pada kata 'ibu', menunjuk diriku sendiri. Rasakan kau Jaden! Setidaknya kemampuanku dalam berakting cukup berguna untuk membuat kencan si arogan Jaden jadi batal. "Apa?" Oh ... No! Mampus aku! Wanita itu nampak marah untuk kemudian menampar Jaden bahkan ketika laki-laki itu belum menjelaskan apapun. Tipe-tipe wanita seperti ini adalah peran utama untuk drama-drama Indosiar yang dipenuhi tokoh-tokoh antagonis. "Sekarang silahkan pergi, Maura," usir Jaden dengan ekspresi datarnya. Gila! Aku ingin memberi applause untuk sikap beku seorang Jaden Pradipta. Dia bahkan tidak repot-repot menjelaskan kebohongan yang aku buat dan malah mengusir wanitanya. Sungguh, Jaden jauh, jauh ... jauh dari tipeku! Bah! Kenapa pula aku tiba-tiba memikirkan soal tipe ideal? "Kamu puas?" tanya Jaden dengan ekspresi datar namun penekanan katanya dipenuhi kesal. "Apa?" Aku pura-pura bodoh. Jaden mungkin akan membalas dendam. "Kamu hampir membuat anakku sakit dan kamu mengacaukan janji yang dibuatkan oleh Mama." Aku mengernyit. "Jadi nenek Willie berbohong padaku soal kamu yang rapat dan menyuruhku mengasuh dua squishy? Mengejutkan," kekehku tak percaya. Lanjutku, "Apa Anna alergi sesuatu?" Aku memutar badan Anna beberapa kali hingga nyaris terjerembab. Jaden menepis tanganku dari tubuh putrinya dan mendelik kesal. "Aku nggak sengaja. Hanya ... khawatir," jawabku sungguh-sungguh. "Anna alergi telur." "Tapi dia makan spagh ... Oh My, Carbonara ...." Pertama, aku tidak tahu bahwa Anna alergi telur. Dan kedua, aku juga lupa bahwa spaghetti carbonara memakai telur. "Aku baik-baik saja, aunty ... daddy ...." Aku menoleh ke arah Anna dan refleks mengusap kepalanya. "Maafkan aku, squishy." "Thea juga mau dielus kepalanya aunty," ujar Thea dan dengan menggemaskan memindahkan tanganku ke puncak kepalanya. Aku tak kuasa menahan senyum sebab si squishy menggemaskan. Aku mengusap kepala Anna dan Thea bergantian. "Maaf, aku nggak tahu soal Anna. Dan maaf ... telah membuat kencan butamu berantakan." Aku menatap Jaden dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Dia hanya mengendikkan bahu seraya menatap tak acuh. "Terima kasih," gumamnya lirih. Aku mengernyit. Mencoba memastikan apa yang diucapkan oleh si manusia beku satu ini. "Apa?" "Kamu tuli?" "Sialan, kamu mau ribut lagi?" "Jangan mengumpat di depan anak-anakku." "Tadi kamu bilang apa?" "Nggak ada." "Hey, tadi kamu bilang apa?" "Nggak ada." "Jaden." "Terima kasih, bodoh." Aku tergelak dan dia mengalihkan pandangannya ke sekitar cafe. Aku masih terus tertawa dan berhigh five dengan Anna dan Thea. "Untuk?" "Sebab telah membuat kencan buta yang tidak bisa aku tolak dari mama, batal." Dan untuk kali pertama –sejak pertemuan di Paris- seorang Jaden Pradipta menampilkan senyuman khas dekik di pipinya. Sebuah senyuman singkat namun nampak tulus dan manis. Senyuman paling singkat yang diumbar oleh manusia es bernama Jaden Pradipta. Boleh aku katakan jujur? Dia lebih manis saat tersenyum. Aku ... berani jamin! ^^^^Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.