Share

Bab. 3 Rasa Bersalah

Luna terus menangis meraung menyesali perbuatanya. Ia tak pernah menyangka jika pria yang merenggut kesuciannya adalah suami dari sahabatnya sendiri.

"Maafkan aku Manda, aku benar-benar tidak berniat melakukannya!"

Tanda merah di leher Luna terlihat sangat jelas walaupun sudah di tutupi menggunakan kerah baju yang ia kenakan.

Nikita, adik Luna yang baru saja tiba dirumah, masuk ke dalam kamar untuk sekedar menyapanya. Gadis tomboy itu memperhatikan sang kakak yang terlihat murung.

"Kaka sakit?" tanya Nikita yang kemudian duduk di atas ranjang berhadapan dengan Luna.

Luna menggelengkan kepala. Nikita merasa penasaran. Ia memegang kening sang kakak untuk memastikan jika kakaknya memang tidak demam.

Nikita juga meraba bagian leher Luna, guna membandingkan suhu tubuh dengan bagian keningnya. Namun, Nikita melihat sesuatu yang membuatnya penasaran di area leher jenjang milik sang kakak.

Gadis cantik itu menautkan kedua alisnya. "Kak? Semalam Kakak bersama siapa?"

Luna menggoyangkkan kepala ke kiri dan kanan. Ia tidak ingin adiknya mengetahui apa yang telah terjadi di antara dirinya dan Rayyanza. Jika sampai Nikita yang emosian itu mengetahui kejadian semalam, ia pasti akan memarahi Rayyanza dan menyuruhnya untuk bertanggung jawab.

Kedua telapak tangan Nikita membingkai wajah sang kakak, kemudian mengangkatnya sedikit. "Kak? Lihat aku. Kakak baik-baik saja, kan?" tanya gadis itu dengan dahi mengerut.

"Iya, Nik. Kaka baik-baik saja, kok!" terang Luna meyakinkan sang adik.

Netra berwarna kecokelatan tak lepas dari area leher Luna. Ia benar-benar penasaran dengan noda merah berbentuk bulat agak pipih tersebut. Walaupun umurnya jauh dibawah Luna. Tetapi, gadis itu terbilang sudah dewasa. Ia juga mengerti jika tanda merah yang menempel di leher kakaknya itu adalah jejak dari sebuah n*fsu b*rahi.

Seolah tak ingin memperpanjang dan mengganggu sang kakak yang terlihat sedang ingin menyendiri. Nikita keluar dari kamar yang tidak terlalu luas itu.

"Aku akan pergi ke resto bibi. jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku, oke?!"

Wanita yang terus menunduk itu hanya mengangguk pelan. Sebenarnya, Nikita sangat khawatir dengan Luna. Namun, ia harus membantu sang bibi di resto miliknya. Apalagi jika hari minggu seperti sekarang ini. Biasanya, resto akan dipenuhi oleh pengunjung. Karena, selain makannya yang murah dan lezat, resto bibinya memiliki tempat yang sangat cozy. Sehingga, sangat digemari oleh pasangan muda mudi atau pun keluarga.

Ponsel luna berdering kencang. Terlihat nama Amanda di layar ponselnya. Rasa bersalah langsung menyeruak di hatinya. Sebenarnya, ia tidak ingin menjawab panggilan dari Amanda. Namun, ia berpikir, siapa tau itu adalah panggilan penting.

Setelah dua kali ponselnya berdering dengan nama yang sama. Akhirnya, Luna menjawab panggilanya.

"Hallo, Lun. Kamu dimana?" sapa seorang wanita di seberang sana.

"Aku-, dirumah. Kenapa?"

"Bisa ga kita nongkrong di tempat biasa?" tanya Amanda.

"Sorry, Man. Aku agak kurang enak badan. sepertinya, hari ini aku akan beristirahat di rumah."

"Kamu sakit? Aku jenguk kerumahmu ya!"

Mendengar itu, Luna menjadi panik. Saat ini, ia benar-benar sedang tidak ingin bertemu dengan Amanda. Rasa bersalah membuatnya takut untuk bertemu dengan sahabatnya itu.

"Maaf, Manda. Aku hanya ingin beristirahat. Kepalaku pusing. Aku ingin tidur!" tolak Luna secara halus.

"Yasudah. Kalau begitu, cepat sehat ya, Lun!" ucap Amanda yang kemudian mengakhiri panggilannya.

Luna menggenggam dan memandangi layar ponsel selama beberapa saat. Dadanya terasa sesak. Air mata kembali jatuh membasahi pipi mulusnya. Penyesalan atas kejadian malam itu sungguh sangat menyiksanya.

"Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Apakah aku harus membohongi sahabatku seumur hidup dan berpura-pura tidak pernah terjadi sesuatu dengan Rayyan?"

Luna merebahkan tubuhnya diatas ranjang dengan posisi meringkuk. Tangis penyesalan mengalir dengan deras hingga membasahi bantal tidurnya.

Pikiranya benar-benar sangat lelah, ditambah efek mabuk semalam yang masih terasa hingga saat ini.

Kedua tangan mencengkram kepalanya mengusir kepeningan. Ia pun mencoba memejamkan mata. Hingga akhirnya ia terlelap.

****

Di tempat lain. Di dalam sebuah kamar tidur bernuansa soft beige dengan interior layaknya hotel berbintang lima, sepasang suami istri tengah berbincang.

"Sayang ...., Sepertinya, Luna, sahabatku sakit. Aku ingin menjenguknya!" ucap Amanda.

"Hah?! Sakit apa dia?!" Reaksi berlebihan Rayyanza membuat Amanda mengerutkan dahi.

Wanita yang tengah duduk di pinggiran ranjang itu merasa keheranan dengan sikap yang ditunjukan oleh suaminya yang lain dari biasanya. Biasanya, Rayyanza tidak akan peduli atau memberi respon dingin ketika mendengar nama Luna. Namun, kali ini Rayyanza terlihat kaget dan sangat antusias.

"Aku tidak tahu dia sakit apa. Tapi-, tumben kamu peduli padanya. Biasanya, kamu tidak menanggapi jika aku bahas tentang dia."

Pria yang merebahkan tubuh diatas ranjang itu menghela nafas. Ia segera merubah mimik khawatirnya dengan ekspresi datar seperti biasanya, agar Amanda tidak curiga.

"Nanti sore, aku akan menemui dia. Aku khawatir. Jika hari minggu, dia pasti sendirian dirumah. Karena biasanya adiknya pergi membantu Bibinya di resto!"

"Ya, Terserah kamu saja, Sayang!" ucap Rayyanza seolah tak peduli. "Aku akan tidur, kepalaku masih terasa pusing." ucapnya lagi.

Pria itu menarik selimut yang menggulung diatas ranjang. Menutupi setengah tubuhnya yang meringkuk. Amanda, memandangi wajah suaminya seraya membelai lembut rambut hitam mengkilatnya.

Wanita bertubuh mungil itu sangat mencintai Rayyanza. Bahkan, dari semenjak pertama kali ia melihatnya di kampus.

Amanda terus memandangi wajah tampan yang kini sudah terlelap tidur. Ingatanya seolah membawanya kembali pada enam tahun silam.

Kala itu ....

"Waah ..., ganteng bangeeeet!" ucap Amanda dengan mata membulat dan mulut menganga.

"Lihat ...!" bisiknya pada Luna. "Kamu Lihat deh, cowo yang pake kaos putih itu!" ucapnya lagi, seraya mengarahkan jari telunjuknya ke arah Rayyanza yang kala itu baru saja turun dari mobil sportnya.

"Biasa aja. Memangnya kenapa?!" jawab Luna dengan ekspresi datar.

"Dia kan anak penyumbang dana terbesar di kampus kita!" terang Amanda.

"Lagian, biasa aja gimana maksud kamu? Lihat donk, dia itu keren banget. Sumpah!" sanggah Amanda yang tergila-gila pada pria bertubuh tinggi atletis itu.

Rayyanza baru saja keluar dari mobilnya, berjalan dengan langkah gontai melewati Luna dan Amanda yang tengah berdiri di area parkir.

Pria tampan bermata kecokelatan itu menoleh ke arah Luna sesaat, sebelum dirinya melanjutkan langkah menuju kelas.

"Udah .... Ayo, kita ke kelas!" Luna menarik tangan Amanda yang masih berdiri dengan mulut menganga dan kedua mata memandang pria yang baru saja melintas di hadapannya.

"Lun .... Aku harus bisa dapetin dia!" cetus Amanda menepuk lengan Luna.

Keesokan harinya, Amanda tidak masuk kuliah karena ikut bersama orang tuanya berlibur selama beberapa hari ke Swiss.

"Hai...! Luna? Nama kamu Luna, kan?" sapa pria tampan berkaos putih bertopi hitam, di area halaman kampus.

Luna menoleh ke arah sumber suara. Ternyata, pria yang menurut sahabatnya tampan itulah yang menyapanya.

Luna melempar senyum tipis, sembari terus berjalan pelan menuju gerbang kampus. Ia akan menunggu bus untuk pulang. Biasanya, ketika pulang atau pergi ke kampus, ia selalu menumpang mobil sahabatnya. Namun, karena hari ini Amanda tidak masuk kuliah, ia terpaksa pulang menggunakan bus.

"Bolehkah, aku mengantarmu pulang?" tawar pria tampan dan populer di kampus itu.

"Tidak usah. Terima kasih ...!" jawab wanita cantik pemenang beasiswa itu.

Luna memang menghindari berdekatan dengan Rayyanza. Bukan lantaran dirinya membenci pria itu. Melainkan, karena ia merasa tidak pantas berteman dengan Rayyanza. Mengingat, ia adalah anak dari penyuntik dana terbesar di kampusnya. Ia bisa kuliah di kampus terkenal dan bagus tersebut berkat bantuan dari Ayah Rayyanza.

Gadis berparas cantik itu terus berjalan menuju gerbang utama kampus. Namun, Rayyanza malah mengikuti dan menyelaraskan langkahnya dengan Luna.

Banyak pasang mata memandang ke arah mereka. Karena ketampanan dan kekayaan yang dimiliki Rayyanza, membuatnya selalu menjadi sorotan di kampus tersebut.

"Maaf, lebih baik kamu menjauh. Kita menjadi pusat perhatian orang-orang. Aku jadi merasa tidak nyaman!" ucap Luna pada kaka tingkatnya itu.

"Loh, kenapa harus pedulikan orang-orang?" sanggah Rayyanza tak peduli.

Luna tidak ingin menanggapi pria itu. Ia mempercepat langkah kakinya agar tidak terlihat berjalan beriringan dengan Rayyanza. Namun, bukannya menjauh, pria tampan dan terkenal itu malah menarik tanganya.

"Tunggu!"

Luna menoleh ke arah Rayyanza dengan tatapan marah.

"Lepas! Aku tidak suka kamu menyentuhku!" Luna menghempaskan genggaman tangan Rayyanza dengan kasar.

Rayyanza merasa jika wanita yang satu ini sangat berbeda dari kebanyakan wanita yang ada di kampus tersebut. Disaat semua wanita memuja dan mengatakan dirinya tampan, hanya ada satu wanita yang justru terlihat tidak tertarik padanya. Ia terkesan cuek dan menghindari Rayyanza.

"Laluna ...! Aku menyukaimu!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status