Raihan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Vano. Tepat saat itu, getaran hangat menjalar begitu saja menyelimuti hati Raihan, entah mengapa senyaman itu.
"Maafkan Paman, ya. Paman tidak bermaksud jahat pada Ano waktu itu."Vano melebarkan senyumannya. "Iya, Paman. Kata Buna, Paman waktu itu cedang banak pikilan."Raihan tersenyum mendengar balasan anak itu. Rania mengajarkannya dengan sangat baik."Mau ikut Paman membeli jajanan?" tawarnya dengan reflek begitu saja. Bukankah Vano anak yang lucu dan sangat menggemaskan? Siapa pun pasti akan dengan suka rela mengajaknya membeli jajan."Apa boyeh?""Tentu, boleh. Ayo ...." Raihan menyodorkan telapak tangannya, membuat Vano menaruh tangannya di telapak tangan Raihan. Lagi, euphoria itu muncul. Bahkan, Raihan ingin mencium pipi anak laki-laki itu dan menggendongnya.Raihan membawa Vano pergi ke kantin untuk membelikan jajanan. Menyisakan Rania yang sejak tadi berdiri di balik pintu utama ruangan staff. Dia memegangi dadanya yang bergemuruh hebat. Niat awal ingin mengajak Vano makan, malah tidak jadi karena seseorang lebih dulu membawa putranya pergi."Kuatkan aku, Tuhan ...," lirih Rania sendu.Semoga kedepannya dia masih mampu bertahan sebelum ia benar-benar siap meninggalkan perusahaan ini dengan uang tabungan yang cukup. Setelah uang tabungannya cukup, Rania berniat akan pergi dan menetap di Bandung bersama David dan Vano.***Rapat dimulai dengan dipandu oleh Sobri, penanggung jawab dan penasehat direktur utama perusahaan, istilahnya kaki tangan dari ayah Raihan. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Rania juga fokus pada penjelasan dari ketua tim pemasaran yang sedang persentasi. Dia tidak ingin mengecewakan Renan dengan menjadi orang bodoh dan tidak tau apa-apa tentang rapat ini."Ran ... matamu sudah hampir copot, berkedip sedikit biar ga juling," ucap Yoga yang berada di samping Rania."Kalau ga gini, aku jadi dongo. Mataku rabun, minusku naik ... aku belum mengganti kaca mataku.""Kapan kau akan menggantinya?""Harusnya bulan ini aku berniat mengganti kaca mata. Namun, David dan Vano ingin beli robot apa itu aku lupa namanya ... katanya limited edition. Jadi, aku tunda lagi beli kaca matanya sampai bulan depan.""Ya Tuhan Ran, aku jadi pengen jadi anakmu. Biar diutamain beli mainan dari pada kebutuhan sendiri."Rania terkekeh kecil. "Haha. Aku sekarang hidup hanya untuk membahagiakan David dan Vano. Selebihnya, aku tidak tertarik, yang penting anak-anakku bahagia."Yoga yang terkesan, reflek merangkul Rania. Rekan kerjanya itu memang pantas menjadi role model untuk wanita karir di luar sana. Hidup dan bekerja demi anak.Raihan melihat ke arah keduanya, dia menatap intens Rania yang sedang terkekeh dengan Yoga."Cih! Bahkan dia masih bisa terkekeh di saat ibuku di rumah menderita karena ulahnya," gumamnya dengan manik mata tajam yang mematikan.***Kediaman Atmadja sore itu sedang tidak baik-baik saja, terjadi keributan yang cukup membuat atensi orang-orang disekitarnya bisa terganggu jika terdengar di telinga mereka.Hani dan Haru terus saling beradu mulut di dalam kamar utama mereka dan Hani yang sangat membenci tatapan suaminya itu, Haru."Kau laki-laki jahat yang pernah aku temui, Haru!" teriak ibu Raihan, Hani. Wanita itu menatap nyalang kepada sang suaminya yang berada dihadapannya. Sungguh, Hani sangat ingin mencabik-cabik wajah suaminya itu. Dia merasa hidupnya semakin kelam karena perilaku buruk Haru yang dengan sengaja telah merusak kebahagian seseorang."Tidak usah meneriakiku, kau cukup duduk enteng menikmati masa tuamu, itu saja," balas ayah Raihan, Haru. Laki-laki yang menginjak usia lebih dari setengah abad itu tidak mau kalah dari istrinya dan dia menganggap dirinya benar saat ini."Kau menyakiti hatiku! Kau membuatku tertekan selama masa hidupku! Tolong jangan begini! Aku lelah!" Hani menyerakkan buku-buku Haru yang berada di atas meja kerjanya. Membiarkan berserakan di lantai bersama perkakas kecil lainnya termasuk gelas teh yang ada di atas meja tersebut."Yang kulakukan sudah benar, Hani! Jangan campuri urusanku lagi! Kau nikmati saja harta dan kemewahan ini! Pergi berbelanja bersama teman-temanmu itu, apa uang yang selalu kuberikan itu tidak cukup untukmu?" Haru berdiri dari duduknya sambil memijit batang hidung. Dirinya juga dilanda rasa pusing di bagian kepala karena terus meladeni kemarahan istrinya tersebut."Aku tidak hidup tenang selama ini! Jangan terus menyakiti hatiku dengan kelakuanmu itu! Aku tidak butuh uangmu! Yang kubutuhkan saat ini adalah kebajikan dan hati nuranimu yang menghitam itu. Aku mohon ... jangan ambil kebahagianku ...." Hani pun terduduk di lantai dengan lemah, rasanya dia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan suaminya. Jari-jemarinya ia kepal begitu kuat sambil memukuli dadanya yang begitu sesak, dia ingin semua berakhir tanpa ada satu pun yang tersakiti."Yang kulakukan sudah benar, wanita itu menghancurkan kita, Hani.""K-kau ... putraku h-hancur.""Dia bahagia. Putra kita bahagia bersama Jihan. Apa kau tidak lihat itu?"Hani menggeleng, tidak menyetujui ucapan suaminya. Setelah itu, Hani tidak sadarkan diri tiba-tiba karena kelelahan saat menangis histeris tadi. Tubuhnya rentan jika dia sudah kelelahan atau pun tertekan.Haru mendekat dan mengangkat Hani keluar kamar. "Sudah ku katakan, kau pikirkan kehidupanmu saja, jangan mencampuri masalah yang lain," bisik Haru di telinga istrinya, lalu bergerak mengayunkan kakinya menaruh Hani di atas tempat tidur.Dalam setengah sadar Hani bergumam sendu, tangannya juga meraba-raba seprai kasur. "Rania .... R-rania ... j-jangan ambil k-kebahagianku ... Rania."Mendengarnya, membuat Haru mengabaikan begitu saja. Dia menarik selimut Hani sampai ke atas dada. Setelah itu, Haru melenggang pergi dari hadapan Hani dan memilih ke luar rumah untuk duduk di teras taman belakang. Membiarkan dirinya menghirup udara segar dan bisa berpikir lebih jernih lagi untuk tidak tersulut emosi dan melampiaskan pada istrinya yang mudah tertekan dan jatuh sakit.***Sore hari itu, Rania dan Vano memilih tidak langsung pulang ke apartement, tapi mampir ke toko kue kesukaan Vano. Vano antusias sekali saat memilih bentuk-bentuk donat kesukaannya dan memilih kesukaan abangnya juga, David."Bun, Ano boleh ambil yang ini?" tunjuknya pada donat berbentuk kepala beruang, sangat lucu dan menggiurkan untuk Vano. Bahkan, lidah anak laki-laki itu mungkin sedang menari-menari di dalam sana karena tidak sabar ingin melahap si donat kepala beruang.Rania tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala si buah hati dengan begitu lembut."Boleh dong, Ano ambil yang Ano suka, Buna tidak akan melarang.""Yeeee!" Vano tertawa riang. Lalu, anak laki-laki itu sedikit berlari ke arah rak kue yang lain dan melihat-lihat bentuk donat mana yang akan ia ambil lagi. Rasanya, semua ingin dibeli dan dibawa pulang ke kediaman mereka.Rania hanya bisa memperhatikan dan tentu hatinya berbunga-bunga
Seseorang perawakan tubuh tinggi datang menghampiri Rania dan putra-putranya. Laki-laki itu sempat ragu-ragu dengan kehadiran sosok Rania disana.Rania menoleh diikuti oleh Vano dan David. Seorang berperawakan tinggi dan tegap tampak terkejut dengan kehadiran Rania di makam Naresh."D- dino.""Kau sedang apa Rania? Sudah lama sekali ... terakhir ka-" Ucapan Dino terpotong tat kala netranya menangkap sosok David di sebelah Rania. Anak-anak laki itu memiliki wajah yang mirip dengan mendiang sahabatnya, yaitu Naresh."D- david?"David mengernyitkan dahinya, lalu menatap Rania. "Buna, Paman ini siapa?" Jelas David tidak kenal, dulu sekali David masih kecil sekali saat bertemu dengan Dino yang merupakan sahabat handanya."Teman handamu," jawab Rania. Wanita itu kembali menatap Dino dan tersenyum sekilas dengan ramah. "Dino, aku membawa David kesini, dia ingin mengunjungi makam handanya. Aku pikir memang sudah waktunya dia tahu ayahnya
Plak!Anak laki-laki itu tersungkur saat mendapat satu tamparan dari pipi kanannya. Dia mencoba berdiri lagi sambil memegangi pipinya yang memerah, terasa sangat sakit dan perih menyengat."Apa tidak ada lagi wanita di dunia ini, sehingga kau harus memilih wanita sampah itu untuk kau peristri?" tanya Haru tepat di hadapan Renan.Kemarahan lelaki itu semakin memuncak karena Renan yang keras kepala dan tidak mengindahkan perkataannya dulu."Dia bukan wanita sampah! Tapi, Ayahlah sampah itu!" jawabnya kembali menentang perkataan Haru. Renan tidak terima jika wanita pujaannya malah mendapat hinaan dan disamakan dengan sampah."Anak sialan!""Aku ingin Rania, Ayah!""Ren-" panggil Hani pada anak tirinya itu. Wanita itu berjalan tertatih-tatih menghampiri Renan seperti sedang terburu-buru atau sedang dikejar seseorang."Ibu ....""D-dimana Rania?""Jangan mencampuri urusanku dengan anakku! Keluar kau Hani
"Ano sama Handa Enan dulu, ya. Buna dengan Abang David akan ke rumah sakit, akan sedikit lama," bujuk Rania, dia memasukkan mainan Vano ke dalam tas anak itu."Ke yumah atit? Abang Avid atit ya, Buna?"Rania menggelengkan kepalanya dan memakaikan Vano kaos kaki karena saat bermain di area kantor, Vano melepasnya dan memakai sandal pombobnya."Abang David ngin tes kesehatan, minggu depan abangmu akan ikut pertandingan bela diri, jadi Ano harus ikut Handa Enan dulu, ya.""Ikut ... Ano ikut, Buna.""Disana akan lama sayang, Ano ikut Handa Enan saja dulu, ya. Pulang ke rumah angkasanya," bujuk Rania lagi dengan sangat pengertian. Rumah angkasa yang dimaksud adalah apartemen Renan yang bernuansa luar angkasa. Apalagi di bagian kamarnya, Vano sangat suka sekali karena terlihat seperti sedang berada di atas langit."Potokna Ano itut, Ano tidak mau ngan Handa Enan, Ano mau itut Abang dan Buna ke yumah atit," balasnya tak mau kalah. Kini,
Sejujurnya, Raihan tidak ingin berkata seperti itu, dia tahu sendiri, semasa pacaran mereka melakukan hubungan tubuh karena mereka saling mencintai, bahkan Rania tidak pernah membahas untuk dinaikkan nilainya saat Raihan menjadi asisten dosen di mata kuliah ilmu kebisnisan. Sungguh, Raihan sedang emosi sekarang."CIH! jangan termakan oleh ucapan wanita ular itu! Kau akan melihat sendiri bagaimana dia akan menghabisimu, tubuhnya bukan apa-apa. Kau bisa mendapatkan jalang yang lebih memuaskan ketimbang dirinya," ucap Raihan, lalu membuka kunci layar hp-nya. Disana satu pesan masuk dari Jihan. Wanita itu mengatakan bahwa dia telah siap dan Raihan akan menjemputnya untuk pergi berkencan.Mendengarnya, sekali lagi membuat hati Renan perih. Urat-urat lehernya pun mengeras, dia marah. Kenapa Raihan itu sangat bodoh sekali."Abang memang bodoh, kau akan menyesalinya suatu saat," kilah Renan. Punggungnya berbalik begitu saja, sudah tidak ingin mendengar kalimat jah
Maret, 2016.Raihan mencintai Rania, sangat."Kakak! Ingin pesan apa? Rania sedang di minimarket ini, sebentar lagi akan kesana," ucap gadis itu bersemangat sekali, terlihat dari nada bicaranya yang lantang dan antusias."Hah! Kok sudah disana, Kakak bilang kan tadi untuk menjemputmu, kau ini," balas Raihan sambil memakai Hodie-nya dan keluar unit apartemennya. Berniat menyusul kekasihnya itu yang berada diluar pada malam hari seperti ini."Hihi, hanya kejutan saja," ujar Rania sambil memasukkan cemilan ke dalam keranjangnya."Suka mengejutkan kau ini, Kakak menyusulmu sekarang."Sambungan telpon terputus. Laki-laki itu menyusulnya, tidak akan pernah bisa membiarkan bayi rusa itu diluar sendirian saat malam hari, akan sangat bahaya.19.30"Kakak! Kakak! Tangannya nakal sekali. Anya kan ingin fokus menonton," kilahnya saat tangan Raihan masuk ke dalam bajunya tanpa permisi, membuat Rania terkejut karena ada telapak tangan yang hangat menempel pada permukaan kulitnya."Sambil nonton, sa
Hani terus menangis di atas kasur Renan dengan tersedu-sedu. Wanita paruh baya itu mengunci tubuh Vano kecil dalam pelukannya yang erat."Jangan pergi lagi pangeran kecil Nini, Nini menyayangimu pangeran kecilku," ucapnya sambil menciumi puncak kepala Vano seperti tidak akan membiarkan Vano lepas dalam dekapannya lagi."Nini angan nanis ya, Ano uma mau pelgi ke yumah angkasa Handa Enan," balasnya polos sekali. Raut wajahnya yang menggemaskan dengan mata yang membola sempurna untuk mengajarkan nininya agar tidak sedih berlarut-larut.Renan mengurut leher belakangnya karena sakit dan pegal. Sudah lebih dari 30 menit ibunya menangis tersedu-sedu. Di tangan Renan sendiri ada sebuah foto album. Disana, ada foto Renan dan Raihan saat masih seumuran Vano sekarang. Jelas saja, foto abang Raihannya yang masih kecil persis dan tidak ada bedanya dengan putra bungsu Rania yang ada dipelukan ibunya.Jika orang lain melihat, maka mereka membenarkan ba
Bragh! Haru menghentam ujung sepatunya ke hidung Rania, membuat hidung Rania menjadi mengeluarkan darah. Rania merintih kesakitan, bahkan dia sudah bersujud di bawah sana, bersujud di depan Haru. Ada rasa pedih pada rongga hidungnya yang tidak dapat dibendung sekarang. Haru berjongkok dan menjambak rambut Rania ke belakang. "Apa kau dendam padaku? Karena aku telah mengambil jantung ibumu?" Mendengar kalimat yang dilontarkan pria paruh baya tersebut, membuat Rania menggelengkan kepalanya. "T-tidak ... a-aku kesi-" "Ayah?" panggil Raihan yang datang bersama Jihan ke tempat sewaan ayahnya. Mereka datang dengan pakaian yang rapi dan tentu saling berpegangan tangan. Harusnya, hari ini Jihan dan Raihan akan melakukan makan malam bersama Haru Atmadja dan ayah Jihan. Namun, tadi ayah Raihan menemukan Rania dan mengajaknya bertemu, setelah itu menyeret wanita itu ke tempat sewaan yang ayah Raihan sewa untuk makan malam nantinya. Tapi, siapa sangka