Suatu sore, Rani datang lagi. Kali ini membawakan sup ayam buatan sendiri.
“Arga, aku tau kamu suka sup ini. Aku masak khusus buat kamu,” kata Rani manis. Arga menerima mangkuk itu dengan ekspresi biasa saja. “Oh, iya. Makasih.” Dara yang melihat dari dapur langsung nyeletuk. “Eh, kebetulan banget! Aku juga masak sup.” Arga menoleh dengan dahi berkerut. “Kapan? Tadi aku lihat kamu rebus mie instan.” “Ya kan… itu juga sup. Sup instan. Nggak ada bedanya.” Dara meletakkan mangkuk mie instan di meja dengan wajah penuh kemenangan. Rani menahan tawa, sementara Arga hanya memijat pelipis. “Serius deh, kamu ini kenapa sih?” ***** Beberapa hari kemudian. Di kantor, Dara sedang rapat. Tiba-tiba ponselnya bergetar, chat dari Arga. Arga: Lagi di café sama Rani. Dara spontan mengetik balasan cepat.Bagus! Nikmatin aja. Jangan lupa bayar pakai duit kamu, bukan duit rumah. Tak lama kemudian, Arga membalas dengan emoji rolling eyes. Dara menatap layar kesal. “Nyebelin banget.” Rekan kerjanya, Naya, melirik penasaran. “Kamu lagi cemburu ya?” “Enggak!” sahut Dara terlalu cepat. “Aku cuma… khawatir aja. Jangan sampai rumah tangga kami dipandang orang lain nggak serius.” Naya terkekeh. “Alasan klasik.” Malam harinya, Dara duduk di ruang tamu sambil menonton drama Korea. Begitu Arga pulang, ia langsung berkomentar dengan nada sinis, "Jam segini baru pulang. Sama siapa tadi? Jangan bilang Rani lagi.” Arga menaruh kunci di meja, malas menanggapi. “Iya, sama dia. Kenapa?” Dara melipat tangan di dada. “Kenapa nggak pulang aja sekalian ke rumah dia? Biar aku bisa nonton drama dengan tenang.” Arga hanya menghela napas panjang, lalu naik ke kamar tanpa berkata apa-apa. “Dasar batu,” gumam Dara kesal. Meski Dara makin sering ngambek atau mencari perhatian, Arga tetap bersikap datar. Ia tak pernah marah besar, tapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda peduli. Bagi Arga, Dara masih sebatas “istri karena terpaksa”. Tidak lebih, tidak kurang. Namun, tanpa disadari Dara, justru sikap dingin Arga itulah yang membuatnya makin bingung. Semakin ia berusaha menepis, semakin ia sadar kalau dirinya pelan-pelan terusik. “Kenapa sih aku kayak gini?” Dara mengeluh di depan cermin. “Aku nggak suka dia. Aku nggak suka dia. Aku nggak suka dia…” Tapi bayangan senyum tipis Arga tetap muncul di kepalanya. Sementara Dara mulai goyah oleh perasaannya sendiri, Arga masih teguh menjaga jarak. Dua hati yang tidak seimbang, satu mulai condong, satu masih dingin membeku. ***** Dara selalu menegaskan pada dirinya sendiri bahwa apa yang ia jalani bersama Arga hanyalah sebuah ikatan yang dipaksakan oleh keadaan, hasil perjodohan yang bahkan tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, sebuah pernikahan yang lahir bukan dari cinta atau kerelaan hati, melainkan dari kesepakatan dua keluarga besar yang menginginkan kebaikan masing-masing, dan karena itu sejak awal ia membangun tembok setinggi-tingginya di dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa Arga bukanlah seseorang yang pantas untuk ia tempatkan di ruang perasaan, bukan orang yang harus ia cintai ataupun ia kagumi, cukup sekadar pasangan yang sah di mata hukum dan agama, tak lebih dan tak kurang. Dan semua itu semakin jelas, semakin menusuk, ketika sosok Rani hadir kembali dalam kehidupan mereka, mantan kekasih Arga yang dulu pernah begitu berarti baginya, perempuan yang masih mampu tersenyum dengan hangat di hadapan Arga, yang menyapa dengan lembut, seolah tak pernah ada jarak, dan Dara yang seharusnya tidak peduli, yang seharusnya bersikap biasa saja justru merasakan ada bara yang menyala di dadanya, sebuah rasa asing yang membuatnya gusar, panas, dan sulit untuk mengendalikan diri, sebuah rasa yang orang-orang biasa sebut dengan cemburu, tapi Dara tak ingin mengakui itu, tak ingin terlihat lemah di hadapan dirinya sendiri apalagi di hadapan Arga, ia lebih memilih menutup hati rapat-rapat dan berpura-pura tidak peduli, berpura-pura sibuk dengan dunianya sendiri, meskipun diam-diam ia selalu memperhatikan, selalu ingin tahu, apakah Arga masih menyimpan rasa untuk Rani, apakah Arga tersenyum lebih lebar ketika berbicara dengan perempuan itu, apakah kehadiran Rani membuat Arga melupakan dirinya, seorang istri yang katanya hanya sebatas kewajiban. Dara tidak pernah berani jujur bahwa ia takut kehilangan, ia tidak pernah berani berkata bahwa ia marah karena merasa ada yang merebut sesuatu yang kini perlahan ia anggap penting, padahal dulu ia selalu mengatakan bahwa keberadaan Arga hanyalah sebuah formalitas belaka, padahal dulu ia yakin ia bisa hidup berdampingan tanpa melibatkan hati, namun kini semuanya berantakan, semua pertahanan runtuh tanpa ia sadari, dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanyalah menyangkal, menyangkal, dan terus menyangkal, karena mengakui berarti ia harus menerima bahwa ia sudah jatuh cinta, menerima bahwa perjodohan yang ia benci di awal kini telah berubah menjadi sesuatu yang ia syukuri, menerima bahwa Arga, lelaki yang dulu ia pandang sebelah mata, kini menjadi alasan ia merasa takut, takut kehilangan, takut tersisih, dan takut tidak dianggap. Maka setiap kali rasa itu datang, Dara akan berusaha mengabaikannya, menyibukkan diri dengan pekerjaan, menenangkan diri dengan alasan bahwa semua hanya sementara, meyakinkan dirinya bahwa ini bukan cinta, bahwa ini hanyalah rasa sesaat yang muncul karena kebersamaan, sebuah kebetulan yang akan hilang seiring waktu, walaupun jauh di lubuk hatinya ia tahu, semakin ia menyangkal, semakin kuat perasaan itu tumbuh, semakin jelas bahwa ia sudah jatuh cinta pada suaminya sendiri, meski lidahnya tak pernah sanggup mengucapkannya, bahkan pada dirinya sendiri.Beberapa hari kemudian, Arga menerima undangan dari klien penting yang ingin berdiskusi soal proyek besar. Rani, yang kebetulan menjadi konsultan acara untuk klien itu, juga hadir. “Ga, aku sekalian koordinasi soal event klien ini, biar semua lancar,” ucap Rani sambil tersenyum manis. Arga mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Rani. Dara mendengar kabar itu dari telepon pagi hari. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini urusan pekerjaan. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Ia kembali tenggelam dalam laporan keuangan, menghitung angka demi angka, berharap fokusnya bisa mengusir rasa cemburu. Di kantor, Arga dan Rani terlihat akrab. Mereka saling bertukar ide, berdiskusi di ruang rapat dengan nada santai namun produktif. Arga sering tersenyum pada Rani, memberi apresiasi atas ide-ide kreatifnya. Rani pun dengan lihai menambahkan komentar kecil yang membuat Arga tertawa, membuat beberapa rekan kerja tak bisa menahan senyum. Sementara Dara, yang duduk di meja di seberang
Suatu sore, Rani sengaja masuk ke dapur saat Dara sedang menyiapkan minuman. Ia tersenyum manis, tapi matanya menyiratkan sesuatu. “Mbak Dara, makasih ya selalu bikinin minum kalau aku datang. Aku tau kamu orangnya baik banget. Tapi… jujur aja, aku suka kasihan sama kamu.” Dara menoleh, alisnya mengernyit. “Kasihan? Maksud kamu apa?” Rani pura-pura menutup mulutnya, lalu tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa kok. Cuma… aku tau Arga itu nggak mudah dilupakan. Susah banget dilepasin, apalagi kalau udah pernah jadi bagian penting hidup seseorang. Kamu ngerti kan maksud aku?” Dara terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Malam itu, Rani ikut makan malam di rumah. Saat Arga memuji sup buatan Dara, Rani langsung menyahut, “Wah, enak banget! Tapi kalau soal masakan, aku masih inget dulu Arga paling suka masakanku. Kamu masih inget kan, Ga, waktu aku bikinin pasta buat kamu?” Arga hanya tersenyum samar, tapi Dara yang duduk di seberangny
Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.“Capek?” tanyanya singkat.“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.“Aku… ke dapur dulu.”Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”“Nggak kok.”“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal,
Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis.“Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.”Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis.“Ya, sama-sama.”Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta.Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah.Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan
Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga bua
Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, si