Share

Bab 9.

last update Last Updated: 2025-09-13 08:43:27

Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.

Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.

“Capek?” tanyanya singkat.

“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.

“Aku… ke dapur dulu.”

Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?

Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.

“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”

“Nggak kok.”

“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”

“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.

Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal, tapi ia memilih mundur. “Ya udah deh. Jangan dipaksa kalau capek.”

Suatu sore, Arga menawarkan Dara ikut naik mobil sepulang kerja. Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah café tempat ia dan Rani sering bertemu. Arga sempat melirik café itu dengan senyum samar.

Dara yang memperhatikan refleksi wajah Arga di kaca mobil langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela, matanya meredup.

Arga menangkap perubahan kecil itu. Apa dia… nggak suka kalau aku bareng Rani? pikirnya.

Arga berbaring sambil menatap layar ponselnya. Dara masuk, duduk di meja kerja pura-pura membaca buku.

Sesekali matanya melirik ke arah ponsel Arga. Ketika ada notifikasi masuk dari Rani, Dara langsung menghela napas pelan.

Arga menurunkan ponsel, menatap istrinya. “Kamu beneran nggak apa-apa?”

Dara menutup bukunya cepat. “Nggak apa-apa. Aku ngantuk, mau tidur duluan.”

Arga menatapnya lama, seolah ingin membaca pikirannya. Ada tanda-tanda yang membuatnya bingung. Dara terlihat… berbeda.

Di ruang kerjanya, Arga termenung. Dara tuh kenapa sih? Dulu dia selalu cuek, dingin, bahkan kayak nggak peduli sama aku. Tapi akhir-akhir ini… dia sering kelihatan aneh. Apa mungkin dia mulai merasa nggak nyaman sama Rani? Atau…

Arga menggeleng, mencoba menepis pikirannya sendiri. Nggak mungkin dia peduli sama aku.

Sementara, Rani yang semakin sengaja memancing cemburu Dara, mulai Bermain secara terang-terangan.

Rani datang sore itu membawa kue kesukaan Arga.

“Aku bawain ini, inget nggak dulu kamu suka banget?” katanya sambil menyodorkan kotak kue.

Arga tersenyum, menerimanya. “Wah, masih inget aja.”

Dara yang baru keluar dari dapur terdiam sejenak. Rani menoleh ke arahnya dengan senyum tipis.

“Oh iya, Mbak Dara juga mau coba? Tapi mungkin rasanya nggak cocok ya, soalnya ini kue favorit aku dan Arga dari dulu.”

Kata-kata itu ditekan, seolah-olah disengaja. Dara menahan napas, tangannya gemetar saat menuang teh.

Arga melirik istrinya sekilas. Ia menangkap ekspresi yang berubah, meski Dara berusaha tetap tersenyum tipis.

Arga sedang memperbaiki motor saat Rani datang. Tanpa ragu, ia jongkok di sebelah Arga, menepuk bahunya sambil tertawa.

“Eh, masih jago aja kamu urusan beginian.”

Dara yang sedang menyiram tanaman menoleh. Air dari selangnya hampir terlalu deras hingga membasahi sepatu sendiri.

Rani meliriknya sekilas, lalu dengan suara agak keras berkata,

“Kamu tuh emang nggak pernah berubah ya, Ga. Tetep jadi cowok yang aku kagumi dari dulu.”

Arga merasa wajah Dara sedikit menegang. Ia sempat membuka mulut untuk merespon, tapi Dara cepat-cepat masuk rumah, meninggalkan selangnya masih meneteskan air.

Suatu kali, keluarga besar Arga mengadakan acara ulang tahun keponakan. Rani ikut hadir. Saat sesi foto-foto, ia berdiri sangat dekat dengan Arga, bahkan meraih lengannya.

“Biar aku aja di sebelah Arga, ya. Kan dari dulu aku udah terbiasa.”

Dara berdiri tak jauh di belakang mereka, wajahnya memerah menahan sesuatu. Ia menggenggam tas kecilnya erat-erat, hampir meremasnya.

Sepupu Arga yang peka lagi-lagi memperhatikan. Kali ini ia tersenyum iseng sambil berbisik ke telinga Arga,

“Eh, istrimu tuh keliatan cemburu, loh.”

Arga tersentak kecil, refleks menoleh ke arah Dara. Ia melihat mata istrinya menatap cepat ke bawah, pura-pura sibuk dengan ponselnya.

Arga Mulai Yakin Ada yang Berbeda

Malamnya, Arga teringat ucapan sepupunya. Cemburu? Dara?

Ia mengulang kembali momen-momen aneh: Dara mengetuk meja saat ia ditelepon Rani, nada dingin saat mendengar mereka makan siang bareng, ekspresi wajah saat Rani terlalu dekat dengannya.

Hati Arga mulai goyah. Apa mungkin… Dara sebenarnya nggak setenang itu?

Ia menatap pintu kamar yang tertutup rapat, di baliknya Dara sudah tidur memunggunginya. Untuk pertama kalinya, Arga merasa penasaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 11.

    Beberapa hari kemudian, Arga menerima undangan dari klien penting yang ingin berdiskusi soal proyek besar. Rani, yang kebetulan menjadi konsultan acara untuk klien itu, juga hadir. “Ga, aku sekalian koordinasi soal event klien ini, biar semua lancar,” ucap Rani sambil tersenyum manis. Arga mengangguk, merasa nyaman dengan kehadiran Rani. Dara mendengar kabar itu dari telepon pagi hari. Ia mencoba menenangkan diri, mengingat bahwa ini urusan pekerjaan. Namun, hatinya tetap terasa sesak. Ia kembali tenggelam dalam laporan keuangan, menghitung angka demi angka, berharap fokusnya bisa mengusir rasa cemburu. Di kantor, Arga dan Rani terlihat akrab. Mereka saling bertukar ide, berdiskusi di ruang rapat dengan nada santai namun produktif. Arga sering tersenyum pada Rani, memberi apresiasi atas ide-ide kreatifnya. Rani pun dengan lihai menambahkan komentar kecil yang membuat Arga tertawa, membuat beberapa rekan kerja tak bisa menahan senyum. Sementara Dara, yang duduk di meja di seberang

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 10.

    Suatu sore, Rani sengaja masuk ke dapur saat Dara sedang menyiapkan minuman. Ia tersenyum manis, tapi matanya menyiratkan sesuatu. “Mbak Dara, makasih ya selalu bikinin minum kalau aku datang. Aku tau kamu orangnya baik banget. Tapi… jujur aja, aku suka kasihan sama kamu.” Dara menoleh, alisnya mengernyit. “Kasihan? Maksud kamu apa?” Rani pura-pura menutup mulutnya, lalu tertawa kecil. “Ah, nggak apa-apa kok. Cuma… aku tau Arga itu nggak mudah dilupakan. Susah banget dilepasin, apalagi kalau udah pernah jadi bagian penting hidup seseorang. Kamu ngerti kan maksud aku?” Dara terdiam, jantungnya berdegup cepat. Ia menunduk pura-pura sibuk dengan gelas di tangannya. Malam itu, Rani ikut makan malam di rumah. Saat Arga memuji sup buatan Dara, Rani langsung menyahut, “Wah, enak banget! Tapi kalau soal masakan, aku masih inget dulu Arga paling suka masakanku. Kamu masih inget kan, Ga, waktu aku bikinin pasta buat kamu?” Arga hanya tersenyum samar, tapi Dara yang duduk di seberangny

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 9.

    Arga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin.“Capek?” tanyanya singkat.“Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa.Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil.“Aku… ke dapur dulu.”Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon?Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan.“Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?”“Nggak kok.”“Terus kenapa kelihatan bete gitu?”“Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar.Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal,

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 8.

    Hari-hari setelah liburan itu, Rani semakin sering datang ke rumah Arga. Kalau dulu ia masih menjaga jarak, kini sikapnya terang-terangan. Ia duduk di ruang tamu sambil tertawa renyah dengan Arga, sesekali menggenggam tangannya tanpa malu-malu.Dara yang sedang menyiapkan teh di dapur hanya bisa menggigit bibir, menahan rasa tak enak yang semakin menjadi-jadi. Saat ia menghidangkan minuman, Rani tersenyum manis.“Terima kasih ya, Mbak Dara. Aku selalu nyaman kalau di sini. Apalagi Arga selalu tahu cara bikin aku betah.”Kata-kata itu seperti sindiran tajam. Dara memaksakan senyum tipis.“Ya, sama-sama.”Di balik senyum itu, hatinya bergemuruh. Ia ingin sekali berteriak, ‘Jangan perlakukan suamiku seperti itu!’ Tapi lidahnya kelu, karena ia tahu, dari awal pernikahan ini memang bukan karena cinta.Suatu malam, Arga dan Dara duduk makan malam bersama. Rani ikut bergabung karena “kebetulan” ada urusan di dekat rumah.Rani menatap Arga sambil berkata manja, “Kamu masih inget kan, makanan

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 7.

    Sejak awal minggu, hubungan Arga dan Rani makin erat. Mereka sering makan siang berdua, bercanda, bahkan saling curhat. Dara yang awalnya cuek, mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. Tiap kali melihat mereka tertawa bersama, ada rasa sesak yang tak bisa ia jelaskan. Suatu sore, saat mereka bertiga duduk di kafe, Rani tiba-tiba mengumumkan dengan penuh semangat, "Ga, gimana kalau weekend ini kita jalan-jalan ke Puncak? Refreshing, sekalian quality time, kan.” Arga tersenyum, menatap Rani dengan antusias. “Boleh juga tuh. Kayaknya asik.” Dara yang duduk di seberang, hanya bisa menyeduh minumannya pelan. Ia menunggu, berharap Arga akan menoleh padanya dan mengajaknya juga. Tapi ternyata, yang keluar dari mulut Arga hanyalah, “Oke, berarti weekend ini, cuma kita berdua ya.” Hati Dara tercekat. Senyumnya kaku. Ia mencoba menutupi rasa perih itu dengan pura-pura sibuk main HP. Kenapa aku kecewa sih? Kan aku nggak punya hak juga bua

  • Awalnya Terpaksa, Akhirnya Jatuh Cinta   Bab 6.

    Sore itu, ruang tamu keluarga Pramudya dipenuhi keheningan yang menegangkan. Di meja utama sudah tersaji teh hangat dan kue kecil, tapi tak ada yang menyentuhnya.Arga duduk di sisi kanan, bersandar dengan tangan terlipat di dada, wajahnya jelas-jelas menunjukkan ketidaksabaran. Dara di sisi kiri, duduk tegak dengan tatapan lurus ke depan, seolah berusaha tidak menoleh ke arah pria di sampingnya.Ratna tersenyum canggung, mencoba mencairkan suasana.“Arga, Dara... kalian kan sebentar lagi akan sering bersama. Cobalah bicara, saling mengenal...”Namun Arga hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap kosong ke meja. “Aku rasa tidak ada yang perlu dibicarakan.”Dara spontan menoleh, alisnya terangkat. “Bagus. Aku juga tidak tertarik untuk mengenal lebih jauh.”Jawaban itu membuat Pramudya mengerutkan dahi, sementara Sari menatap putrinya dengan lirih, seakan memohon agar Dara menahan diri.Arga menoleh singkat ke arah Dara, senyumnya tipis, si

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status