Pekat. Layaknya arang langit di luar sana. Tiada dersik angin yang menerpa pohon mapel di samping rumah Hazel. Pikiran wanita dua puluh sembilan tahun itu penuh sesak. Segalanya menjejali kepala. Tidak bisa ia pilah mana yang lebih diprioritaskan.
"Tuhan, semua ini semakin membuatku gila. Segalanya terasa merusak semua hal indah yang pernah tercipta.Ia tatap wajah polos yang telah mengisi setiap waktu berharga selama ini. Tidak pernah terpikir bahwa akan secepat ini bertemu dengan laki-laki yang merusak segala angan-angan yang sempat ingin digapai."Ibu tidak tahu, Boy. Apakah ibu bisa menepati janji untuk menjagamu setiap waktu? Sementara Ibu juga harus bisa memenuhi kebutuhanmu, Sayang. Ibu bingung. Ibu tidak berdaya." Tangisnya tidak berdaya. Terisak tanpa suara. Menyeret kenyataan dalam lubang hitam kelam tanpa ujung.Sorot mata Hazel menelisik pada kalung yang melingkari leher Arrow. Ia raih dan kembali meniti tiap inci detail dalam ukiran itu. Lambang-lambHujan mengetuk kaca jendela seperti jarum-jarum tipis yang tak henti mencakar waktu. Udara malam terasa berat, dan di tengahnya, Luca duduk sendirian di dalam kamarnya yang remang. Lampu meja menyala samar, menyoroti bingkai foto tua yang digenggamnya erat.Foto itu sudah usang, warnanya memudar, tetapi kenangan di dalamnya tetap hidup.Empat pria berdiri berdampingan, mengenakan setelan formal, dengan senyum yang tidak sepenuhnya damai. Di sisi kiri berdiri seorang pria dengan sorot mata tajam namun tenang—Dom, ayah Luca. Di sampingnya, Brian, lalu Don, dan terakhir, Jack.Di bagian belakang foto itu, tergores tulisan tangan tua dengan tinta yang mulai luntur:“Untuk dunia yang tak akan pernah tahu nama kami.”Luca menghela napas dalam, menatap sosok ayahnya di foto. Tangannya mengusap bingkai kayu perlahan, seolah menyentuh bayangan masa lalu yang sudah lama mati.Di atas meja, tergeletak sebuah kertas—gambar buatan Arrow.
Luca tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di tempat, menatap Hazel yang menggandeng Arrow menjauh, melewati pagar, lalu menaiki motor tua yang dimilikinya. Mesin menyala. Dan sesaat kemudian, hanya suara angin sore yang tersisa.Bahkan saat bayangan motor itu menghilang di tikungan jalan kecil, Luca masih berdiri di sana. Menyimpan semua kata yang tidak jadi ia ucapkan. Menyerap semua amarah yang tidak ingin ia balas. Luka itu bukan untuk dibela—ia memilih menanggungnya.Ini sungguh tidak adil untuk Arrow. Di mana ayahnya ke mana-mana selalu menggunakan mobil mewahnya. Belum lagi penjagaan ketat yang dilakukan di kejauhan. Sedangkan Arrow? ---Hazel menggenggam kemudi erat-erat. Matanya lurus ke depan, tapi pandangannya kosong. Ada gemuruh di dadanya, seperti suara air mendidih yang tidak kunjung tumpah. Arrow duduk diam di belakang punggungnya, tangannya memeluk pinggang sang ibu dengan erat. Takut seolah ia terbawa angin. Tak
Suara Luca barusan—tenang, tulus, dan menenangkan—bagaikan hantaman pelan yang membuat dada Hazel sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menahan dorongan untuk menghampiri dan—untuk sesaat saja—percaya. Tapi ia tidak boleh.Ia menarik napas panjang, lalu membuka pintu pagar dan melangkah masuk.Luca dan Arrow sama-sama menoleh. Arrow tampak berseri-seri, tetapi segera menangkap ketegangan dalam ekspresi ibunya. Ia menggenggam jari Luca erat, seolah meminta agar pria itu tetap di tempatnya.Hazel berhenti tepat beberapa langkah dari mereka.“Aku bilang padamu untuk tidak mendekatinya, bukan? ” ucap Hazel pelan, tapi tegas. Nada suaranya terdengar tenang, namun matanya tajam dan sorotnya tidak dapat disangkal—ia marah.Luca tidak menjawab. Ia menunduk sedikit, seperti menerima teguran itu tanpa keberatan.Hazel menatapnya lama. Ada banyak hal yang ingin ia ucapkan, namun semua terasa terlalu rapuh jika dilontarkan sekar
Pukul 16:15.Lagi-lagi wanita beranak satu itu terlambat menjemput sang buah hati. Langit masih terang, tapi matahari sudah mulai miring. Hazel berdiri di balik pagar besi daycare, menyipitkan mata ke arah halaman samping tempat anak-anak biasa bermain sebelum dijemput. Langkahnya sempat terhenti saat mendengar suara Arrow yang familiar, riang seperti biasa. Tapi yang membuat napasnya tertahan adalah sosok yang berdiri di dekat bangku taman—Luca.“Paman Luca, belakangan ini Ibu terlihat berbeda,” ucap Arrow ringan, sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang tak menyentuh tanah. Ia duduk di ayunan kecil, sementara Luca berdiri tak jauh di depannya, membungkuk sedikit agar sejajar dengan tinggi sang bocah.“Berbeda seperti apa maksudmu?” tanya Luca lembut, alisnya berkerut tipis.“Seperti... sedih, tetapi diam. Kadang Ibu tersenyum, tetapi matanya tidak ikut tersenyum. Lalu... Dia sering melamun saat memasak, sampai telurnya hangus.”Luca ter
Langkah Hazel menggema di lantai restoran yang masih gelap dan dingin. Bau pembersih lantai menusuk hidungnya seperti biasa, begitu juga suara air dari ember dan kain pel yang menampar ubin. Tapi pagi ini terasa aneh. Sunyi. Lebih sunyi dari biasanya.Tidak ada suara Zoe yang bersenandung pelan sambil menyapu. Tidak ada tawa kecil karena lelucon receh tentang pelanggan atau pemilik restoran. Tidak ada sapaan hangat, atau kehadiran yang seolah tak pernah benar-benar pergi selama empat tahun terakhir.Hazel melirik ke arah jam dinding. Sudah lewat sepuluh menit dari waktu biasa Zoe datang. Biasanya pria itu selalu lebih dulu. Selalu datang dengan kopi kaleng dingin dan wajah lusuh yang selalu menyimpan senyum tipis.Tapi pagi ini tidak ada siapa-siapa.Hazel menghela napas dan melanjutkan pekerjaannya, meski ritmenya terasa goyah. Tangannya bekerja, tapi pikirannya melayang ke malam terakhir mereka berbicara. Zoe sempat bicara lebih banyak dari bias
Luca tetap mematung. Jemarinya perlahan bergerak, nyaris ragu, sebelum akhirnya menyentuh liontin itu. Dingin. Sedingin malam ketika ia kehilangannya—malam yang mengubah semuanya.“Ini… semua milik Ibu, ya?” tanya Arrow pelan, memiringkan kepalanya penuh rasa ingin tahu.Luca mengangguk perlahan. “Entahlah,” jawabnya nyaris tak terdengar. “Dulu salah satunya milik Om. Lalu hilang. Dan sekarang…”Ia tak sanggup melanjutkan. Napasnya tercekat.Arrow tampak bangga. “Berarti Om dan Ibu pernah bertemu, ya?”Luca hanya menatap anak itu. Tatapan yang tidak sekadar menjawab, tapi menggali, menyesali, menimbang ribuan pilihan yang tak sempat ia ambil enam tahun lalu.“Arrow… Om tidak seharusnya di sini,” gumamnya akhirnya.Arrow menunduk. “Tapi aku senang Om datang.”Itu menghantam dada Luca lebih kuat daripada kemarahan Hazel. Bocah ini tidak tahu apa-apa—dan itu justru membuat semuanya terasa lebih salah.Luca