Pangutan kedua bibir itu terlepas hingga membuat napas Siska terengah-engah.
"I-ini salah, Pa!" Saat Siska hendak menjauh, saat itu juga tubuhnya ditahan oleh tangan kekar Bram.
Pandangan keduanya bertemu hingga membuat jantung Siska kembali berdetak tak karuan. Wanita itu masih berusaha untuk mencerna kejadian yang sangat mendadak ini.
"Papa tau ini salah, tapi boleh Papa jujur sama kamu, Nak? Papa tertarik sama kamu dan entah dari kapan itu. Intinya, Papa tidak suka melihatmu menangis dan ingin menjadi garda terdepan untuk melindungimu!" ujar Bram seraya mengusap lembut bibir ranum sang menantu.
Sayangnya, Siska yang masih merasa ini semua salah pun lekas menghempas kasar tangan mertuanya. Ia berusaha keras untuk memberontak dan bahkan hendak membuka pintu mobil.
Namun, lagi dan lagi pergerakannya bisa dibaca oleh Bram. "Mau ke mana?"
"Aku mau pulang. Aku nggak mau berbuat dosa sama Papa. Cukup Mas Dani yang selingkuh dan menodai pernikahan ini. Aku nggak mau!" jerit Siska yang seketika membuat Bram menyeringai.
Akan Bram pastikan jika tak lama lagi Siska sendiri yang akan memohon kepadanya untuk dimiliki. Sungguh, pria paruh baya itu akan menunggu hal tersebut tiba. Dia pastikan akan secepatnya hal itu terjadi.
"Baiklah jika itu maumi, Nak. Tapi ingat! Jika kamu membutuhkan Papa, Papa siap kapan saja. Papa akan memberimu perlindungan dan bahkan bisa mengajarimu bagaimana cara berpenampilan supaya orang yang ada di sekitarmu tidak akan menginjak-injak harga dirimu. Papa bisa melakukan itu. Ingat, Nak, jika suatu saat nanti kamu mau menerima tawaran Papa, detik itu juga kamu akan menjadi wanita istimewa!" tegas Bram seraya mulai melajukan mobil.
Sore pun tiba, Siska sejak tadi sibuk memandangi jarum jam seraya menemani Laila yang sedang sibuk menggambar.
Sudah jam lima sore, tapi tidak ada tanda-tanda Dani pulang. Apa suaminya kembali lembur?
"Ma, kapan Papa pulang?" tanya bocah enam tahun itu dengan wajah bulatnya. Memang, akhir-akhir ini Laila jarang sekali bertemu dengan Dani.
"Papa masih sibuk kerja, Nak. Nanti juga pulang. Sudah selesai menggambarnya?" tanya balik Siska dengan lembut.
Laila mengangguk seraya tersenyum. Tangan mungilnya perlahan memberikan hasil gambarannya pada Siska.
Wanita itu mengerutkan kening ketika melihat hasil gambaran Laila yang terdapat empat orang dengan gambaran sedikit belepotan. Maklum, Laila baru saja memasuki fase Taman Kanak-kanak.
"Kok ada empat? Ini yang kecil siapa?" tanya Siska pada Laila.
"Ini yang kecil adeknya Laila, Ma. Teman-teman Laila bilang kalau mereka punya adek lucu, terus mereka dipanggil Kakak. Laila juga mau!" rengek bocah enam tahun yang sudah fasih berbicara dengan huruf R itu.
Siska meneguk ludah dengan susah payah. Ingatannya masih membekas pada kejadian siang tadi, di mana suaminya sedang memadu kasih dengan perempuan lain.
"Mama, aku mau punya adik. Boleh, ya?" rengek Laila lagi dan kali ini Siska kembali fokus menatap ke arah wajah Laila yang begitu polos. Siska pun bertekad kuat untuk tetap mempertahankan rumah tangga ini demi Laila.
"Laila mau punya adek, hm? Ya sudah, nanti Mama sama Papa kasih Laila adek. Tapi, sabar, ya! Nggak langsung ada, tapi secepatnya. Mau?" Laila langsung mengangguk brutal yang sukses membuat Siska gemas bukan main. "Ya sudah, sekarang Laila main ke kamar, ya. Mama mau masak buat nanti malam. Boleh, Nak?"
"Okey, Mama!" pekik Laila dengan semangat dan langsung berlari pergi menuju kamarnya.
Siska menghela napas. Jujur saja, rasanya air matanya ingin keluar, tapi dia berusaha keras untuk menahannya.
Wanita itu memilih untuk pergi ke dapur sebelum mendapatkan omelan dari Mama mertuanya.
Saat sedang sibuk mencuci sayuran, saat itu juga Siska merasakan sebuah pelukan dari belakang. Sontak saja wanita itu terkejut bukan main.
"Tawaran Papa masih berlaku, Sis. Jika kamu ingin menyerah dan balas dendam pada suamimu, Papa ada di sini!"
Gleg!
Siska meneguk ludah dengan susah payah. Tangannya mencengkram kuat pinggiran wastafel ketika merasakan usapan sensual di perutnya oleh tangan kekar sang mertua.
"Aku mau bertahan sama Mas Dani, Pa. Tolong jangan seperti ini!" keluh Siska berusaha untuk menyingkir. "Laila mau adik. Mungkin dengan aku hamil lagi anak Mas Dani, suamiku itu akan berubah dan kembali sayang sama aku!"
"Bulshitt!" umpat Bram yang sukses membuat Siska terkejut. Bram membalikkan tubuh Siska secara paksa hingga keduanya saling berhadapan. "Kamu terlalu naif, Sis. Kamu belum tau seberapa jauh suamimu itu bermain api bersama selingkuhannya itu!" lanjut Bram yang semakin membuat suasana hati Siska tak karuan.
Tangan Siska terkepal dengan sangat kuat ketika bayangan suaminya yang sedang bercinta dengan wanita lain berseliweran di kepalanya.
"Aku sudah tau, Pa. Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana Mas Dani menyentuh wanita lain. Kalau boleh jujur, sakit sekali rasanya, Pa. Tapi, bukannya aku harus berkorban demi anakku? Demi Laila, Pa. Kalau aku pisah sama Mas Dani, Laila bagaimana?"
"Kamu dan Laila akan menjadi tanggung jawab Papa. Ayolah, Sis, jangan bodoh. Hidup cuma satu kali dan kamu mau terus merasakan sakit hati? Lihat, apa kamu masih mau sama Dani setelah ini?" Bram mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah video kepada Siska.
Tubuh Siska lemas bukan main ketika melihat tayangan video tersebut.
"Masih mau mengharapkan Dani? Kamu lihat sendiri, kan? Papa sengaja mengirim mata-mata untuk mengetahui sejauh mana hubungan gelap antara Dani dan sekretarisnya. Kamu bisa lihat sendiri, mereka sedang berada di dokter kandungan jam dua siang tadi. Kamu masih berharap hamil lagi anak Dani?"
Detik itu juga, tubuh Siska luruh ke lantai. Tangisannya meledak begitu saja. Bram tak perlu merasa khawatir akan dipergoki oleh sang istri. Sebab, Prita sedang sibuk dengan para Ibu-ibu sosialita di mall untuk menghabiskan uang.
"Kenapa Mas Dani tega sama aku, hiks ... Aku gimana, Pa?" raung Siska dan bahkan napasnya sampai tersengal.
Bram langsung memeluk erat tubuh menantunya yang beberapa hari terakhir ini ia incar. Entahlah, hasrat untuk memiliki Siska begitu besar. Terlebih lagi, ada sebuah rahasia besar yang membuat Bram nekad melakukan hal ini.
"Masih mau berharap sama Dani?" tanya balik Bram seraya mengusap rambut Siska.
Wanita yang tadinya bersikukuh untuk membuat Dani kembali lagi, tapi kini justru menggeleng pelan dan masih menangis hebat.
"Selingkuhan Mas Dani hamil, Pa. Aku nggak mau dimadu. Aku benci jika harus menjadi istri pertama. Aku nggak sudi berbagi suami!" raung Siska.
"Maka dari itu, ayo berubah, Sis. Papa bakal bantu kamu. Tapi sebagai gantinya, kamu harus menjadi milik Papa!" tegas Bram yang tak main-main.
Siska menghentikan tangisannya dan masih tersisa isakan kecil.
"Papa akan membahagiakan kamu dan Laila. Jangan khawatir soal Laila. Memangnya, kamu mau terus dibodohi oleh Dani dan selalu ditindas oleh Mama mertuamu?"
Untuk kedua kalinya, Siska menggeleng. Mungkin Papa mertuanya benar. Kali ini dia harus bangkit. Jangan sampai ada lagi yang menindas dirinya dan menyakiti hatinya.
"Satukan bibir kita jika kamu setuju menjadi milik Papa dan Papa jamin, kamu akan jauh lebih bahagia bersama Papa!"
Siska tau jika hubungan ini tabu, tapi bukannya dia juga berhak bahagia? Dia akan menuntut segala rasa sakit yang sudah ditorehkan oleh Dani dan juga Prita. Dengan Bram pula dia bisa melakukan semuanya.
Persetan dengan norma-norma. Siska hanya ingin bahagia dan membalas semua rasa sakit ini.
Pada akhirnya, wanita itu meraih kepala belakang Bram dan detik itu juga bibir keduanya langsung bersatu.
Bersambung ...
Selain berselingkuh hingga membuat selingkuhannya hamil, ternyata Dani kembali berbuat ulah. Lelaki itu mengambil uang perusahaan sebanyak 2 milyar hanya untuk membelikan selingkuhannya rumah mewah. Bram selalu mengirim mata-mata untuk mengawasi Dani dan sekarang ini belum turun tangan. Pria paruh baya itu masih memantau seberapa jauh anak brengseknya itu berulah. Siska semakin merasa sakit hati dan dia tau jika rumah tangganya dengan Dani sudah di ambang kehancuran. Wanita itu masih dalam keadaan terpuruk hingga memutuskan untuk menitipkan Laila pada keluarganya di kota sebelah. Jangan sampai anak sematawayangnya tau kelakuan bejat Papanya. Beruntungnya, Laila sama sekali tidak protes lantaran di sana banyak sepupu sepantaran dengannya. Bedanya, Prita yang selalu mengomel ini dan itu karena kepergian Laila secara mendadak. "Kamu itu Sis, selalu banyak tingkah. Apa maksudnya menitipkan Laila ke keluarga keremu itu, hah? Pasti di sana cucuku menderita. Secara, keluargamu itu miskin
Pangutan kedua bibir itu terlepas hingga membuat napas Siska terengah-engah. "I-ini salah, Pa!" Saat Siska hendak menjauh, saat itu juga tubuhnya ditahan oleh tangan kekar Bram.Pandangan keduanya bertemu hingga membuat jantung Siska kembali berdetak tak karuan. Wanita itu masih berusaha untuk mencerna kejadian yang sangat mendadak ini. "Papa tau ini salah, tapi boleh Papa jujur sama kamu, Nak? Papa tertarik sama kamu dan entah dari kapan itu. Intinya, Papa tidak suka melihatmu menangis dan ingin menjadi garda terdepan untuk melindungimu!" ujar Bram seraya mengusap lembut bibir ranum sang menantu. Sayangnya, Siska yang masih merasa ini semua salah pun lekas menghempas kasar tangan mertuanya. Ia berusaha keras untuk memberontak dan bahkan hendak membuka pintu mobil. Namun, lagi dan lagi pergerakannya bisa dibaca oleh Bram. "Mau ke mana?""Aku mau pulang. Aku nggak mau berbuat dosa sama Papa. Cukup Mas Dani yang selingkuh dan menodai pernikahan ini. Aku nggak mau!" jerit Siska yang
Entah apa yang sebenarnya terjadi akhir-akhir ini. Masalah seperti datang bertubi-tubi. Belum juga masalahnya dengan Dani kelar, tapi pagi ini Bram yang awalnya hendak menegur Dani atas sikapnya yang kurang ajar pada Siska mendadak urung. Pria paruh baya itu justru mendapatkan kabar yang kurang mengenakkan dari sang istri. Bagian dapur rumahnya terbakar karena kelalaian Prita ketika memasak, tapi justru sibuk bermain ponsel. Untung saja hanya di bagian dapur dan tidak sampai menyebar di sepenjuru rumah mewah dua lantai itu. Pada akhirnya, Prita terus menerus mendesak suaminya untuk menginap beberapa hari di kediaman Dani selagi menunggu perbaikan dapur. Wajah Siska sudah pias ketika melihat Mama mertuanya yang datang sembari membawa koper. "Kamu sudah siapin kamar buat Mama sama Papa, kan?" tanya Prita yang di angguki oleh Siska. "Mama sama Papa bakal tinggal di sini sampai perbaikan dapur selesai!" lanjut Prita yang semakin membuat Siska tertekan. "Berapa lama, Ma?" tanya Siska
Siska menunggu kepulangan Dani dengan sedikit gelisah. Pasalnya, sudah pukul sepuluh malam, tapi suaminya belum juga pulang. Anaknya sejak tadi sudah tertidur walau ada sedikit drama merengek karena merindukan Dani.Sementara kedua mertuanya tentu sudah pulang ke rumah mereka sendiri dan untungnya tidak menginap di sini. Sebab, Siska masih enggan bila harus satu atap dengan Mama mertuanya yang cerewet itu. Suara deru mesin mobil yang memasuki pekarangan membuat Siska bangkit dari sofa ruang tamu. Ia gegas membuka pintu untuk sang suami dan mendapati lelaki itu dalam keadaan berantakan dan berjalan sempoyongan. "Mas? Kok, jam segini baru pulang?" tanya Siska dengan khawatir.Dani menghela napas ketika melihat penampilan istrinya yang tidak berubah. Dia kira, ketika pulang akan di sambut dengan penampilan menawan dari istrinya, ternyata sama saja. Lantas, mana katanya tadi beli lingerie? "Ada meeting mendadak. Sudah, mending kamu tidur saja duluan. Mas mau mandi!" Dani mendorong tubu
Siska dan Dani adalah sepasang suami istri yang sudah menikah selama tujuh tahun dan sudah dikaruniai anak perempuan berusia enam tahun. Keduanya memilih untuk menikah muda selepas lulus sekolah dan tak perlu pusing memikirkan keadaan ekonomi pasca menikah. Sebab, orang tua Dani sangat kaya dan selama ini mereka selalu diberi bantuan oleh kedua orang tua Dani. Walau begitu, sudah lebih dari lima tahun menikah. Hasrat yang dulunya terlalu menggebu, kini seolah surut di makan waktu. Dani tak seantusias seperti dulu lagi dalam menyentuh Siska. "Mas, ini malam jum'at, loh. Kamu nggak lupa, kan?" bisik Siska. Bukannya tergoda, Dani justru risih dan menepis tangan sang istri. Lelaki itu bangkit dari ranjang dan menghela napas beberapa kali. "Nggak usah dulu, Dek. Mas nggak ada nafsu malam ini!" balas Dani seraya melirik ke arah istrinya. Lelaki itu geleng-geleng kepala ketika melihat penampilan Siska. Daster yang warnanya bahkan hampir pudar. Sama sekali tak ada sisi menariknya. "Sud