Share

Part 4

Penulis: Afsana qalbi
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-28 15:38:36

"Keren kamu, Mar. Nyumbang lima ratus ribu loh. Bisa beli paket internet telkomsel lima bulan." puji Tari seraya melirik ke arah Thalita juga teman komplotannya. Mau balas dendam kayaknya ini anak.

 

"Halah...Paling itu hasil nuyul. Benar gak guys?"

 

Nora mencebik ke arahku dan menyisir ke seluruh siswa. Namun, tidak semuanya yang tampak mengiyakan. Mereka hanya memandangiku dan Nora bergantian, lalu kembali pada kegiatannya masing-masing. Aku percaya, sebenarnya tidak semuanya yang ingin memuja-muja Thalita di kelas ini. Namun karena ia anak dari kepala sekolah, ia merasa bangga diri dan suka berbuat semena-mena hingga yang level perekonomiannya di bawah Thalita hanya bisa manut dan  mau tidak mau nimbrung menjadi pengikutnya jika tidak ingin di jauhi.

 

"Sudahlah, Nor. Duit lima ratus ribu gitu aja kok bangga. Itupun belum tentu loh dia benaran ngasih. Kita lihat aja nanti. Mana tahu cuma numpang viral doang. tukas Thalita dan bangkit dari tempat duduknya. Padahal bu Dewi, guru jam ke dua sudah berjalan menuju kemari.

 

"Kemana Thalita?"

 

Sapa bu Dewi ramah saat menyaksikan anak didiknya yang keluar begitu saja padahal beliau baru saja akan masuk kelas.

 

"Beli minum, Bu. Di kelas ini gerah." jawabnya tanpa menoleh sama sekali. Memang minim sekali akhlak Thalita ini. Tapi anehnya semua guru tetap menyayanginya, entah karena ia anak kepala sekolah, atau karena  seperti itu cara mereka mendidik, tidak tahu. Padahal,  tujuan orang bersekolah tinggi-tinggi bukan hanya untuk menerima transferan ilmu kecuali untuk memperbaiki akhlak. Dan itu lebih utama.

 

Pembelajaran berlangsung dengan lancar seperti biasa. Bu Dewi menerangkan pembelajaran kemudian lanjut pada sesi diskusi dan tanya jawab. Semua siswa tampak antusias menyimak pembelajaran, suasana di kelas kali ini rasanya cukup tentram karena Thalita tak kunjung kembali setelah izin keluar satu jam yang lalu. Bu Dewi pun tidak ada mempertanyakannya, mungkin saja ia sudah faham bagaimana karakter muridnya itu yang suka semena-mena. Ayahnya yang menjabat sebagai kepala sekolah, malah dia yang merasa berkuasa.

 

"Kamu yang sabar ya, Mar. Thalita sikapnya emang begitu. Sok berkuasa. Mentang-mentang ayahnya kepala sekolah."

 

Usai kepergian bu Dewi, Afkar mendekatiku yang tengah bersiap keluar kelas karena bel istirahat sudah berbunyi. Melihatnya yang duduk di depan mejaku mau tidak mau aku mengurungkan niat dan menahan Tari agar tidak meninggalkanku dan Afkar berduaan di ruang kelas ini.  Bagaimanapun kami sudah sama-sama baligh. Walau tidak ada perasaan apapun, belum tentu jika yang ke tiga tidak hadir. 

 

Mendengar penuturan Afkar aku hanya manggut-manggut saja. Entah kalimat apa yang harus aku keluarkan untuk menanggapi ucapannya. Jujur, berbicara dengan lawan jenis bagiku sebuah tantangan paling berat setelah aku mencapai masa baligh saat kelas satu SMP tiga tahun yang lalu. Nasehat-nasehat ayah mengenai batasan-batasan pergaulan remaja selalu terngiang dan tidak akan mungkin berani ku langgar.  

 

Ayah tidak pernah mengekangku dalam hal apapun. Beliau hanya akan memberi nasehat dan pilihan. Sebab itu pulalah, rasa cintaku untuk ayah belum mampu terbagi dengan lelaki manapun sampai hari ini.

 

Ayah memang tidak memiliki ijazah pendidikan apa-apa. Dulu, beliau sekolah hanya sampai kelas 6 sd namun tidak sempat ikut ujian karena tidak memiliki uang. Kakek dan nenek hanya bekerja serabutan. Jangankan untuk membayar uang sekolah, untuk makan sekali sehari saja mereka susah. Namun, meski begitu bagiku ayah seorang lelaki luar biasa. Otaknya cerdas, pekerja keras, dan akhlaknya patut di tiru.  

 

Aku bangga menjadi putrinya. Bahkan jikapun beliau tak memiliki banyak harta, beliau tetap menjadi cinta abadi di dalam dada. 

 

"Kalau boleh tahu, kenapa sampai hari ini ayahmu tidak pernah berkunjung ke sekolah ini, Mar? Saat penerimaan rapor saja ayahmu tidak hadir."

 

Tambah Afkar lagi. Namun kali ini ia mulai menyinggung perihal ayah yang mungkin lumayan misterius bagi sebagian orang. Apa yang Afkar katakan memang benar, di saat penerimaan rapor semester ganjil kemaren ayah tidak hadir ke sekolah ini padahal beliau akan maju ke depan untuk menerima piala putrinya yang berhasil mendapatkan juara umum setingkat aliyah. 

 

Saat itu, hanya kakak tertuaku yang bisa hadir untuk menggantikan ayah. Alasannya bukan karena tidak ingin menghadiri kecuali sedang ada urusan penting di luar kecamatan tepat di hari itu. Kalau tidak salah mengurus sertivikasi tanah kaveling yang baru ayah beli. Tidak bisa di tunda karena sudah memberi janji dan tanah itu akan segera di berdirikan bangunan kontrakan petakan di atasnya. 

 

"Maklumlah, Kar. Ayah  cukup sibuk." jawabku seadanya.

 

"Ya... Padahal di ajak keluar dari sawah sesekali bagus loh, Mar. Biar gak suntuk liatin lumpur tiap hari."

 

Aku mengangguk. "Benar juga, sih. Tapi kalau gak kerja gimana dengan nasib kami, Kar." balasku merendah hingga ia pun terlihat bingung. Merendahlah serendah-rendahnya hingga orang-orang kehabisan cara untuk merendahkanmu. Begitu sebuah kata hikmah yang pernah aku baca di salah satu sosial media saat itu.

 

"Semoga rezeki ayahmu Allah perluas ya, Mar." ujarnya akhirnya dan langsung ku aminkan. 

 

"Cieeee...Anak penjual bakso dengan anak penggarap sawah lagi pdkt nih, ye?"

 

Kami bertiga seketika menoleh ke arah pintu kelas. Di sana tampak Talita, Suri, dan Nora tengah mengarahkan ponsel ke arah kami. Sepertinya mereka sedang membuat vidio, dan sasarannya adalah aku dan Afkar. 

 

"Guys....Anak penjual bakso sama  anak tukang garap sawah ini menurut kalian cocok gak sih? Kalau menurutku sih cuoccok banget. Mereka kayak rok sama baju, gak layak jika tidak berpadu. Hi..hi..."

 

Talitha terus berceloteh di depan ponsel mewahnya dengan berjalan perlahan-lahan hingga tubuhnya cukup dekat dengan kami.

 

"Talita, kamu ini apa-apaansih?" 

 

Wajah Afkar tampak memerah. Berusaha merampas ponsel milik Talitha untuk menghentikan aksi gilanya.

 

"Kamu jangan buat ulah lagi deh, Ta. Mentang-mentang anak kepala sekolah kau malah semena-mena begini." imbuh Afkar lagi.

 

"Lah..lah....kok pangerannya ngamukan gini ya guys? Kayaknya dia gak mau deh ngakuin anak tukang garap sawah ini  sebagai pacarnya. Ululu...Kasihaaan...."

 

Thalita mencolek sebelah pipiku dengan matanya yang masih fokus ke layar hp.  Mendekatkan cameranya ke arah wajahku yang mungkin sudah terlihat memerah di sana.

 

Namun, kejadian itu tidak berlangsung lama. Karena di detik berikutnya,

 

 

BRUK!!!

 

 

"AWWW...."

 

 

"Arghh....Afkaaaaaaaarrrr!!"

 

Tubuh Talitha  terjungkal ke lantai dan kepalanya mengenai sudut meja di saat Afkar merampas ponselnya secara paksa. Parahnya lagi, Afkar malah menindih tubuhnya yang masih merebut ponsel dari tangannya.

 

"Yes. Berhasil!"

 

Tari berjingkrak-jingkrak di iringi suara tawanya yang seketika pecah. Sedang aku masih shock melihat keduanya menempel seperti itu apalagi mendengar teriakan Talitha yang memekakkan telinga.

 

"Kamu kenapa, Tar? Ini orang lagi bahaya." omelku. Padahal akupun sedari tadi hanya mematung menyaksikan keduanya.

 

"Nih, aku punya vidio baru di tiktok."

 

Ia merogohkan ponselnya, nampak jelas kejadian Talitha yang memvidiokanku hingga akhirnya terkena karma di dalam sana. Memalukannya lagi, vidio itu langsung mendapatkan like ratusan dan banjir dengan komentar netizen.

 

Wuiih...

 

Sepertinya akan ada vidio viral!

 

 

 

bersambung....

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 45

    "Terima aja, kali bisa ngilangin suntuk." sahut Tari. Mendengarnya, aku kembali berfikir. "Bagaimana kalau dia punya niat buruk?""Masa iya kak Vino kayak gitu?""Yah, namanya juga laki-laki." aku bergidik ngeri mengatakan itu. Pasalnya, akhir-akhir ini sudah cukup banyak para remaja yang punya kelakuan di luar batas. Berprilaku brutal, mengedepankan ego, emosi, dan juga nafsunya. Hingga tak sedikit para wanita yang menjadi korban akibat peegaulan yang tak terjaga.Ku tahu wanita di dalam Islam sangat dijaga kehormatannya, karena dalam Islam wanita dipandang sebagai perhiasan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Sebagai bukti bahwa wanita didalam Islam diwajibkan untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya, secara tidak langsung semua itu menandakan bahwa wanita dalam Islam adalah suatu hal yang berharga.Wanita di dalam Islam memiliki aurat yang harus dijaganya dari orang-orang yang bukan mahramnya. Karena dikhawatirkan bisa mengundang hawa nafsu kaum A

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 44

    "Belajar yang baik. Saya yakin suatu saat nanti kamu bakalan menjadi gadis yang sukses dan mendapatkan jodoh yang terbaik."Pak Askari mengelus kepalaku. Ia tersenyum namun bukan denganku. Ku tahu kalau sebentar lagi ia akan menjadi milik wanita lain, namun salahkah jika perasaan ini masih memiliki sisa cinta untuknya? Di balkon ruang kelas ini, aku dan pak Askari menikmati hembusan angin dengan segelintir cahaya yang menyapa kulit. Tak ada perjanjian awalnya, tiba-tiba setelah bel istirahat berbunyi beliau menemuiku dan mengajakku berbicara empat mata.Satu minggu setelah kepergian ayah, aku baru masuk sekolah hari ini. Itupun bukan karena batin dan fisik kembali kuat namun tuntutan pendidikan yang harus bagaimanapun akan aku kejar. Selain demi menjalani permintaan terakhir ayah, tentunya demi masa depan. Ku harap, akan ada pelangi yang menerpa setelah sekian lama di guyur hujan. Semangat memang mungkin sudah berkurang, tapi bukankah tetap akan sampai walau hanya berjalan terseok-seo

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 43

    [Mar...Kalau sudah pulang sekolah, datang ke rumah sakit, ya. Ayah nanyain kamu dari tadi.]Satu pesan dari ibu di aplikasi hijau membuatku segera menukar seragam sekolah. Sebenarnya belum sampai lima menit aku tiba di rumah, namun sebelum mengganti baju aku lebih dulu menyantap makan siang karena saat di sekolah malas ke kantin. Sekejam itu rupanya jika bermasalah dengan hati. Pantas saja orang-orang bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati.Di rumah ini hanya ada aku dan Bibi. Bang Rofiq memang dari semalam belum juga pulang dari rumah sakit karena tak mau membiarkan ibu di sana sendirian. Sedangkan para pekerja perkebunan yang biasa nginap di sini sudah kembali bekerja. Hari ini adalah hari panen sawit dan coklat yang mana besok pagi harus di antarkan langsung ke pabriknya."Mbak Anjela tadi jam sepuluh pulang loh, Neng. Tahu, kan?"Saat aku memasang kaos kaki baru, bibi mendatangiku. Ia tengah membawa mangkok kecil berisi bibit cabe rawit juga bibit terong kampung."Pulan

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 42

    Usai kedatangan pak Fajri ke rumah sakit, akhirnya pihak polisi memutuskan untuk mengamankan Thalita di penjara. Pak Fajri lah sebenarnya yang ikut mengurus semua permasalahan ini, sedangkan aku masih saja sungkan untuk mengusut lebih jauh karena Thalita anaknya pak Fajri. "Saya ikhlas jika Thalita menerima semua ganjaran atas apa yang sudah ia lakukan. Saya akan ikut mencari keberadaannya agar segera di proses hukum." titah pak Fajri waktu itu."Maaf, Pak. Anggap saja apa yang sudah menimpa kami ini sebagai musibah. Masalah Thalita, sudah kami maafkan." ujar ibu berusaha menenangkan. Tapi, pak Fajri tidak mau menerima kalimat ibu. Katanya, Thalita hanya akan terus-terusan merasa enjoy jika setiap kesalahannya di beri maaf.Dua hari setelah pertemuan itu, akjirnya jejak Thalita bisa kami ketahui. Rupanya, ia berada di rumah kosan bu Meri yang berada tak jauh dari komplek Rizano."Akhirnya musuh terbesarmu minggat juga, Say. Gak sabar melihatmu hidup tenang kayak dulu lagi." ujar Tari

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 41

    "Maaf, Pak. Maryam tidak bisa jika syaratnya harus seperti itu." tukasku dengan bibir bergetar. Dalam hati ini cukup perih mengatakan kalimat itu, namun apa daya? Pendidikanku harus aku utamakan. Seperti Tari bilang, andai pak Askari benar-benar menyukaiku pastilah ia sabar menungguku dan bisa menenangkan mama Renata.Kepala pak Askari seketika mendongak. Matanya tak kalah berkaca-kaca dan siap turun membasahi wajahnya. "Ja-jadi kamu mau mundur?""Jika syaratnya seperti itu, saya mundur. Maaf, Pak."Aku membungkukkan sedikit kepala dengan kedua tangan aku telungkupkan. Lalu, beranjak dari kursi dan mengajak Tari untuk pulang. Percuma berlama-lama berada di sini. Hanya akan menambah goresan di hati yang akan susah di sembuhkan. Aku percaya, jika pak Askari tidaklah akan memilihku di bandingkan mamanya. Karena ia tipe lelaki yang tak bisa membantah keinginan orangtua ataupun kakak-kakaknya selama ini.Dari halaman cave ini, aku masih melihat pak Askari berdiri di samping meja yang sedar

  • Ayahku Tidak Tamat SD   Part 40

    Aku tidak menyangka jika ponsel ini milik Thalita. Ponsel yang dulunya ia bilang hilang karena aku curi. Kini, malah ada di tanganku. Membuat kecurigaan besar jika ialah pelaku kebakaran waktu itu."Kita harus menyelidiki semua ini, Say. Jangan biarkan lagi penjahat seperti Thalita berkeliaran." ujar Tari antusias."Terus kita harus ke kantor polisi sekarang?"Ia mengangguk. Lalu mengajakku berangkat menuju kantor polisi yang ada di pusat kabupaten. Kata Tari, kasus ini akan mudah di selidiki jika kami pergi ke kantor kabupaten. Soalnya di sana ada adik ibunya yang bekerja sebagai polisi daerah.Cukup tiga puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai di halaman kantor. Untungnya, pamannya Tari mudah kami jumpai karena ia tengah berada di lapangan bersama teamnya.Permasalahan ini langsung di adukan oleh Tari seditel mungkin. Tak lupa ia menyerahkan barang bukti yang aku temukan pagi tadi juga membeberkan masalah demi masalah yang selama ini Thalita torehkan."Baiklah. Sekarang ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status