Share

Bab 5 Orang-orang Baik

Pernah ada yang menunggu kepulangan. Dan itu hanya terjadi di masa lalu. Sebab di masa sekarang, ia bukan lagi milikmu. Pada hakikatnya, senja memang tak bisa kau nikmati setiap waktu kau mau. 

Sementara Senja yang baru keluar dari kamar mandi tampak kaget mendapati Fais bersama seseorang. 

"Mas Fais, Bu ...."

"Biar tidak menimbulkan fitnah," ujar Fais tersenyum. Saat melihat Senja yang terkejut dengan keberadaan Bu Maria.

"Senja, ya ampun, Nak!"

Bu Maria berjalan mendekat ke arah wanita cantik yang sudah dianggap seperti anak sendiri. Sementara Fais, memilih mendekat ke ranjang Danish. Bermaksud memberi ruang pada dua wanita beda generasi itu untuk bercerita. Mungkin.

"Kenapa kamu nggak ngomong apa-apa sama, Ibu? Ibu pikir kalian ke mana, udah dua hari kamu sama Danish tidak kelihatan.Untung tadi Fais ke rumah kasih tahu Ibu, kalau kalian di rumah sakit," ujar Bu Maria sembari memeluk Senja. 

Jelas sekali rasa khawatir di wajah wanita paruh baya itu.

"Iya, Bu. Maaf, aku nggak sempat bilang ke Ibu kemarin. Soalnya, Danish demamnya tinggi banget, aku cuma ingat minta tolong Mas Fais ,untuk bawa Danish ke rumah sakit, karena Mas Fais punya mobil."

Senja menuntun Bu Maria ke sofa yang terletak di sudut ruangan. Lumayan jarak dengan ranjang Danish. 

"Ya Tuhan. Tapi, sekarang Danish udah sembuh, kan,? Gibrannya nggak pulang, lagi?" tanya Bu Maria dengan pandangan beralih ke arah bocah kecil yang tampak sedang asik berbicara dengan Fais. 

Hati siapapun akan menghangat, melihat interaksi keduanya. Tak terkecuali Bu Maria, tetangga depan rumah Senja. Wanita paruh baya itu tahu dengan baik, serumit apa rumah tangga yang Senja bina bersama Gibran. 

"Nggak, Bu. Kalaupun Mas Gibran ada, aku nggak yakin dia bakal mau bawa Danish ke rumah sakit," jawab Senja datar. Tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa. Seperti tak lagi berharap, seperti sudah menyerah dengan rasa.

Beda jauh, dengan saat-saat Senja menangis pada Bu Maria, ketika tidak tahan dengan sikap suaminya yang selalu menabur luka. Hari ini, Bu Maria melihat ada yang beda. Raut wajah yang masih terlihat teduh itu, tak lagi menunjukkan tatapan mengiba.

"Sabar ya, Nak. Ibu yakin kamu kuat, Senja. Allah mengujimu dengan cara seperti ini, karena kamu mampu. Kamu ibu yang hebat," seru Bu Maria sembari menggenggam tangan ibu satu anak itu.  

"Iya, Bu. Makasih ya Bu, udah baik banget sama aku dan Danish." Senja tersenyum tulus. 

"Kamu tidak perlu berlebihan seperti itu. Selama ini, ibu udah anggap kalian seperti anak dan cucu ibu sendiri."

Selama ini, ibunda dari bocah tampan bernama lengkap Muhammad Danish Akbar itu tidak pernah lupa, akan kebaikan Bu Maria untuk dirinya dan sang putra. Baginya, Bu Maria sudah seperti pengganti ibu panti, yang sejak kecil Senja kenal sebagai orangtuanya. Ya, Senja tumbuh dan besar di sebuah panti asuhan, tanpa mengenal siapa yang seharusnya dipanggil Ayah dan Bunda. Tanpa tahu siapa sanak saudara. 

Bagi Senja, panti adalah rumah ternyaman. Karena wanita cantik itu tak pernah tahu, rumah yang sebenarnya, seperti apa hangatnya. Hingga pada suatu hari, Gibran datang dengan sejuta janji dan meminta Senja untuk dijadikan istri. Katanya, di rumah mereka nanti, hanya ada rindu dan cinta sampai mereka mati. Begitu.

"Lihat deh, Sayang. Ayah Fais bawain apa buat Danish?" Fais menyerah sesuatu di tangannya untuk Danish. Dan itu tidak luput dari pandangan Senja dan Bu Maria. Saat Bunda Danish ingin memberi penjelasan, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Bu Maria meletakkan telunjuk di bibirnya. "Fais sudah menjelaskan semuanya." 

Selanjutnya, Bu Maria dan Senja kembali larut untuk menikmati pemandangan manis di depannya. Dalam keadaan sama-sama menahan sesak di dada. 

"Apa ini yah?" tanya Danish yang penasaran dengan isi kotak yang sudah berada di pangkuannya.

"Hadiah dari Ayah, karena Danish udah bisa pulang dari rumah sakit. Tapi, bukanya nanti aja, ya, waktu udah sampe rumah." Fais mengacak rambut bocah kecil itu gemas. 

"Baik, Ayah. Makasih ya, Yah. Danish sayang Ayah!" ujar Danish tulus. 

Kini, baru anak berusia lima tahun itu sadari, memiliki seorang ayah yang hangat, jauh lebih manis dari yang diekspektasikan selama ini. 

"Sama-sama. Ayah juga sayang sama Danish. Sini peluk dulu." Fais yang semula duduk di kursi, kini sudah berpindah ke atas ranjang untuk bisa menjangkau si kecil Danish ... yang malang. 

'Benar kata teman-teman, punya Ayah yang baik itu asik. Danish juga pengen bisa seperti ini setiap hari," batin Danish sembari mengeratkan pelukan.

"Eum, kok bau acem, sih?"

"Masa sih, Yah?" 

"Iya, bau acem. Hehe. Sini peluk lagi." 

"Andai ayah kandungnya bisa seperti itu?" ucap Bu Maria tanpa sadar. 

"Mas Gibran bahkan tidak mengakuinya sebagai anak, Bu. Dia selalu marah saat Danish memangilnya 'Ayah'."

Bu Maria kembali menggenggam tangan Senja. "Ibu benar-benar tidak menyangka, suamimu bisa punya pikiran sesempit itu tentang kesucian seorang wanita. Sudah cukup kamu berkorban untuknya, Senja. Sekarang saatnya kamu pikirkan diri sendiri dan Danish. Percuma menjadi payung untuk orang yang menyukai hujan, percuma jadi cahaya untuk orang yang memuja kegelapan. Seberapapun keras usahamu untuk membawanya kembali seperti dulu, tidak akan berhasil. Gibran sudah terlalu jauh meninggalkan kalian."

"Ibu benar. Aku mulai lelah menghadapi watak Mas Gibran. Apalagi Danish, selama ini dia sangat tersiksa dengan kelakuan Ayahnya. Mas Gibran sudah tidak peduli dengan kami, Bu. Aku bahkan curiga, selama ini Mas Gibran punya wanita lain di luar sana."

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Nak? Ingat, Nak, jika sudah tak ada yang patut dipertahankan, maka melangkah pergi tak akan menmbuatmu menyesal. Ibu akan mendukung apapun keputusanmu. Kamu tidak sendirian, Senja."

"Terima kasih, Bu. Aku sangat bersyukur masih Allah bersamai dengan orang-orang baik seperti Ibu dan Mas Fais." Sebelum melanjutkan kalimatnya, Senja menatap Bu Maria dan punggung tegap itu secara bergantian, "beberapa hari ini aku sudah memutuskan untuk memulai hidup baru hanya berdua dengan Danish, Bu."

"Ibu sangat setuju untuk itu, Nak. Tapi, kalimat 'hanya berdua dengan Danish' sepertinya harus dikoreksi lagi. Meski pernah gagal, jangan tutup hatimu untuk seseorang yang mungkin kamu temui di masa depan, tentunya yang bisa menyayangi Danish layaknya anak kandung. Jangan lupa, sebaik apapun kamu merawat Danish, anak itu tetap butuh figur seorang ayah," terang Bu Maria yang membuat Senja terlihat salah tingkah. 

Sementara beberapa meter dari tempat mereka berada. Danish masih tampak bersemangat berceloteh dengan Fais. 

"Yah, sebenarnya ada mau Danish omongin. Tapi, Ayah janji jangan marah ya?" tanya bocah itu ragu-ragu.

"Emangnya, Danish mau ngomong apa?" Fais memicingkan mata.

"Ayah nggak bakalan marah, kan?" ulang Danish sekali lagi. Mimik wajahnya seperti sedang ketakukan. Tapi ... gemas. 

"Iya, Sayang. Ayah janji nggak bakalan marah. Kan sebentar lagi Danish udah bisa pulang, Ayah senang dong, bukannya marah," bujuk Fais sambil tersenyum.

"Eum ... Yah, tangan spiderman-nya patah." Danish mengambil robot spiderman yang sudah copot sebelah lengannya di bawah bantal, dan memperlihatkannya pada Fais. 

"Mana, sini coba Ayah lihat."

"Ini bukan patah loh, Sayang, tapi, lepas. Bentar ya, ayah pasangin," Fais sembari memasangkan kembali lengan robot itu. 

Cukup sepele sebenarnya, tapi tatapan Danish menyiratkan penuh kekaguman. Itu yang menghangatkan. 

"Nah, jadi, kan!" seru Fais sembari menyerahkan robot di tangannya pada Danish. 

"Horee! Spiderman-nya punya tangan lagi. Ayah hebat, deh. Kalau lepas lagi, nanti bisa dipasang lagi kan, Yah?"

"Bisa dong. Kan, ini robot bongkar pasang." 

.

Tiba di rumah, Fais segera keluar dari mobil dan menggendong Danish yang tadi duduk di sebelahnya. Sementara, Senja dan Bu Maria duduk di kursi belakang. 

"Kok rumahnya sepi ya, Nak?" tanya Bu Maria pada Senja yang baru keluar dari mobil. 

"Iya, Bu. Sepertinya Mas Gibran tidak pulang tadi malam. Sebentar, aku cari kuncinya dulu." 

Senja segera membuka tas selempangnya untuk mencari kunci cadangan. Bersamaan dengan kedatangan sebuah mobil SUV berwarna hitam dan berhenti tepat di depan mereka.  

"Senja, Danish!" 

Gibran yang baru keluar dari mobil, menatap orang-orang yang berdiri di depan rumahnya dengan tatapan yang tidak bisa dijabarkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status