Share

Chapter 3

"Apa kau mengenal perempuan yang bersama ayah mu itu?" tanya Sean yang sebenarnya ia sendiri sudah tahu siapa wanita yang bergandengan tangan bersama Frans. 

"Di...a...dia...dia adalah alasan di balik ibu ku meninggal." jawab Aurora gugup. Hati nya kembali perih ketika mengingat bagaimana ibu nya meninggal. 

Sean tahu betul, bagaimana rasa nya kehilangan seorang ibu. Perjalanan pulang ke mansion cukup jauh, Aurora tak banyak bicara, sejak Sean mengajaknya pulang seketika senyum dan tawa nya menjadi hilang dalam sekejap.

Sesampainya di mansion, gadis itu bergegas masuk ke dalam kamar nya. Begitu juga dengan Sean, lelaki itu masih terngiang bagaimana ia harus kehilangan ibu nya dulu.

"Aku bersumpah,..." ucap Sean dengan sorot mata tajam "Aku bersumpah akan mencari siapa dalang dari kecelakaan kapal itu? Dia harus membayar mahal akibat dari rasa kehilangan aku dan adik ku!" timpal Sean bertekad. 

Ketika Sean berumur lima belas tahun dan Allena berumur sepuluh tahun. saat itu adalah hari perayaan ulang tahun pernikahan ke dua orang tua mereka. Anderson mengajak keluarga kecil mereka pergi berlibur ke pulau pribadi milik keluarga Egalia. Namun, kapal yang mereka tumpangi tiba-tiba karam dan perlahan tenggelam. Sean saat itu bisa berenang sedangkan Allena harus di bantu oleh Andreson. Kepanikan akan anak-anak nya membuat Andreson lupa untuk menyelamatkan istri nya yang ternyata tidak bisa berenang.

Sejak Anderson memberi tahu Sean jika kapal yang mereka tumpangi telah di manipulasi oleh orang dalam, sejak saat itu Sean bertedak untuk membalas dendam. Sebenarnya, sudah sejak lama Sean mencurigai satu orang namun kurang nya bukti membuat pria itu enggan bertindak gegabah.

Selesai mandi, Sean pergi menuju kamar Aurora, lelaki itu memanggil Aurora untuk segera keluar dari kamar nya. 

"Ada yang bisa saya bantu tuan?" tanya Aurora hati-hati. Desir jantunt gafis itu tidak henti nya menebak akan tugas yang di berikan oleh Sean. 

"Ikut aku...!" perintah pria itu dengan suara dingin nya. 

Paman Smith memandang curiga, lelaki paruh baya itu sangat takut jika Sean akan melakukan hal yang tidak masuk di akal lagi. "Aku ingin kau berlatih!" ucap Sean datar membuat gadis itu mendongakan kepala nya.

"Berlatih?" ulang gadis itu bingung.

"Ya,..aku ingin kau menguasai setidak nya dua jenis bela diri." lelaki itu tiba-tiba melemparkan pakaian ganti untuk Aurora berlatih. "Ganti pakaian mu, malam ini kau akan berlatih bersama ku.

"Tapi untuk apa?" tanya Aurora bingung.

"Dasar bodoh!"cibir Sean. "Jika suatu saat ada yang hendak membunuh mu, kau harus bisa melawan!" 

Tak mau membantah perintah Sean, gadis itu bergegas berganti pakaian. tak berapa lama, Aurora telah siap. Gadis itu mengikat rambut nya bagai buntut kuda, memperlihatkan leher jenjang putih hingga membuat Sean menelan saliva nya sendiri.

Dari pada Aurora mengerjakan hal tidak masuk di akal, lebih baik ia berlatih seperti ini. Pemanasan dan gerakan dasar, sudah membuat gadia itu kelelahan. Malam semakin larut, Sean lupa jika tenaga diri nya berbeda dengan Aurora. 

Lelaki itu terus memaksa gadis itu untuk terus berlatih hingga Aurora mengalami terkilir pada kaki nya. Wajah nya memucat bahkan tak segan gadis itu mengeluarkan air mata menahan sakitnya. Sean sejenak terdiam lalu beranjak dan langsung menggendong gadis itu. 

Entah kenapa, ada desiran aneh dalam benak Sean. Melihat air mata gadis itu tumpah, ia merasa bersalah. Paman Smith bergegas membantu Sean, membawakan es batu untuk meredakan sakit dari pergelangan kaki Aurora. Paman Smith mencoba memijat pergelangan kaki Aurora hingga membuat ia berteriak menahan sakit. Tangan nya kuar mencengkam otot kekar Sean. 

"Kau menyakiti nya...!" bentak Sean pada Smith lalu menyingkirkan tangan lelaki paruh baya itu. 

"Tidak tuan, maafkan saya. Esok pagi kaki nona Aurora akan segera pulih." paman Smith mencoba menjelaskan.

"Apa masih sakit?" tanya Sean memijat lembut kaki gadis itu. Entah sejak kapan Sean menjadi tertarik dengan gadis yang di beli nya beberapa bukan lalu. 

"Tidak, sudah mendingan." jawab Aurora sedikit takut. 

"Aku akan mengantar mu ke kamar." ujar Sean lalu mmenggendong gadis itu menuju kamar. Paman Smith mematung, memperhatikan perubahan tuan nya. Lelaki paruh baya itu hanya bisa membututi dari belakang.

Dengan sangat hati-hati Sean merebahkan bobot tubuh yang seperti kapas itu. "Terimakasih..." ucap Aurora tulus, gambar mata nya menampakan kehangatan. 

"Istirahat lah." sahut Sean datar kemudian pria itu keluar dari kamar Aurora. Meski seperti itu, Sean memberikan Aurora fasilitas kamar yang lumayan. "Berikan dia makanan yang enak dan jangan biarkan tubuh nya kurus." perintah Sena pada Smith. Dengan santainya, Sean kembali ke kamar nya. Entah kenapa malam ini hati nya sedikit berbunga-bunga. 

Tak pernah sebelum nya paman Smith melihat sikap Sean yang seperti ini. "Setidaknya dia tidak menyiksa Aurora kembali." batin paman Smith mengucap syukur.

Pagi menjelang, dengan penuh semangat paman Smith mengerjakan apa yang di perintahkan Sean tadi malam. Berbagai hidangan dab jenis makanan telah terhindang di atas meja makan yang berlapis emas itu. 

"Di mana di sekarang?" tanya suara mengejutkan paman Smith.

"Masih di kamarnya tuan." jawab paman Smith mencoba menstabilkan jantungnya. Sean kemudian pergi menuju kamar Aurora, masuk begitu saja hingga membuat gadis itu terkejut.

"Jika kau lapar, keluar lahlah!" ucap Sean tanpa ekspresi.

Aurora hanya mengangguk lalu turun dari atas tempat tidurnya. Dengan langkah tertatih gadis itu mengekor di belakang langkah Sean yang lebar. 

Sean menoleh kebelakang dan Mendapati gadis nya masih menahan sakit dari raut wajahnya. Sean membuang nafas kasar, lelaki itu berbalik arah lalu menggendong Aurora tanpa permisi. 

Aurora yang terkejut hanya bisa mengatur detak jantung dan menstabilkan bentuk mukanya. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua. Sean mendudukkan gadis nya di kursi lalu mereka saling berhadapan. 

"Terimakasih..." ucap Aurora gugup.

"Makanlah, kau masih harus berlatih lebih keras lagi." suara yang biasanya sangat dingin itu tiba-tiba terasa habgat merasuk di hati Aurora. Bukan hanya Aurora, paman Smith juga merasakan hal yang sama. "Cepat makan!" perintah Sean sekali lagi.

Dengan perasaan ragu Aurora mengangkat ke dua sendoknya. Mereka makan dalam diam, hanya ada dentingan sendok yang berirama menghempas piring mahal. 

"Apa kaki mu masih sakit?" tanya Sean membuka suara. "Jika masih sakit, aku akan membawa mu ke rumah sakit." timpal nya kembali. 

"Tidak, tidak terlalu sakit." sahut Aurora.

"Mulai sekarang, jangan melakukan pekerjaan apa pun kecuali atas perintah ku!" ucap Sean membuat gadis itu semakin merasa aneh dengan sikap pria itu. 

"Kenapa tidak mempekerjakan ku saja? Aku ingin membayar diri ku sendiri." gadis itu membuka suara. Sejak di kamar tadi, ia sudah bertekad untuk memperjelas hidupnya. 

Sean meletakan ke dua sendok nya laku menatap manik mata indah yang terlihat menahan rasa takut nya itu. "Kau ingin bebas dari ku?" tanya nya dengan suara dingin.

"Aku manusia, meski ayah sudah menjual ku pada mu, setidak nya aku berharap sebuah kebebasan yang aku sendiri tidak tahu kapan aku bebas dari mu. Apa itu salah?" Sejak kapan gadis itu banyak bicara, Aurora hanya tertunduk diam ketika Sean terus memandangnya. "Tuan, aku sangat iri dengan burung di luar sana..!" 

Sean tak menjawab, pria itu malah meninggalkan Aurora di meja makan nya. Aurora semakin meremas tangan nya, gadis itu sudah bisa menebak hukuman apa yang akan di berikan lelaki itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status