Share

Bab 5.

last update Last Updated: 2025-09-03 14:36:54

Ruang tamu keluarga Pramudya sore itu terasa terlalu hening. Langit di luar mendung, seakan ikut menekan suasana.

Pramudya duduk di kursi utama, dengan wajah tegas yang tak bisa ditawar. Di sampingnya, Ratna tampak gelisah, sesekali melirik ke arah suaminya.

Hendra dan istrinya, Sari, duduk berhadapan. Wajah Hendra pucat, tubuhnya tampak lebih kurus daripada terakhir kali Pramudya melihatnya. Di sebelahnya, Sari menggenggam tangan suaminya erat, seolah memberi kekuatan.

“Hen,” suara Pramudya terdengar berat tapi mantap, “kau tahu, aku berutang banyak padamu. Kalau bukan karena bantuanmu dulu, mungkin aku takkan duduk di sini seperti sekarang. Hutang budi itu harus kubayar, dan aku tahu caranya.”

Hendra menarik napas panjang. Ia sudah menduga arah pembicaraan ini. “Pram, aku tak pernah mengharapkan balasan. Kau sahabatku. Apa yang kulakukan dulu... hanya karena aku percaya padamu.”

“Tapi aku tak bisa berpura-pura buta melihat keadaanmu sekarang,” potong Pramudya. “Perusahaanmu terancam, rumahmu hampir disita. Kau sakit. Kau butuh kepastian untuk masa depan keluargamu.”

Ratna akhirnya angkat bicara, suaranya lembut. “Pram, jangan memaksa mereka... Ini bukan hal kecil. Kita bicara tentang hidup dua anak muda, bukan angka-angka di atas kertas.”

Namun Pramudya menatap Ratna tajam, lalu kembali fokus pada Hendra. “Aku ingin menyatukan keluarga kita. Arga dengan Dara. Dengan begitu, aku bisa menjamin mereka berdua hidup layak, dan keluargamu pun tak lagi tertekan.”

Sari terperanjat, menutup mulut dengan tangan. “Menjodohkan mereka?” suaranya nyaris bergetar.

Hendra terdiam. Pandangannya kosong menatap meja, lalu perlahan bergeser ke arah istrinya. Ia tahu, ini bukan sekadar keputusan mudah. Tapi di kepalanya, wajah Dara berkelebat, putrinya yang selalu berusaha tersenyum walau tahu keluarga mereka tengah goyah.

“Aku... tak bisa...” suara Hendra lirih, penuh keraguan. “Aku tak ingin Dara menikah hanya karena belas kasihan.”

Pramudya menggeleng, tegas. “Bukan belas kasihan. Ini bentuk tanggung jawab. Kau sahabatku. Aku tak akan biarkan anakmu hidup susah.”

Hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.

Akhirnya, Sari memecah keheningan dengan mata berkaca-kaca. “Kalau itu memang jalan terbaik untuk Dara... aku hanya berharap dia bahagia. Itu saja.”

Hendra menutup wajah dengan tangannya. Bahunya bergetar halus. Ia bukan pria yang mudah menangis, tapi kali ini, air matanya tak terbendung.

Dan dari balik pintu kamar, tanpa mereka sadari, Dara mendengarkan segalanya. Hatinya serasa diremas. Antara marah, kecewa, tapi juga tak sanggup menentang ketika melihat ayahnya yang rapuh untuk pertama kalinya.

Kamar kerja Pak Pramudya sore itu dipenuhi aroma kopi hitam. Di balik meja besar yang penuh dokumen, sang ayah duduk dengan wajah serius, sementara Ratna berdiri tak jauh dari sana dengan ekspresi gusar.

Arga baru saja pulang dari kantor, dasinya masih menggantung longgar di leher. Ia menatap kedua orang tuanya dengan bingung.

“Kenapa aku dipanggil mendadak? Ada apa, Yah, Bu?”

Pramudya tidak bertele-tele, “Ada keputusan yang harus kau terima. Kau akan menikah dengan Dara, putri Hendra.”

Arga terdiam beberapa detik, lalu terkekeh sinis. “Menikah? Dengan Dara? Yang benar saja, Yah.”

Ratna melangkah mendekat, suaranya pelan. “Arga, dengarkan dulu penjelasan Mama—”

Namun Arga langsung memotong. “Tidak ada penjelasan yang masuk akal untuk hal ini. Aku bahkan nyaris tidak kenal dia! Dan tiba-tiba... menikah?” Wajahnya menegang, nada suaranya meninggi.

Pramudya menatap putranya lurus, penuh wibawa. “Ini bukan soal mau atau tidak. Ini soal tanggung jawab keluarga. Ayah berutang besar pada Hendra. Sekarang hanya dengan cara ini Ayah bisa membalasnya.”

Arga mengepalkan tangannya, menahan amarah. “Lalu kenapa harus aku yang jadi tumbalnya? Kenapa masa depan aku yang dikorbankan untuk membayar utang budi?”

Ratna menatap anaknya dengan tatapan iba. “Mama tahu ini berat. Tapi, Nak... Hendra sedang sakit parah, perusahaannya di ujung tanduk. Dara... dia butuh perlindungan. Kalau bukan kamu, siapa lagi?”

Arga terdiam, matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih—melainkan marah bercampur putus asa.

“Jadi hidupku bukan hidupku lagi, ya? Semuanya harus menurut kata Ayah. Bahkan untuk menikah pun aku tak punya hak memilih?”

Pramudya berdiri, menepuk meja dengan keras. “Cukup, Arga! Kau anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga ini. Kau harus belajar bahwa tidak semua keputusan bisa didasarkan pada keinginan pribadi. Kadang, kita harus mengorbankan diri demi sesuatu yang lebih besar.”

Hening sesaat. Arga menatap ayahnya dengan rahang mengeras.

“Kalau ini keputusan Ayah... baiklah. Aku akan menikah. Tapi jangan pernah berharap aku bisa mencintainya.”

Ratna menutup mulut, menahan tangis. Sementara Pramudya hanya diam, menatap anaknya dengan sorot dingin penuh otoritas.

Arga keluar ruangan dengan langkah berat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar terjebak.

Malam itu, rumah keluarga Hendra terasa sunyi. Angin berhembus pelan lewat jendela ruang makan, hanya ditemani lampu gantung kuning redup yang menggantung di atas meja.

Dara duduk berhadapan dengan ayah dan ibunya. Tatapannya resah, jemari tangannya saling meremas di pangkuan. Sejak sore tadi, ia sudah merasa ada yang aneh. Ibunya berkali-kali menghela napas, sementara ayahnya tampak murung.

Akhirnya, Hendra membuka suara.

“Dara...” suaranya serak, lirih, berbeda dari biasanya. “Ada hal penting yang harus Ayah sampaikan.”

Dara menegakkan tubuh. “Tentang apa, Yah?”

Sari menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca, lalu menggenggam tangan Dara erat. “Nak... kami ingin kau menikah. Dengan Arga, putra keluarga Pramudya.”

Seperti baru saja ditampar, Dara terbelalak. “Menikah? Dengan Arga?” Ia nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengar.

Hendra menunduk, suara lemah. “Ayah tahu ini terdengar mendadak. Tapi... Ayah tak punya banyak pilihan. Perusahaan kita... sudah hampir runtuh. Rumah ini terancam disita. Dan... kesehatan Ayah juga semakin memburuk.”

Sari buru-buru menimpali, air matanya jatuh. “Dara, ini bukan karena kami tak sayang padamu. Justru sebaliknya. Kami hanya ingin kau aman, kau punya masa depan. Keluarga Pramudya bisa memberimu itu semua.”

Dara merasa sesak. Ia berdiri mendadak, kursinya bergeser kasar.

“Jadi... hidupku harus dijadikan jalan keluar untuk masalah ini? Aku harus menikah dengan seseorang yang bahkan tidak kucintai, hanya karena kita... terdesak?”

Hendra terdiam, bahunya bergetar halus. Itu pertama kalinya Dara melihat ayahnya tampak begitu rapuh.

Dengan suara lirih, ia berkata, “Ayah sudah berutang banyak pada Pak Pram. Kalau bukan karena dia, mungkin kita sudah tidak punya apa-apa sejak dulu. Dan sekarang... ini satu-satunya cara agar Ayah bisa menepati janjiku padanya.”

Air mata menitik di mata Dara, namun ia buru-buru menyekanya.

“Kalau begitu... tidak ada yang bisa kulakukan, kan?” suaranya bergetar, getir.

Sari mendekap putrinya erat. “Maafkan Mama, Nak...”

Dara hanya membeku dalam pelukan itu. Hatinya menolak, jiwanya memberontak, tapi ketika melihat tubuh ayahnya yang semakin lemah... ia tak sanggup lagi menolak.

Dalam hati kecilnya, ia berbisik, "Kalau ini jalan untuk menyelamatkan keluarga... maka aku rela. Meski harus mengorbankan perasaanku sendiri."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 11.

    Beberapa hari kemudian, Arga menerima undangan dari klien penting yang ingin berdiskusi soal proyek besar. Rani, yang kebetulan menjadi konsultan acara untuk klien itu, juga hadir. “Ga, aku sekalian koordinasi soal event klien ini, biar semua lancar,” ucap Rani sambil tersenyum manis. Arga mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Rani. Dara mendengar kabar itu dari telepon pagi hari. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini urusan pekerjaan. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Ia kembali tenggelam dalam laporan keuangan, menghitung angka demi angka, berharap fokusnya bisa mengusir rasa cemburu. Di kantor, Arga dan Rani terlihat akrab. Mereka saling bertukar ide, berdiskusi di ruang rapat dengan nada santai namun produktif. Arga sering tersenyum pada Rani, memberi apresiasi atas ide-ide kreatifnya. Rani pun dengan lihai menambahkan komentar kecil yang membuat Arga tertawa, membuat beberapa rekan kerja tak bisa menahan senyum. Sementara Dara, yang duduk di meja di seberang

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 10.

    Suatu sore, Rani sengaja masuk ke dapur saat Dara sedang menyiapkan minuman. Ia tersenyum manis, tapi matanya menyiratkan sesuatu. “Mbak Dara, makasih ya selalu bikinin minum kalau aku datang. Aku tau kamu orangnya baik banget. Tapi… jujur aja, aku suka kasihan sama kamu.” Dara menoleh, alisnya mengernyit. “Kasihan? Maksud kamu apa?” Rani pura-pura menutup mulutnya, lalu tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa kok. Cuma… aku tau Arga itu nggak mudah dilupakan. Susah banget dilepasin, apalagi kalau udah pernah jadi bagian penting hidup seseorang. Kamu ngerti kan maksud aku?” Dara terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Malam itu, Rani ikut makan malam di rumah. Saat Arga memuji sup buatan Dara, Rani langsung menyahut, “Wah, enak banget! Tapi kalau soal masakan, aku masih inget dulu Arga paling suka masakanku. Kamu masih inget kan, Ga, waktu aku bikinin pasta buat kamu?” Arga hanya tersenyum samar, tapi Dara yang duduk di seberangny

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 9.

    Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.“Capek?” tanyanya singkat.“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.“Aku… ke dapur dulu.”Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”“Nggak kok.”“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal,

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 8.

    Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis.“Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.”Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis.“Ya, sama-sama.”Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta.Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah.Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 7.

    Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga bua

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 6.

    Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, si

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status