Mag-log inArga Mulai Menyadari Sikap Aneh Dara. Jadi, pelan-pelan ia menangkap ada sesuatu yang berubah pada Dara, meskipun ia belum paham bahwa itu adalah rasa cemburu.
Arga baru saja pulang kerja, masih dengan kemeja yang sedikit kusut. Dara menghampiri, menyodorkan segelas air dingin. “Capek?” tanyanya singkat. “Lumayan,” jawab Arga, lalu menaruh tas di sofa. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Rani menelepon. Senyum Arga muncul tanpa sadar. Saat itu juga, Dara menegakkan tubuhnya. Matanya menatap sekilas, lalu ia berdeham kecil. “Aku… ke dapur dulu.” Arga mengerutkan kening, memperhatikan gerak Dara yang agak terburu-buru. Kenapa sih dia kayak nggak suka kalau aku nerima telepon? Arga masuk ke dapur setelah menutup telepon. Ia melihat Dara sibuk memotong bawang, tapi potongannya berantakan. “Kamu kenapa? Lagi nggak enak badan?” “Nggak kok.” “Terus kenapa kelihatan bete gitu?” “Aku nggak bete,” jawab Dara cepat, suaranya meninggi tanpa sadar. Arga diam sejenak, menatapnya lekat. Ada yang janggal, tapi ia memilih mundur. “Ya udah deh. Jangan dipaksa kalau capek.” Suatu sore, Arga menawarkan Dara ikut naik mobil sepulang kerja. Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah café tempat ia dan Rani sering bertemu. Arga sempat melirik café itu dengan senyum samar. Dara yang memperhatikan refleksi wajah Arga di kaca mobil langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela, matanya meredup. Arga menangkap perubahan kecil itu. Apa dia… nggak suka kalau aku bareng Rani? pikirnya. Arga berbaring sambil menatap layar ponselnya. Dara masuk, duduk di meja kerja pura-pura membaca buku. Sesekali matanya melirik ke arah ponsel Arga. Ketika ada notifikasi masuk dari Rani, Dara langsung menghela napas pelan. Arga menurunkan ponsel, menatap istrinya. “Kamu beneran nggak apa-apa?” Dara menutup bukunya cepat. “Nggak apa-apa. Aku ngantuk, mau tidur duluan.” Arga menatapnya lama, seolah ingin membaca pikirannya. Ada tanda-tanda yang membuatnya bingung. Dara terlihat… berbeda. Di ruang kerjanya, Arga termenung. Dara tuh kenapa sih? Dulu dia selalu cuek, dingin, bahkan kayak nggak peduli sama aku. Tapi akhir-akhir ini… dia sering kelihatan aneh. Apa mungkin dia mulai merasa nggak nyaman sama Rani? Atau… Arga menggeleng, mencoba menepis pikirannya sendiri. Nggak mungkin dia peduli sama aku. Sementara, Rani yang semakin sengaja memancing cemburu Dara, mulai Bermain secara terang-terangan. Rani datang sore itu membawa kue kesukaan Arga. “Aku bawain ini, inget nggak dulu kamu suka banget?” katanya sambil menyodorkan kotak kue. Arga tersenyum, menerimanya. “Wah, masih inget aja.” Dara yang baru keluar dari dapur terdiam sejenak. Rani menoleh ke arahnya dengan senyum tipis. “Oh iya, Mbak Dara juga mau coba? Tapi mungkin rasanya nggak cocok ya, soalnya ini kue favorit aku dan Arga dari dulu.” Kata-kata itu ditekan, seolah-olah disengaja. Dara menahan napas, tangannya gemetar saat menuang teh. Arga melirik istrinya sekilas. Ia menangkap ekspresi yang berubah, meski Dara berusaha tetap tersenyum tipis. Arga sedang memperbaiki motor saat Rani datang. Tanpa ragu, ia jongkok di sebelah Arga, menepuk bahunya sambil tertawa. “Eh, masih jago aja kamu urusan beginian.” Dara yang sedang menyiram tanaman menoleh. Air dari selangnya hampir terlalu deras hingga membasahi sepatu sendiri. Rani meliriknya sekilas, lalu dengan suara agak keras berkata, “Kamu tuh emang nggak pernah berubah ya, Ga. Tetep jadi cowok yang aku kagumi dari dulu.” Arga merasa wajah Dara sedikit menegang. Ia sempat membuka mulut untuk merespon, tapi Dara cepat-cepat masuk rumah, meninggalkan selangnya masih meneteskan air. Suatu kali, keluarga besar Arga mengadakan acara ulang tahun keponakan. Rani ikut hadir. Saat sesi foto-foto, ia berdiri sangat dekat dengan Arga, bahkan meraih lengannya. “Biar aku aja di sebelah Arga, ya. Kan dari dulu aku udah terbiasa.” Dara berdiri tak jauh di belakang mereka, wajahnya memerah menahan sesuatu. Ia menggenggam tas kecilnya erat-erat, hampir meremasnya. Sepupu Arga yang peka lagi-lagi memperhatikan. Kali ini ia tersenyum iseng sambil berbisik ke telinga Arga, “Eh, istrimu tuh keliatan cemburu, loh.” Arga tersentak kecil, refleks menoleh ke arah Dara. Ia melihat mata istrinya menatap cepat ke bawah, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Arga Mulai Yakin Ada yang Berbeda Malamnya, Arga teringat ucapan sepupunya. Cemburu? Dara? Ia mengulang kembali momen-momen aneh: Dara mengetuk meja saat ia ditelepon Rani, nada dingin saat mendengar mereka makan siang bareng, ekspresi wajah saat Rani terlalu dekat dengannya. Hati Arga mulai goyah. Apa mungkin… Dara sebenarnya nggak setenang itu? Ia menatap pintu kamar yang tertutup rapat, di baliknya Dara sudah tidur memunggunginya. Untuk pertama kalinya, Arga merasa penasaran.Hujan baru saja berhenti, udara sore masih lembap. Aluna keluar dari minimarket kecil dekat kos temannya, membawa dua botol minuman dan roti. Ia ingin kembali ke mobil teman-temannya yang sedang parkir. Saat berjalan melewati rak buah di depan minimarket, seseorang menabraknya pelan dari sisi kanan. Bukan keras, tapi cukup membuat botol minuman bergoyang. Suara seorang lelaki pelan terdengar, “Maaf… Luna?” Aluna menoleh. Dan di sana, berdiri pria yang tak pernah benar-benar hilang dari kepalanya selama dua minggu terakhir. Freddy. Pakaiannya sederhana, kemeja coklat gelap, tangan masih memegang kantong belanja, wajahnya tampak lebih lelah dari terakhir kali. Ada kantung mata yang dalam, ada napas yang tertahan lama. “Om… Freddy?” Freddy tersenyum kecil, namun gugup, “Iya. Kamu sendiri? Sudah mau pulang?” “Iya, ini habis beli minum.” Ada keheningan aneh di antara mereka. Seperti ada sesuatu yang menggantung… sesuatu yang tidak bisa dihindari. Freddy menelan ludah perlahan
Tiga hari setelah Freddy duduk diam di seberang Cafe Selaras, Aluna sedang dalam perjalanan pulang dari kampus. Mobilnya sedang berada di bengkel. Sore itu gerimis kota pesisir memiliki bau hujan yang khas, asin laut bercampur tanah basah. Aluna memeluk totebag ke dadanya, buru-buru berjalan agar tidak terlalu basah, saat menyeberang trotoar menuju halte, langkahnya terpeleset kecil karena batu jalan yang licin. Seseorang sigap menangkap lengannya. Freddy. Tangan pria itu besar, hangat, kuku-kukunya bersih tapi ada garis bekas kerja kasar. Gerakannya spontan, refleks, bukan rencana. “Ah—! Maaf, saya— hampir jatuh…” seru Aluna. Freddy melepas perlahan agar tidak membuatnya takut, “Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja?” Aluna mengangguk cepat, sedikit kikuk. Ia menatap wajah Freddy. Mata itu… tajam, tapi bukan menghakimi. Lebih seperti seseorang yang sudah terlalu banyak hidup dan terlalu banyak kehilangan. Aluna tidak mengenalnya. Tapi entah kenapa, ia merasa
Hujan akhirnya berhenti ketika senja mulai turun.Langit berubah menjadi ungu gelap, seolah menyerap seluruh kesedihan yang menggantung di udara.Freddy berjalan tanpa arah.Langkahnya berat, tidak tergesa, tidak pula yakin.Hanya berjalan.Ia berakhir di dermaga tua — tempat nelayan biasanya menambatkan perahu saat malam tiba.Papan kayu jembatan itu basah dan berderit pelan saat ia melangkah menuju ujungnya.Ia duduk.Tanpa payung, tanpa berteduh.Membiarkan sisa hujan menetes dari rambutnya dan kelembaban menyerap ke pakaiannya.Tangannya terasa gemetar.Bukan karena dingin, tapi karena kenyataan yang baru saja menghantamnya keras.“Aluna… anakku…”Suara itu keluar pelan, serak, hampir tidak terdengar.Seolah ia takut kalau dunia akan mendengar dan menertawakannya.Matanya menatap permukaan laut. Gelap, beriak, tidak memantulkan cahaya apapun.Seperti hidupnya.Selama bertahun-tahun di penjara, ia menahan marah, menahan dendam, menahan frustasi.Ia yakin Riana menghancurkan hidupn
Sore itu, langit di atas kota pesisir tampak mendung, udara membawa aroma garam laut bercampur hujan yang sebentar lagi turun. Freddy melangkah perlahan di sepanjang jalan kecil menuju Selaras Café, tempat yang sejak lama ia dengar dari orang-orang sebagai milik Dara dan Arga. Dan konon, dikelola oleh seorang wanita bernama Riana. Nama itu membuat dadanya sesak setiap kali ia dengar. Tangannya gemetar ketika hendak membuka pintu kafe. Ia tak tahu apa yang akan dikatakan jika benar Riana ada di sana. Apakah ia pantas menemuinya setelah semua yang telah terjadi? Namun hati kecilnya terus berbisik, "Setidaknya sekali saja… biar aku bisa minta maaf…" Langkahnya baru dua meter dari pintu ketika seseorang keluar dari dalam kafe. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan mata tajam, Adrian Wilson Anggara. Adrian baru saja menutup percakapan telepon dengan salah satu staf cottage-nya. Namun begitu melihat sosok pria berjaket lusuh dengan tatapan bimbang di depan pintu k
Aluna sedang liburan singkat ke kota tempat dulu ibunya pernah tinggal, bersama tiga teman kampusnya. Mereka mencari tempat nongkrong yang “vintage dan tenang”. Salah satu temannya merekomendasikan sebuah kafe yang katanya punya vibe klasik dan tenang “Cafe Purnama”. Freddy sekarang sudah jauh berubah. Rambutnya memutih sebagian, wajahnya terlihat lelah namun berwibawa. Ia bekerja sebagai pengurus kebun kecil milik seorang kenalannya di luar kota.Pak Anggara, orang tua Freddy dan Adrian sudah meninggal dunia, kemudian perusahaannya bangkrut karena di kelola oleh asistennya, yang ternyata punya niat jahat. Sehingga saat Freddy keluar penjara, semuanya sudah hancur, dan berujung malapetaka. Semua harta maupun aset yang di milikinya semuanya hilang dan tak tersisa apapun untuknya.Yang tersisa hanya pakaian di badannya saja yang dia pakai saat keluar dari penjara.Pada akhirnya, dia hanya bisa menjadi tukang kebun. Beruntung, dia bertemu dengan kenalannya dan memintanya untuk memb
Sore itu, udara di pesisir terasa lembut. Angin laut berhembus membawa aroma asin yang khas, menelusup ke setiap jendela Selaras Café dan Alunadric Cottage yang kini sudah menjadi salah satu destinasi wisata paling terkenal di daerah itu. Banyak pasangan muda datang untuk berlibur, menikmati matahari tenggelam yang indah di tepi laut, tak tahu bahwa tempat ini lahir dari kisah dua hati yang pernah hancur dan sembuh bersama. Dari balkon utama rumah mereka, Riana menatap pantai sambil memegang secangkir teh hangat. Garis halus di wajahnya bukan tanda lelah, melainkan bukti perjalanan panjang dan cinta yang matang. Dari kejauhan, ia melihat Aluna, yang kini berusia 20 tahun, berjalan sambil membawa kamera di tangan. Gadis itu kini kuliah semester 3 di jurusan Desain Komunikasi Visual, dan sering membantu ibunya membuat desain promosi untuk Selaras Café dan cottage milik ayahnya. Langkahnya cepat, matanya bersinar penuh semangat, kombinasi sempurna antara ketegasan Anggara family







