Share

Bab 4 Kapan Kita Menikah?

Ada yang muncul tiba-tiba, sosok yang berusaha membawanya keluar dari semesta yang selalu malam.

.

"Aku jahat kan, Mas?"

Wanita itu terus meracau dengan tatapan kosong dan berkaca. Senja seperti kehilangan dirinya. Seperti bukan Senja. Fais yang merasa khawatir, tanpa berpikir panjang langsung meraih wanita itu dalam pelukan. 

"Hei, tidak Senja. Bukan begitu maksudku. Maaf, aku salah bicara. Kamu ibu yang sangat baik untuk Danish."

"Lalu, kenapa Mas Fais menuduhku menghancurkan kebahagiaan Danish? Kenapa?!" 

Bersamaan dengan isakan yang mulai tumpah, tangan mungil Senja memukul-mukul dada bidang lelaki itu. Sebagai pengganti tetiap kata, sebagai bentuk penjelasan, bahwa Senja bukan ibu seperti yang Fais tuduhkan. 

"Aku tidak seperti itu," tekan Senja dengan suara yang terdengar parau. 

"Tentu saja. Maaf. Sungguh aku tidak bermaksud menuduhmu seperti itu. Aku hanya tidak tahan melihatmu dan Danish jadi sasaran kemarahan Gibran setiap hari. Bukannya aku ingin menghancurkan rumah tangga kalian, tapi lihatlah Danish, Senja. Lihatlah dirimu sendiri? Tidak ada gunanya bertahan dengan orang yang tidak pernah bisa menghargai kita sedikitpun. 

Tadi, aku mendengar semuanya, aku mendengar saat Danish bilang ingin pergi jauh dari Ayahnya. Bukan hanya aku, siapapun pasti akan terluka mendengar ratapan anak secekil itu. Pikirkan baik-baik sebelum semuanya terlambat, sebelum mental Danish hancur melihat kelakuan ayahnya. Buktikan pada Gibran, kalau kamu bisa hidup dengan baik tanpa laki-laki itu. Please, Senja," Fais berkata lembut, berharap jalan pikirannya sampai kepada Senja. 

Usapan tangan Fais di kepalanya yang berlapis hijab, membuat Senja tersentak. Dan langsung melepaskan diri dari laki-laki itu. 

"Maaf," lirih Senja yang tampak salah tingkah. Setelah tersadar bahwa; kesalahan yang baru saja terjadi, Senjalah yang memulainya. 

"It's okay. Aku juga minta maaf." Fais menaangkupkan tangan di dada sebelum berbalik dan berjalan ke ruangan Danish. Meninggalkan Senja di koridor rumah sakit.

Namun, langkah Fais seketika terhenti, saat suara dari arah belakang, tertangkap oleh telinganya. 

"Mas."

Laki-laki dalam balutan kemeja itu menoleh dengan alis tertaut. 

"Benarkah, aku bisa melakukannya? Aku bisa memberi yang terbaik untuk Danish?" tanya Senja dalam jarak beberapa meter. 

Pertanyaan yang membuat Fais kembali mendekat. Keraguan yang selama ini berkelindan dalam kepala Senja harus dihempaskan. Agar Danish tak lagi menjadi korban. Begitu pikirnya. 

"Tentu saja. Kamu ibu yang hebat dan Danish anak yang pintar. Aku yakin kamu pasti bisa menjalaninya ,Senja. Kalau kamu butuh apa-apa, katakan saja! Aku pasti akan membantu semampuku. Jangan kecewakan Danish kali ini, aku sangat menyayanginya." 

Fais berkata dengan sorot mata penuh kepastian. Yang sampai ke hati Senja. Tatapan yang membuat wanita lembut itu menemukan kepercayaan diri. Bahwa ada ataupun tidaknya Gibran, tidak berpengaruh sama sekali dalam kehidupan yang ia dan putranya jalani. Bahkan mungkin, ketiadaan adalah lebih baik. 

"Terima kasih banyak, Mas. Terima kasih."

"Sama-sama. Tetap semangat. Aku ke ruangan Danish dulu, ya." 

"Eum, tunggu, Mas. Ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan," kata Senja ragu-ragu.

"Apa itu?" 

"Aku tidak masalah Mas dekat sama Danish. Tapi, tolong jangan terlalu memanjakannya. Aku takut dia akan ketergantungan nantinya." 

Sekilas, Fais memicingkan mata. Permintaan Senja terdengar tidak masuk akal. Namun, Fais memilih mengalah, berdebat dengan wanita bukan pilihan yang tepat. Mereka punya banyak cara untuk menempatkan laki-laki dalam posisi yang sulit. Menurutnya. 

"Baiklah. Kalau itu maumu. Tapi, jangan larang aku untuk menjemput kalian besok. Besok weekend, aku tidak bekerja."

"Tapi ...."

"Kamu takut akan menimbulkan fitnah, kan? Tenang saja. Serahkan semuanya padaku." 

.

"Terima kasih. Kau selalu hafal seleraku," ucap Gibran setelah menyesap kopi buatan Natasya. 

"Tentu saja. Orang yang mencintaimu hafal dengan baik semua hal yang berhubungan denganmu. Termasuk wajahmu yang terlihat kusut hari ini. Apa wanita itu mengganggumu," balas Natasya dengan suara menggoda.

"Eum, dia dan anaknya pergi entah ke mana. Bahkan ponselnya tidak bisa dihubungi. Membuatku pusing saja. Kamu tahu, tadi aku sampai kena tegur atasan karena tidak fokus bekerja gara-gara memikirkan mereka," gerutu Gibran dengan gigi mengerat. 

Gibran sangat jengkel mengingat bagaimana Pak Mahru, ketua divisi pemasaran, memarahinya di depan rekan-rekan tim lain, karena tertangkap basah hanya duduk melamun tanpa mengerjakan apa-apa. Bahkan layar monitornya dalam kondisi belum dinyalakan. 

Dan, kejengkelan Gibran semakin naik level, saat menyadari Fais menatap ke arahnya dengan seringai sinis. Seolah berkata 'syukurin.' 

Entah kebetulan atau bukan. Selain bertetangga dan bekerja di perusahaan yang sama. Fais dan Gibran juga tergabung dalam divisi yang sama. Sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja, dan mulai merenggang saat Fais mulai sering menasehati Gibran karena tidak tahan lagi dengan sikapnya pada Senja dan Danish. 

Menurut Gibran, laki-laki itu terlalu lancang untuk ukuran seorang teman. 

"Ya ampun, kasian banget sih, kamu. Harusnya kamu nggak usah mikirin mereka. Lagian untuk apa memikirkan orang yang sudah menempatkanmu dalam masalah," bujuk Natasya sembari mengusap lengan suami Senja. 

"Aku hanya bingung, ke mana mereka pergi? Udah nggak ngasih kabar. Nyusahin aja! Argh!" 

"Tenang, Sayang. Kan, ada aku di sini. Lagian buat apa kamu pikirin mereka. Bukannya kamu suka mereka pergi? Apa kamu mulai mencintai istrimu kembali? Ingat, Sayang, dia udah berkhianat, dia ketahuan udah nggak perawan saat malam pertama kalian." 

Mendengar ucapan Natasya, Gibran kembali memanas. Kejadian waktu itu, telah membuatnya membenci Senja dan tidak sudi mengakui Danish sebagai anak.

"Bukan begitu. Aku hanya tidak mau kalau ibu panti tempat Senja tinggal sampe tahu bagaimana sikapku pada Senja. Aku tidak ingin di cap buruk, soalnya dulu aku sering ke sana," jelas Gibran panjang lebar. 

Dan penyebab laki-laki itu tidak pernah lagi berkunjung ke panti adalah Natasya. Tempat pelariannya setelah mendapati Senja tidak bisa membuktikan diri belum ternoda. 

Menurut Gibran, Senja telah berbohong, dan ia harus membalasnnya. Dan hubungan terlarang yang dibenarkan atas nama Senja, masih awet sampai sekarang, meski Gibran belum memberi jawaban atas permintaan kekasihnya. 'Kapan kita menikah? Kapan kau ceraikan istrimu?' 

"Eum, yaudah. Sekarang bisakah kau lupakan semuanya dan fokus padaku saja?" tanya Natasya dengan suara mendayu, sembari menahan Gibran untuk tetap menatapnya.

"Gibran, menginaplah seperti semalam. Aku rindu." 

"Tentu saja. Selama ini, aku selalu di sini, kan?"

Dan peristiwa seperti semalam kembali terulang. Seperti saat Senja berlari ke rumah Fais untuk meminta tolong. 

.

Pukul sepuluh pagi, Fais sudah siap dengan penampilan kasualnya untuk menepati janji dengan Danish. Menjemput bocah kecil itu ke rumah sakit.

"Nanti aku beli apa, ya untuk Danish?" monolog Fais sembari memutar-mutar kunci mobil di tangannya.

Sebelum pergi, laki-laki sempat melirik ke rumah sebelah, yang tampak tidak berpenghuni. Mobil Gibran juga tidak terparkir di sana. 

"Memang sampah." 

.

"Assalamualaikum jagoan, Ayah datang!" 

Suara seseorang memberi salam membuat Danish menoleh sembari tersenyum lebar. "Waalaikumsalam. Ayah Fais!"

Sementara Senja yang baru keluar dari kamar mandi tampak kaget mendapati Fais bersama seseorang. 

"Mas Fais, Bu ...."

"Biar tidak menimbulkan fitnah." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status