Nina menatap ke sekeliling meski dengan susah payah karena kepalanya terasa berat.
Dia berada di sebuah kamar Hotel?
Nina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kebingungan. Namun, itu tak berlangsung lama.
Tiba-tiba dia tersentak kala pandangannya teralih pada tubuhnya sendiri. “Astaga!”
Nina syok sekali. Tubuhnya tidak ditutupi sehelai benangpun, dia tidur dengan telanjang bulat.
Wanita itu gemetaran. Dia menelan ludah dengan tergesa karena tiba-tiba tenggorokannya begitu kering, dia haus.
Berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin malam.
Ada banyak sekali pakaian berserakan....Merinding, dia buru-buru mencari selimut dan mengabaikan selangkangannya yang pedih.
Ditutupnya badannya yang kecil dengan segera, lalu berjalan keluar dari kamar ketika matanya bertemu dengan sosok asing di depannya.
Sama dengan dirinya, sosok itu juga tidak mengenakan pakaian apapun, berbalut selimut. Keduanya saling tatap, ada hening panjang sebelum akhirnya teriakan terkejut keluar dari mulut keduanya.
“AAAAAAAAAAAAAH!!!”
Dan sebuah cairan mengalir turun dari selangkangan wanita itu.
©©©
16 jam sebelumnya.
Telepon Nina tidak berhenti berdering semenjak dia mematikan alarmnya sepuluh menit lalu. Maksud hati ingin tidur lebih lama dengan mematikan alarm, naas teleponnya kini berdering, berteriak tanpa henti meminta untuk segera diangkat.
Dengan malas dia menekan tombol hijau tanpa melihat nama yang tertera di layar.
“Ya, pagi.” Suaranya yang lembut itu terdengar begitu manja di pagi hari.
“GIANINA EKAWIRA!!!!! INI SUDAH JAM 10!” Berkebalikan dengan suaranya yang lembut dan manja di pagi hari, wanita di ujung telepon tidak sependapat. Suaranya begitu lantang dan kencang, nyaris membuat wanita bernama Nina ini terkejut setengah mati bahkan sebelum seluruh nyawanya berkumpul setelah bangun dari tidur.
Dia terperanjat bangun, duduk diatas kasur.
“ASTAGA JUL!” Dia ikut memekik, mencari jam diatas nakas. Dengan segera langsung turun dari kasur dan pergi ke kamar mandi, meninggalkan ponselnya diatas kasur.
“Nin! Nina! Astaga! Lo baru bangun tidur?!”
Dalam waktu kurang dari sepuluh menit wanita bertubuh kurus dan tinggi itu segera keluar dari kamar mandi, menyelesaikan sikat gigi, cuci muka dan merapikan rambutnya secara bersamaan. Dengan secepat kilat dia mencari pakaian kerjanya dan segera pergi keluar.
“Sialan ya si Nina! Dia pasti lupa kalau hari ini dia ada janji sama bu Ruspandi!” Julie mengeluh dari dalam kantornya, berteriak-teriak seperti orang gila.
Para karyawan yang berada diluar memperhatikannya, kantornya semi transparan dan tidak kedap suara. Jadi sudah jelas sekali kalau suara ocehan dan sumpah serapahnya terdengar oleh semua.
Untung pagi ini belum ada pelanggan yang datang.
Tapi tentu saja dia marah, pagi ini dia sudah hampir lima puluh kali —tanpa hiperbola— menelepon Nina, sahabatnya yang juga atasannya. Sialnya begitu. Sahabatnya yang terkadang lalai dengan waktu itu adalah atasannya di tempat kerja. Dan tidak ada jawaban! Padahal Nina sudah memiliki janji penting dengan pelanggan VVIP mereka bu Ruspandi yang terkenal dengan on-time person.
“Bu Julie, Bu Ruspandi lima belas menit lagi sampai.” Kumara, asisten pribadi Nina yang juga menjadi ‘penengah’ antara Julie dan Nina datang dengan tergesa ke kantor Julie.
Julie menghela napas, melongok kearah kantor Nina yang bersebelahan dengan kantornya —hanya terpisah oleh pintu geser dari dalam— dan KOSONG.
“Ah! Sialan banget sih! Dia kemarin ada janji apa sih kok sampai begadang?!” Kini amarah Julie dia lampiaskan ke Kumara yang kemudian tergagap menjawab pertanyaannya.
“B..Bu Nina ada pesanan baju pesta untuk pak Fairus. Kemarin malam ibu menelepon saya untuk menjelaskan detail manik yang diinginkan oleh pak Fairus dan jumlahnya untuk saya pesan segera…” Kumara menjawab, meskipun sedikit tergagap dia mampu menjelaskannya pada Julie yang kini mondar mandir resah.
“Masalahnya ini bu Ruspandi loh! Kita dulu udah pernah kena bacot beliau, kita sampai gak bisa handle orderan lain selama tiga bulan dan fokus sama beliau karena beliau banyak sekali protes ini itu yang gak perlu perkara Nina telat satu menit karena ke toilet!” Julie mengoceh lagi, memijat keningnya yang mulai sakit dan berdenyut.
Dia masih mengoceh di dalam ruangan dan Kumara masih di dalam mendampinginya, berusaha mendengarkan ocehan itu meskipun kepala Kumara juga sudah sakit mendengarnya.
“Bu Nina datang!” Salah satu karyawan masuk ke dalam ruangan Julie. Keduanya menoleh dan mendapati wanita itu tengah berbincang dengan bu Ruspandi masuk ke dalam butik sambil tertawa, bercanda, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Nah, ibu masih ingat sama Julie ‘kan? Untuk urusan baju bu Ruspandi, tentu saja saya harus menyerahkannya langsung pada desainer terbaik disini. Julie Candramaya.” Nina berkata dengan gestur tangan santun mengarah kepada Julie yang kini tersenyum lebar di depan bu Ruspandi sambil menunduk kecil.
“Tentu! Saya ingat banget sama bu Julie! Gaun yang dulu dia buat menjadi bahan omongan sampai tiga bulan di setiap arisan yang saya datangi! Luar biasa!” Pekiknya, mendekat kearah Julie dan mengelus punggung wanita itu dan kemudian memeluknya. Tubuh kecil Julie seperti hilang di telan tubuh tambun bu Ruspandi.
Nina kemudian mempersilahkan bu Ruspandi masuk ke dalam ruangan Julie, berbincang mengenai rancangan gaun yang diinginkan oleh wanita tua itu.
Urusannya sudah selesai.
Gianina Ekawira, tiga puluh dua tahun. Pemilik butik EKAWIRA yang sejak lima tahun berdiri berkembang begitu pesat. Dia lulusan universitas London jurusan tata busana. Ya, Nina adalah seorang Fashion Designer dan juga Consultant Fashion di butik ini. Butik yang pelanggannya bukan hanya sekedar pekerja kantoran biasa atau pabrik-pabrik besar, tapi juga pejabat sampai aktor dan aktris.
“Butik lo masuk TV lagi tuh!” Julie masuk ke dalam ruangan Nina ketika wanita itu sedang sibuk dengan berkas dan laptopnya, dia menoleh kearah televisi yang berada di ruangannya, menampilkan gambar-gambar tanpa suara. Nina tidak bisa bekerja jika ada suara sekecil apapun.
“Oh waw.” Dia bersuara, sarkas.
“Gitu ya kalau udah terkenal, sombong banget rasanya masuk TV mulu.” Julie mencibir, duduk di sofa depan meja Nina.
Wanita itu menyingkirkan kacamatanya dan menatap Julie, “Udah dong, jangan ngambek mulu. Yang penting ‘kan bu Ruspandi gak tau kalau gue datangnya telat.” Ujarnya sambil nyengir lebar.
“Lo harus temenin gue dulu malem ini, baru gue mau maafin.” Julie mengerling, memainkan jemarinya.
“Nemenin kemana?”
“Clubbing, gue sama Leo mau ke club mumpung Kiran bisa dijagain sama mertua gue.” Ujar Julie lagi.
“Ah males ah, gue lagi banyak banget pesenan Jul. Nanti si Kumara ngamuk deh tuh gak gue selesein laporan bulan ini.” Nina berkilah, tapi jujur, dia sedang malas untuk pergi berpesta.
Julie mendekat kearah Nina dan kini menggelayut manja di pangkuan sahabatnya itu. “Ayolah, lo gak kasian sama gue yang susah banget buat clubbing doang? Ajakin juga deh Catur biar lo kalo mabok ada yang bawa pulang sekalian Kumara kita ajakin, kasian tuh anak takut kuper. Soalnya Leo juga mau bawa koleganya Nin, nanti gue kayak kambing conge disana!”
Nina mengerenyit, menatap Julie, “Koleganya?”
Wanita itu mengangguk, “Tikta Sahasika sama Gata Sambara.”
Dan yang Nina ingat, dia, Julie, Kumara serta Catur bertemu dengan Leo suami Julie serta Tikta dan Gata di sebuah club malam. Mereka berkenalan, mengobrol, menari, minum sampai tidak ingat apa-apa lagi...?
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda