Tikta dengan segera keluar dari kamar ketika sambungan telepon baru saja dimatikan.Dia sedang tertidur ketika ponselnya berbunyi. Ini hari rabu dan dia baru saja tidur lepas tengah malam karena Ragnala sedikit rewel. Ketika dia mengangkat telepon itu, Nina juga ikut terbangun karena mendadak dari baby monitor jeritan tangis Ragnala terdengar.Begitu Tikta menoleh padanya, Nina tahu ada yang tidak beres.Dia beranjak menuju kamar Ragnala, mengambil bayinya dan Tikta membereskan pakaian seadanya.“Aku ikut..” Kata Nina, Tikta melirik ke arah Ragnala yang masih terisak dalam dekapan istrinya.“Kamu disini aja dulu ya, aku lihat dulu keadaan bapak. Nanti aku kabari.”Tikta melesat pergi keluar apartemen.Ibunya baru saja menelepon karena mendapat kabar dari Rumah Sakit kalau ayahnya mengalami serangan jantung secara mendadak. Tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi, dokter meminta persetujuan RJP kepada ibunya, wanita paruh baya itu tengah bersiap pergi ke Rumah Sakit ketika dia menel
Pemakaman berlangsung dengan tertib, Tikta mencoba menguatkan dirinya untuk tidak jatuh menangis ketika peti mati ayahnya masuk ke liang lahat. Dari ujung matanya dia bisa melihat saudara-saudara ayahnya menangis namun dia tahu ini adalah perkara waktu mereka menginginkan jabatan yang kini sedang dia jabat.Bagaimanapun, dia belum secara resmi ditetapkan sebagai penerus perusahaan. Akan banyak sekali rapat yang akan dilakukan untuk menggulingkannya dari kursi yang sekarang tengah dia duduki.Tikta bertemu dengan beberapa petinggi perusahaannya, mereka mengucapkan belasungkawa padanya. Beberapa menyemangatinya, beberapa acuh dan lebih memilih menyapa om atau bibinya.Dari sana sudah terlihat jelas bagaimana dia akan berakhir.Tikta menatap foto ayahnya yang terpasang begitu besar di ruang keluarga. Foto keluarga ketika dia masih SMP sedangkan di sudut kanan ada foto keluarga mereka.Sebulan lalu ketika dia terakhir datang ke rumah ini, ayahnya meminta ibunya menyewa fotografer. Dia ing
Mata Nina terus mengikuti kemana Tikta pergi, ciuman hangat dan panas itu berhenti ketika tangan Tikta sudah mulai masuk ke bawah bajunya. Tangan besar itu tengah menggerayangi buah dadanya saat Ragnala menangis dengan kencang.Tikta seperti kembali pada sadarnya, meminta Nina menenangkan Ragnala sementara dia pergi keluar ruang kerja ayahnya.Sekarang mereka tengah berada di ruang keluarga, adik-adik dari ayahnya ingin berbicara dan Tikta duduk agak jauh darinya.Ragnala bersama pengasuhnya di kamar Tikta, bayi itu masih tertidur.“Om bicara mengenai hal ini bukan tidak menghargai bapakmu Ta, karena momennya sedang pas. Semuanya sedang kumpul.” Suara salah satu adik dari ayah Tikta terdengar, Nina mengalihkan pandangannya, berusaha mengikuti arah obrolan mereka.Di ruangan itu selain om dan tante Tikta, para menantu dan juga anak-anak mereka berada disana. Mereka seperti hyena yang mengintai mangsa untuk segera dihabiskan.“Tapi bapak baru saja dikuburkan beberapa jam lalu.” Kata Tik
Ragnala merengek di tengah malam, Nina terbangun, matanya masih terasa perih dan tubuhnya terasa kaku. Dia membuka matanya perlahan dan mendapati Tikta tengah berdiri, menggendong Ragnala dalam dekapannya dan memberikan bayi itu susu di botol.Tikta tidak mengenakan baju, hanya mengenakan celana boxer selutut, dadanya terbuka lebar dan terlihat begitu lapang serta seksi.Wajah Nina memerah, mengingat apa yang baru saja terjadi.Mereka melakukan hubungan intim, sesuatu yang tidak pernah dia pikirkan sebelumnya akan terjadi. Apakah itu tandanya perasaannya bersambut pada pria itu?“Ah, giginya tumbuh lagi? Aga sudah mau delapan bulan, jam segini kebangun gak enak ya? Gusinya sakit?” Kini suara Tikta terdengar, berbicara dengan bayinya yang mulai menceracau dengan bahasa yang tidak dimengerti.“Jangan lupa sendawanya..” Ucap Nina, tersenyum lebar sambil duduk diatas kasur, tubuh telanjangnya dibalut oleh selimut.“Nah, ibu bangun tuh.” Tikta mendekat ke arah Nina, duduk di samping wanita
Remo membereskan semua pemberkasan kematian suaminya ditemani oleh Erika, semua yang berhubungan dengan rumah lama sudah dia pisahkan dan dia bersiap pindah. Seminggu telah berlalu semenjak kematian suaminya, dia berusaha mengumpulkan sisa akhir tenaganya untuk menata kehidupan baru.Tidak mudah melakukannya, namun waktu tetap berjalan meskipun dirimu sudah ditinggalkan.Dia baru saja masuk ke lobi Rumah Sakit dan disambut oleh beberapa orang petugas yang hari ini bertugas membantunya membereskan berkas-berkas.“Ada beberapa barang yang tertinggal di bawah kasur pak Ega, bu..” Salah satu petugas membawakan satu box tidak terlalu besar dan menyerahkannya pada Erika. Remo hanya mengangguk.“Berkas ini sudah keseluruhan ya?”Petugas itu mengangguk dan kemudian menjelaskan lagi pada Remo apa saja yang harus ditanda tangani dan diselesaikan.Remo melakukannya tanpa banyak bicara, perasaannya masih begitu campur aduk. Ada benarnya, pasangan kita setelah menikah adalah bagian dari diri kita
Tikta mendatangi kediaman ibunya dengan tergesa, dia sudah mendengar sedikit kilasannya dari Erika di telepon. Dia harus memastikannya sendiri, dia harus melihat apa yang ibunya miliki.Erika memberikan sinyal padanya ketika dia baru sampai ke rumah, memberitahu kalau ibunya ada di kamar.Pria itu membuka pintu kamar, mendapati ibunya tengah tertidur diatas kasur. Bahunya masih berguncang dengan kencang, dia menangis.“Bu..” Panggilnya pelan, dia mendekat dan ibunya menengadahkan kepala, memeluknya dengan kencang sambil menangis.“Ta, Tikta astaga!” Dia menangis dengan kencang, tubuhnya bergetar.Tikta tidak mau percaya dengan apa yang dia dengar di telepon. Namun, ketika ibunya menyerahkan amplop, dia tahu kalau hal itu benar terjadi.“Ibu yakin Gata yang mengirimkan atau memberikannya pada bapakmu!” Pekik ibunya.Mata Tikta bergetar, dia tidak mampu berkata apapun melihat isi amplop tersebut. Entah kenapa perutnya terasa mual dan ada kemarahan yang terasa dari dalam dadanya. Semuany
Nina menatap pria yang kini duduk di dalam apartemennya, pria itu bertubuh cukup tinggi dengan bahu yang begitu lebar. Wajahnya terlihat tampan, bibirnya juga seksi, pria itu begitu tampan.Dia menanyakan Tikta ketika datang dan bertanya apakah bisa menunggunya di dalam. Nina tidak bisa menolak, dia takut orang tersebut adalah kenalan Tikta.“Minumnya..” Ucap Nina, menyajikan segelas teh hangat pada pria itu yang kemudian tersenyum lebar.Pria itu melirik ke arah belakang punggung Nina, Ragnala tengah duduk di kursi naik turun miliknya. Bermain dengan mainan yang menggantung.“Wah, putra Tikta sudah besar rupanya.” Ujarnya dengan suara ceria yang terkesan dibuat-buat, Nina menoleh ke arah Ragnala dan tersenyum.“Usianya baru masuk sembilan bulan.”“Oh ya? Sehat sekali nampaknya.” Gata berkata, menaruh cangkirnya ke meja setelah menyesapnya sedikit.Nina duduk agak jauh dari Gata dan mengangguk, “Puji Tuhan sehat, kemarin agak rewel karena giginya tumbuh.”“Tapi…Wajahnya tidak mirip Ti
Bagi Nina, kebersamaannya dengan Tikta sekarang sudah lebih dari cukup. Dia tidak berpikir hubungannya akan bertahan selamanya meskipun pada akhirnya Tikta mau menyambutnya dalam pelukan, bercinta berkali-kali sampai Nina merasa kalau perasaan mereka sama.Tidak mengapa jika perasaan keduanya tidak satu tujuan, yang penting bagi Nina saat ini adalah yang terbaik.Semuanya terasa biasa saja, meskipun hatinya masih takut kalau benar adanya Tikta hanya menjadikannya sebagai pelampiasan karena kepergian ayahnya.Pikirannya mengenai tunangan Tikta yang masih menghubungi pria itu dan keinginan pria itu untuk kembali pada si tunangan setelah bercerai dari Nina membuat wanita itu kehilangan kepercayaan diri. Dia harus tahu tempatnya di keluarga Sahasika, tapi kadang hatinya tidak mampu untuk menahannya.Dia mencintai Tikta.Dia menebak-nebak bagaimana mantan tunangan Tikta sehingga pria itu begitu menginginkannya.“Saya mantan tunangan Tikta, Gata Sambara.” Pria itu mengulurkan tangannya, mat