Pernah ada yang menunggu kepulangan. Dan itu hanya terjadi di masa lalu. Sebab di masa sekarang, ia bukan lagi milikmu. Pada hakikatnya, senja memang tak bisa kau nikmati setiap waktu kau mau.
Sementara Senja yang baru keluar dari kamar mandi tampak kaget mendapati Fais bersama seseorang.
"Mas Fais, Bu ...."
"Biar tidak menimbulkan fitnah," ujar Fais tersenyum. Saat melihat Senja yang terkejut dengan keberadaan Bu Maria.
"Senja, ya ampun, Nak!"
Bu Maria berjalan mendekat ke arah wanita cantik yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Sementara Fais, memilih mendekat ke ranjang Danish. Bermaksud memberi ruang pada dua wanita beda generasi itu untuk bercerita. Mungkin.
"Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa sama, Ibu? Ibu pikir kalian ke mana, udah dua hari kamu sama Danish tidak kelihatan.Untung tadi Fais ke rumah kasih tahu Ibu, kalau kalian di rumah sakit," ujar Bu Maria sembari memeluk Senja.
Jelas sekali rasa khawatir di wajah wanita paruh baya itu.
"Iya, Bu. Maaf, aku nggak sempat bilang ke Ibu kemarin. Soalnya, Danish demamnya tinggi banget, aku cuma ingat minta tolong Mas Fais ,untuk bawa Danish ke rumah sakit, karena Mas Fais punya mobil."
Senja menuntun Bu Maria ke sofa yang terletak di sudut ruangan. Lumayan jarak dengan ranjang Danish.
"Ya Tuhan. Tapi, sekarang Danish udah sembuh, kan,? Gibrannya nggak pulang, lagi?" tanya Bu Maria dengan pandangan beralih ke arah bocah kecil yang tampak sedang asik berbicara dengan Fais.
Hati siapapun akan menghangat, melihat interaksi keduanya. Tak terkecuali Bu Maria, tetangga depan rumah Senja. Wanita paruh baya itu tahu dengan baik, serumit apa rumah tangga yang Senja bina bersama Gibran.
"Nggak, Bu. Kalaupun Mas Gibran ada, aku nggak yakin dia bakal mau bawa Danish ke rumah sakit," jawab Senja datar. Tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. Seperti tak lagi berharap, seperti sudah menyerah dengan rasa.
Beda jauh, dengan saat-saat Senja menangis pada Bu Maria, ketika tidak tahan dengan sikap suaminya yang selalu menabur luka. Hari ini, Bu Maria melihat ada yang beda. Raut wajah yang masih terlihat teduh itu, tak lagi menunjukkan tatapan mengiba.
"Sabar ya, Nak. Ibu yakin kamu kuat, Senja. Allah mengujimu dengan cara seperti ini, karena kamu mampu. Kamu ibu yang hebat," seru Bu Maria sembari menggenggam tangan ibu satu anak itu.
"Iya, Bu. Makasih ya Bu, udah baik banget sama aku dan Danish." Senja tersenyum tulus.
"Kamu tidak perlu berlebihan seperti itu. Selama ini, ibu udah anggap kalian seperti anak dan cucu ibu sendiri."
Selama ini, ibunda dari bocah tampan bernama lengkap Muhammad Danish Akbar itu tidak pernah lupa, akan kebaikan Bu Maria untuk dirinya dan sang putra. Baginya, Bu Maria sudah seperti pengganti ibu panti, yang sejak kecil Senja kenal sebagai orangtuanya. Ya, Senja tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan, tanpa mengenal siapa yang seharusnya dipanggil Ayah dan Bunda. Tanpa tahu siapa sanak saudara.
Bagi Senja, panti adalah rumah ternyaman. Karena wanita cantik itu tak pernah tahu, rumah yang sebenarnya, seperti apa hangatnya. Hingga pada suatu hari, Gibran datang dengan sejuta janji dan meminta Senja untuk dijadikan istri. Katanya, di rumah mereka nanti, hanya ada rindu dan cinta sampai mereka mati. Begitu.
"Lihat deh, Sayang. Ayah Fais bawain apa buat Danish?" Fais menyerah sesuatu di tangannya untuk Danish. Dan itu tidak luput dari pandangan Senja dan Bu Maria. Saat Bunda Danish ingin memberi penjelasan, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Bu Maria meletakkan telunjuk di bibirnya. "Fais sudah menjelaskan semuanya."
Selanjutnya, Bu Maria dan Senja kembali larut untuk menikmati pemandangan manis di depannya. Dalam keadaan sama-sama menahan sesak di dada.
"Apa ini yah?" tanya Danish yang penasaran dengan isi kotak yang sudah berada di pangkuannya.
"Hadiah dari Ayah, karena Danish udah bisa pulang dari rumah sakit. Tapi, bukanya nanti aja, ya, waktu udah sampe rumah." Fais mengacak rambut bocah kecil itu gemas.
"Baik, Ayah. Makasih ya, Yah. Danish sayang Ayah!" ujar Danish tulus.
Kini, baru anak berusia lima tahun itu sadari, memiliki seorang ayah yang hangat, jauh lebih manis dari yang diekspektasikan selama ini.
"Sama-sama. Ayah juga sayang sama Danish. Sini peluk dulu." Fais yang semula duduk di kursi, kini sudah berpindah ke atas ranjang untuk bisa menjangkau si kecil Danish ... yang malang.
'Benar kata teman-teman, punya Ayah yang baik itu asik. Danish juga pengen bisa seperti ini setiap hari," batin Danish sembari mengeratkan pelukan.
"Eum, kok bau acem, sih?"
"Masa sih, Yah?"
"Iya, bau acem. Hehe. Sini peluk lagi."
"Andai ayah kandungnya bisa seperti itu?" ucap Bu Maria tanpa sadar.
"Mas Gibran bahkan tidak mengakuinya sebagai anak, Bu. Dia selalu marah saat Danish memangilnya 'Ayah'."
Bu Maria kembali menggenggam tangan Senja. "Ibu benar-benar tidak menyangka, suamimu bisa punya pikiran sesempit itu tentang kesucian seorang wanita. Sudah cukup kamu berkorban untuknya, Senja. Sekarang saatnya kamu pikirkan diri sendiri dan Danish. Percuma menjadi payung untuk orang yang menyukai hujan, percuma jadi cahaya untuk orang yang memuja kegelapan. Seberapapun keras usahamu untuk membawanya kembali seperti dulu, tidak akan berhasil. Gibran sudah terlalu jauh meninggalkan kalian."
"Ibu benar. Aku mulai lelah menghadapi watak Mas Gibran. Apalagi Danish, selama ini dia sangat tersiksa dengan kelakuan Ayahnya. Mas Gibran sudah tidak peduli dengan kami, Bu. Aku bahkan curiga, selama ini Mas Gibran punya wanita lain di luar sana."
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Nak? Ingat, Nak, jika sudah tak ada yang patut dipertahankan, maka melangkah pergi tak akan menmbuatmu menyesal. Ibu akan mendukung apapun keputusanmu. Kamu tidak sendirian, Senja."
"Terima kasih, Bu. Aku sangat bersyukur masih Allah bersamai dengan orang-orang baik seperti Ibu dan Mas Fais." Sebelum melanjutkan kalimatnya, Senja menatap Bu Maria dan punggung tegap itu secara bergantian, "beberapa hari ini aku sudah memutuskan untuk memulai hidup baru hanya berdua dengan Danish, Bu."
"Ibu sangat setuju untuk itu, Nak. Tapi, kalimat 'hanya berdua dengan Danish' sepertinya harus dikoreksi lagi. Meski pernah gagal, jangan tutup hatimu untuk seseorang yang mungkin kamu temui di masa depan, tentunya yang bisa menyayangi Danish layaknya anak kandung. Jangan lupa, sebaik apapun kamu merawat Danish, anak itu tetap butuh figur seorang ayah," terang Bu Maria yang membuat Senja terlihat salah tingkah.
Sementara beberapa meter dari tempat mereka berada. Danish masih tampak bersemangat berceloteh dengan Fais.
"Yah, sebenarnya ada mau Danish omongin. Tapi, Ayah janji jangan marah ya?" tanya bocah itu ragu-ragu.
"Emangnya, Danish mau ngomong apa?" Fais memicingkan mata.
"Ayah nggak bakalan marah, kan?" ulang Danish sekali lagi. Mimik wajahnya seperti sedang ketakukan. Tapi ... gemas.
"Iya, Sayang. Ayah janji nggak bakalan marah. Kan sebentar lagi Danish udah bisa pulang, Ayah senang dong, bukannya marah," bujuk Fais sambil tersenyum.
"Eum ... Yah, tangan spiderman-nya patah." Danish mengambil robot spiderman yang sudah copot sebelah lengannya di bawah bantal, dan memperlihatkannya pada Fais.
"Mana, sini coba Ayah lihat."
"Ini bukan patah loh, Sayang, tapi, lepas. Bentar ya, ayah pasangin," Fais sembari memasangkan kembali lengan robot itu.
Cukup sepele sebenarnya, tapi tatapan Danish menyiratkan penuh kekaguman. Itu yang menghangatkan.
"Nah, jadi, kan!" seru Fais sembari menyerahkan robot di tangannya pada Danish.
"Horee! Spiderman-nya punya tangan lagi. Ayah hebat, deh. Kalau lepas lagi, nanti bisa dipasang lagi kan, Yah?"
"Bisa dong. Kan, ini robot bongkar pasang."
.
Tiba di rumah, Fais segera keluar dari mobil dan menggendong Danish yang tadi duduk di sebelahnya. Sementara, Senja dan Bu Maria duduk di kursi belakang.
"Kok rumahnya sepi ya, Nak?" tanya Bu Maria pada Senja yang baru keluar dari mobil.
"Iya, Bu. Sepertinya Mas Gibran tidak pulang tadi malam. Sebentar, aku cari kuncinya dulu."
Senja segera membuka tas selempangnya untuk mencari kunci cadangan. Bersamaan dengan kedatangan sebuah mobil SUV berwarna hitam dan berhenti tepat di depan mereka.
"Senja, Danish!"
Gibran yang baru keluar dari mobil, menatap orang-orang yang berdiri di depan rumahnya dengan tatapan yang tidak bisa dijabarkan.
Jika cinta pertama selalu menyakiti, maka ketulusan cinta terakhir akan datang di kemudian hari. Dari tempat singgah itu, kau hanya perlu keberanian untuk melangkah pergi.."Senja, Danish!"Gibran yang baru keluar dari mobil, menatap orang-orang yang berdiri di depan rumahnya dengan tatapan yang tidak bisa dijabarkan.Sementara Danish yang tadinya anteng, kini malah mengaitkan tangannya ke leher Fais. Menatap tidak suka, pada laki-laki yang melotot ke arah bundanya. Jenis tatapan yang biasa balita itu lihat setiap hari. Pemandangan yang tidak menyenangkan sama sekali.Laki-laki yang sudah lima tahun lebih menjadi suami Senja, mulai berjalan mendekat mengikis jarak."Dari mana saja, kamu, hah? Bagus ya, pergi nggak bilang-bilang. Eh, ternyata pulangnya bareng laki-laki lain!" sergah Gibran setelah berdiri tepat di hadapan mereka."Lo lagi, bini ora
Tak ada yang sanggup berlama-lama dengan luka yang tercipta tanpa anestesi.."Oh, ini toh orang yang ninggalin noda lipstick di baju suami orang!""Sok-sok an nuduh istrinya selingkuh. Padahal, dia sendiri yang ketahuan main perempuan.""Iih, jahat banget sih, jadi lakik! Istrinya sibuk rawat anak di rumah sakit. Dia malah sibuk selingkuh. Pake fitnah Senja, lagi."Mendengar cemohan orang-orang yang masih setia bergerombol di depan rumahnya. Gibran merasa hampir gila. Dalam hati, laki-laki itu merutuki Natasya yang nekat menyusul ke rumahnya segala."Heh, Gibran. Harusnya kamu itu berterima kasih sama Fais, yang udah mau bantu bawain anak kamu ke rumah sakit, di saat bapaknya sendiri sibuk bermaksiat.""Eh, tau nggak sih, Ibu-ibu. Biasanya orang yang selingkuh, kalau sampe zina bakalan terkena penyakit kelamin. Ih, amit-amit, deh. Kalau aku jadi Senja, sih, u
Bu Maria segera berlari ke arah Danish, dan membawanya masuk untuk melihat Senja. Disusul, Fais."Ya Allah, Senja! Kenapa kamu sampai seperti ini, Nak?!" pekik wanita paruh baya itu panik, kala mendapati Senja terbaring di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di samping jendela."Senja," panggil Fais mendekat dan berjongkok di samping Bu Maria. Sementara si kecil Danish, adalah yang paling takut di antara mereka."Bundaa ...! Bangun, Bunda. Huhuhu!""Senja, bangun, Nak." Bu Maria menyentuh pipi dan tangan Senja. Telapak tangan mungilnya terasa basah oleh keringat. Dingin.'Mungkinkah, Senja mendengar semuanya?' batin Bu Maria."Bu, ayo kita pindahin dulu ke sofa!""Iya. Awas dulu, Sayang." Wanita paruh baya segera menarik Danish menjauh, agar Fais bisa mengangkat Senja.&
Melihat tingkahmu, membuatku mendadak ingin menjadi orang tua.~Fais.Tok. Tok. Tok."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam! Sebentar!"Fais yang masih berada di belakang, berjalan dengan sedikit tergesa ke pintu utama, setelah mendengar ada yang memberi salam."Danish? Tumben ke sini, malam-malam?" tanya Fais yang baru menyembul dari balik pintu.Bagaimanapun, laki-laki dalam balutan kaos polos dan bawahan jogger pants itu sedikit kaget mendapati bocah yang kini berdiri di depan pintu rumahnya dengan sebuah buku bersampul gambar di tangan."Jadi, nggak boleh ya, Yah?" tanya Danish polos.Tergambar sedikit kekecewaan. Mungkin, tak pernah mendapat penolakan dari laki-laki yang dipanggil Ayah itu sebelumnya. Bukan penolakan, sebenarnya, hanya pemahaman si kecil Danish masih terlalu polos saja. Sebab ayah kandung selalu merespon dengan penolakan atas usahanya. Ketika ... mencari perha
"Hah?" "Mas Fais, ngomong apa barusan?" sambung Senja bertanya bingung, karena ucapan laki-laki itu tidak terdengar jelas olehnya. "Eum, itu maksudnya.. Danish mau aku taro di mana? Berat. Hehe." Fais menyengir sembari mengusap tengkuknya yang tiba-tiba meremang sepersekian detik yang lalu. "Oh, iya, Mas taro aja di sofa. Nanti biar aku yang pindahin ke kamar," tutur Senja sedikit menjauh dari pintu. Memberi ruang untuk Fais membawa putranya ke sofa panjang di ruang tamu. Setelah meletakkan Danish dengan hati-hati, Fais menoleh ke arah seseorang yang berdiri tidak jauh di sana. Bermaksud pamit untuk pulang, namun, lagi-lagi malah melumpuhkan tatapannya. Mirat mata keduanya terkunci dalam keheningan dan keterdiaman. Keterasingan seolah mulai sirna. Seketika pendengaran keduanya tak berfungsi dengan benar. Riuh suara jarum jam yang berd
Dalam ruangan bercat putih susu, seorang lelaki terduduk diam di lantai, sembari menyandarkan punggung ke dinding. Menatap kosong ke depan dengan iris yang meredup.Fais merasa tidak nyaman dengan dadanya sekarang, seperti sesak, saat ucapan yang keluar dari mulut Bu Maria beberapa waktu yang lalu kembali terngiang. Danish telah pergi bersama bundanya, tanpa pamit, tanpa salam perpisahan. Tanpa laki-laki itu ketahui ke mana tujuan mereka.Pikirkan pemilik tubuh kekar itu mulai bercabang seiring dengan estimasi-estimasi aneh yang mulai bermunculan.'Tidakkah aku sedikit berarti sebagai tetangga baginya.''Aku dianggap seperti orang asing.''Tidak bisakah, dia membiarkanku mengucap salam perpisahan pada Danish.''Kenapa harus sekejam itu.Atau,'Bolehkah jika aku merasa kesal? Aku bukan siapa-siapa. Pa
"Permisi." Sebuah suara membuat kalimat Senja terpotong."Mas?" Wanita itu menoleh ke arah pintu masuk dengan tatapan tidak percaya."Ayah?""Ayah Fais?!" ulang Danish girang. "Ayah kenapa ada di sini?" Bocah itu masih sibuk berceloteh di saat dua orang dewasa saling menatap tidak percaya satu sama lain.Senja membatu di balik meja, sementara Fais berdiri di seberang dengan mulut terkunci rapat."Ayah? Kok Danish dicuekin?""Eh?" Suara bocah di samping Senja akhirnya memecahkan lamunan mereka. "Danish bilang apa, Sayang? Maaf, barusan Ayah nggak denger.""Ayah mah gitu," timpal Danish dengan bibir monyong."Ih, lucu banget sih, anak Ayah kalau lagi ngambek." Fais mencoba menggoda agar anak kecil itu terkecoh, dan marahnya mereda. Namun, raut wajah mungil itu tak juga kembali ke mode s
Benar, rasa memang harus terungkap dalam bentuk kata-kata. Namun, tak juga mesti tergesa-gesa.."Kau ... menceramahiku?" Kini Senja telah berbalik dengan mata membeliak ke arah Fais."Tidak. Aku hanya sedikit belajar mengomel darimu."Laki-laki berbola mata coklat terang itu menaikkan sebelah alisnya, dan itu berhasil membuat Senja mengepalkan tangan mungilnya.Melihat wanita yang biasanya tampak lembut nan penuh keanggunan kini lebih garang dari raja rimba, Fais berusaha keras agar tawanya tak pecah. Selain lucu, ia sedikit merinding jika harus terjebak dalam suasana yang lebih horor dari sekarang."Mengomel?" tanya wanita yang pipinya sudah semerah jambu itu dengan suara tertahan.Tatapan yang masih menembus ke dalam iris coklat terang milik laki-laki jangkung di hadapannya, begitu tajam menghantam. Bersiap mengobrak abrik isi