Share

05. Semua gara-gara Rania?

Raihan mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Vano. Tepat saat itu, getaran hangat menjalar begitu saja menyelimuti hati Raihan, entah mengapa senyaman itu.

"Maafkan Paman, ya. Paman tidak bermaksud jahat pada Ano waktu itu."

Vano melebarkan senyumannya. "Iya, Paman. Kata Buna, Paman waktu itu cedang banak pikilan."

Raihan tersenyum mendengar balasan anak itu. Rania mengajarkannya dengan sangat baik.

"Mau ikut Paman membeli jajanan?" tawarnya dengan reflek begitu saja. Bukankah Vano anak yang lucu dan sangat menggemaskan? Siapa pun pasti akan dengan suka rela mengajaknya membeli jajan.

"Apa boyeh?"

"Tentu, boleh. Ayo ...." Raihan menyodorkan telapak tangannya, membuat Vano menaruh tangannya di telapak tangan Raihan. Lagi, euphoria itu muncul. Bahkan, Raihan ingin mencium pipi anak laki-laki itu dan menggendongnya.

Raihan membawa Vano pergi ke kantin untuk membelikan jajanan. Menyisakan Rania yang sejak tadi berdiri di balik pintu utama ruangan staff. Dia memegangi dadanya yang bergemuruh hebat. Niat awal ingin mengajak Vano makan, malah tidak jadi karena seseorang lebih dulu membawa putranya pergi.

"Kuatkan aku, Tuhan ...," lirih Rania sendu.

Semoga kedepannya dia masih mampu bertahan sebelum ia benar-benar siap meninggalkan perusahaan ini dengan uang tabungan yang cukup. Setelah uang tabungannya cukup, Rania berniat akan pergi dan menetap di Bandung bersama David dan Vano.

***

Rapat dimulai dengan dipandu oleh Sobri, penanggung jawab dan penasehat direktur utama perusahaan, istilahnya kaki tangan dari ayah Raihan. Semua berjalan sebagaimana mestinya. Rania juga fokus pada penjelasan dari ketua tim pemasaran yang sedang persentasi. Dia tidak ingin mengecewakan Renan dengan menjadi orang bodoh dan tidak tau apa-apa tentang rapat ini.

"Ran ... matamu sudah hampir copot, berkedip sedikit biar ga juling," ucap Yoga yang berada di samping Rania.

"Kalau ga gini, aku jadi dongo. Mataku rabun, minusku naik ... aku belum mengganti kaca mataku."

"Kapan kau akan menggantinya?"

"Harusnya bulan ini aku berniat mengganti kaca mata. Namun, David dan Vano ingin beli robot apa itu aku lupa namanya ... katanya limited edition. Jadi, aku tunda lagi beli kaca matanya sampai bulan depan."

"Ya Tuhan Ran, aku jadi pengen jadi anakmu. Biar diutamain beli mainan dari pada kebutuhan sendiri."

Rania terkekeh kecil. "Haha. Aku sekarang hidup hanya untuk membahagiakan David dan Vano. Selebihnya, aku tidak tertarik, yang penting anak-anakku bahagia."

Yoga yang terkesan, reflek merangkul Rania. Rekan kerjanya itu memang pantas menjadi role model untuk wanita karir di luar sana. Hidup dan bekerja demi anak.

Raihan melihat ke arah keduanya, dia menatap intens Rania yang sedang terkekeh dengan Yoga.

"Cih! Bahkan dia masih bisa terkekeh di saat ibuku di rumah menderita karena ulahnya," gumamnya dengan manik mata tajam yang mematikan.

***

Kediaman Atmadja sore itu sedang tidak baik-baik saja, terjadi keributan yang cukup membuat atensi orang-orang disekitarnya bisa terganggu jika terdengar di telinga mereka.

Hani dan Haru terus saling beradu mulut di dalam kamar utama mereka dan Hani yang sangat membenci tatapan suaminya itu, Haru.

"Kau laki-laki jahat yang pernah aku temui, Haru!" teriak ibu Raihan, Hani. Wanita itu menatap nyalang kepada sang suaminya yang berada dihadapannya. Sungguh, Hani sangat ingin mencabik-cabik wajah suaminya itu. Dia merasa hidupnya semakin kelam karena perilaku buruk Haru yang dengan sengaja telah merusak kebahagian seseorang.

"Tidak usah meneriakiku, kau cukup duduk enteng menikmati masa tuamu, itu saja," balas ayah Raihan, Haru. Laki-laki yang menginjak usia lebih dari setengah abad itu tidak mau kalah dari istrinya dan dia menganggap dirinya benar saat ini.

"Kau menyakiti hatiku! Kau membuatku tertekan selama masa hidupku! Tolong jangan begini! Aku lelah!" Hani menyerakkan buku-buku Haru yang berada di atas meja kerjanya. Membiarkan berserakan di lantai bersama perkakas kecil lainnya termasuk gelas teh yang ada di atas meja tersebut.

"Yang kulakukan sudah benar, Hani! Jangan campuri urusanku lagi! Kau nikmati saja harta dan kemewahan ini! Pergi berbelanja bersama teman-temanmu itu, apa uang yang selalu kuberikan itu tidak cukup untukmu?" Haru berdiri dari duduknya sambil memijit batang hidung. Dirinya juga dilanda rasa pusing di bagian kepala karena terus meladeni kemarahan istrinya tersebut.

"Aku tidak hidup tenang selama ini! Jangan terus menyakiti hatiku dengan kelakuanmu itu! Aku tidak butuh uangmu! Yang kubutuhkan saat ini adalah kebajikan dan hati nuranimu yang menghitam itu. Aku mohon ... jangan ambil kebahagianku ...." Hani pun terduduk di lantai dengan lemah, rasanya dia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan suaminya. Jari-jemarinya ia kepal begitu kuat sambil memukuli dadanya yang begitu sesak, dia ingin semua berakhir tanpa ada satu pun yang tersakiti.

"Yang kulakukan sudah benar, wanita itu menghancurkan kita, Hani."

"K-kau ... putraku h-hancur."

"Dia bahagia. Putra kita bahagia bersama Jihan. Apa kau tidak lihat itu?"

Hani menggeleng, tidak menyetujui ucapan suaminya. Setelah itu, Hani tidak sadarkan diri tiba-tiba karena kelelahan saat menangis histeris tadi. Tubuhnya rentan jika dia sudah kelelahan atau pun tertekan.

Haru mendekat dan mengangkat Hani keluar kamar. "Sudah ku katakan, kau pikirkan kehidupanmu saja, jangan mencampuri masalah yang lain," bisik Haru di telinga istrinya, lalu bergerak mengayunkan kakinya menaruh Hani di atas tempat tidur.

Dalam setengah sadar Hani bergumam sendu, tangannya juga meraba-raba seprai kasur. "Rania .... R-rania ... j-jangan ambil k-kebahagianku ... Rania."

Mendengarnya, membuat Haru mengabaikan begitu saja. Dia menarik selimut Hani sampai ke atas dada. Setelah itu, Haru melenggang pergi dari hadapan Hani dan memilih ke luar rumah untuk duduk di teras taman belakang. Membiarkan dirinya menghirup udara segar dan bisa berpikir lebih jernih lagi untuk tidak tersulut emosi dan melampiaskan pada istrinya yang mudah tertekan dan jatuh sakit.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status