"Papa saya yang cerita. Satu minggu yang lalu beliau membeli tanah sama juragan yang bernama bapak Abidzar Mahavir. Di saat perjumpaan itulah papa saya bertanya banyak hal pada ayahmu, dan katanya dia juga memiliki putri yang bersekolah di sini. Namanya Maryam. Di sekolah ini hanya kamu, kan yang bernama Maryam? Dan setelah saya cari tahu, hanya kamu juga yang memiliki nama ayah seperti juragan tanah itu. Benar, Mar. Saya saja sempat kaget," ceritanya panjang lebar sembari terkagum-kagum.Aku dan Tari hanya manggut-manggut mendengarkan ceritanya. Entah kenapa saat mendengar penuturannya seakan tengah ada udang di balik batu. Kenapa mengajakku bertemu seperti ini setelah tahu siapa ayahku sebenarnya? Dulu, kemana saja? Bahkan melirikku saja mungkin tidak pernah."Ah, iya. Surat ini kamu bawa saja, baca di kelas atau saat berada di rumah saja. Entar malah shock lagi," lanjutnya masih tersenyum ramah.Aku menautkan alis, mencoba menerka-nerka isi dalam amplop ini hingga kak Vino terliha
"Saya berharap, kamu bisa memberikanku jawaban secepatnya, ya Mar. Tidak harus besok, tapi boleh dalam minggu ini supaya kamu juga bisa shalat istikharah." Imbuhnya lagi yang langsung melegakan perasaanku. Setidaknya ia tidak menuntutku memberi jawaban besok pagi, karena akupun tak tahu harus menjawab seperti apa. Namun, suara ketua osis SMA dari bibir pintu membuatku seketika menoleh. Disana, ketua Osis bernama Ihsan itu tengah berdiri di atas kursi yang di belakangnya terdapat para siswa dan beberapa orang guru."Terima...Terima...Terima...!"Ya Tuhan....Rasanya sudah mau pingsan saja di sini. Apalagi di halaman sana tampak bu Dewi, bu Meri dan sebagian besar anak kelas SMA tengah mensupport adegan memalukan ini. Mereka semua terus bersorak-sorak tanpa tahu bagaimana isi hatiku saat ini. Bagaimana mungkin aku menerima kak Vino padahal hatiku saja baru tumbuh dalam mengenal asmara? Jika hati ini jatuh perdana untuknya mungkin tak masalah, namun sayangnya bukan. Bukan dia yang mengen
"Bapak tadi lihat......""Enggak. Cuma karena viral aja," potongnya cepat yang membuatku semakin gugup."Duh, Pak. Maafin Maryam, ya. Semua ini gak seperti yang Bapak dengar dari cerita orang lain, kok.""Kenapa harus minta maaf? Toh hati tidak bisa dipaksakan, bukan?""Sebagaimana hati Bapak yang gak bisa dipaksakan untuk mencintai Maryam?"Ups!Kenapa sampai kelepasan begini. Aduuh!Tanpa pamit aku langsung mengambil langkah seribu, menaiki jenjang menuju lantai dua. Semoga saja perkataanku tadi tidak di dengar pak Askari, jika ia dengar bisa-bisa hancur harga diri.Tari turut berlari mengejar langkahku hingga kini kami berjalan bersisian. Detak jantungku masih jauh di atas normal, aku harus butuh penarikan nafas dalam secara berulang-ulang sebelum memutuskan masuk ke dalam kelas."Ciee....Yang udah mulai jujur dengan perasaan sendiri." ejek Tari merangkul pundakku."Ih...Mana ada. Tadi itu kecoplosan doang, Tar.""Karena kecoplosan itulah, Say. Tanpa sengaja unek-unek di hati tersa
Pak Burhan terlihat kikuk, dan sama sekali tak menjawab pertanyaan pak Askari. Namun, di detik berikutnya beliau meminta izin kepada kami untuk keluar sebentar dengan mengikuti langkah pak Askari yang sudah lebih dulu meninggalkan ruang kelas. Perasaanku jadi tidak enak dibuatnya, masalah kecil seperti ini malah mengakibatkan perpecahan pula di antara dua guru muda itu."Pak Askari tiba di waktu yang tepat," lirih Tari yang membuatku seketika menoleh."Maksudmu?""Aku yang memberitahu pak Askari kalau kamu di omeli sama pak Burhan," ujarnya tanpa merasa berdosa."Ya ampun Tari.....Gimana kalau hubungan mereka sampai renggang?""Salah pak Burhan sih, kenapa memutuskan masalah secara sepihak."Aku mendengkus, kemudian meminta izin pada ketua kelas untuk keluar sebentar. Aku ingin tahu apa yang terjadi di pojok balkon sana, mereka tak sepatutnya ribut hanya karena persoalan siswanya."Aku ikut, Say...." Tari mengejarku."Eh Tari! Gak boleh izin dua orang. Kembali lagi ke kursimu!" panggi
"Maksud saya, Bapak belum bisa menjelaskan pembelajaran dengan baik hingga siswa belum ada yang mengerti," jelas Afkar tegas. Sedangkan kami semua sudah merasa merinding. Takut jika tiba-tiba emosi pak Burhan meledak dan menghukum kami semua."Kalau anda protes, silahkan keluar!"Pak Burhan mengarahkan sebelah tangannya ke ambang pintu yang sedikit terbuka. Wajahnya merah padam, giginya bergeletuk dengan sebelah tangan yang terlihat mengepal."Saya memang harus keluar. Tapi, alangkah baiknya jika Bapaklah dulu yang angkat kaki dari kelas ini. Percuma kami datang jauh-jauh ke sini jika penjelasan bapak hanya untuk diri bapak sendiri.""Kamu yang salah! kenapa tidak belajar duluan di rumah?" protes pak Burhan. "seharusnya, kalian belajar lebih dulu di rumah hingga saat pembelajaran di berikan guru kalian sudah faham.""Jika kami mengandalkan belajar di rumah, untuk apa lagi ada bapak di sini?"Pak Burhan terdiam. Dadanya terlihat naik turun menahan gejolak amarah. Dan detik berikutnya,
Bu Meri terdiam. Begitu pun pak Burhan yang wajahnya sudah merah padam. Afkar sama sekali tak gentar mengomentari pak Burhan di hadapan para guru seperti ini, tak biasanya ia mau berbicara tegas dan mengatakan apa adanya mengenai persoalan guru dalam mengajar. "Anak seperti ini harus di skor, bu Meri. Tidak punya adab sama sekali," tunjuk pak Burhan ke arah Afkar setelah lama terdiam. Beliau memukul meja di hadapannya setelah itu hingga membuat kami semua tersentak dan mengangkat kepala."Tidak bisa seperti itu, pak Burhan. Tidak boleh asal menskor siswa sebelum permasalahan sebenarnya terungkap. Bu Meri, mungkin kita bisa tanya sama siswa yang lain apakah tuduhan Afkar tadi benar. Jika ia memang sengaja berbohong karena ingin memfitnah tentu saja itu salah dan harus kita tindak lanjuti. Namun, jika apa yang ia katakan ternyata benar, mungkin kita bisa mempertimbangkan pak Burhan untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah ini," sambut pak Askari yang langsung di setujui bu Meri."Pak A
"Assalamu'alaikum....."Aku membuka pintu rumah yang memang tak pernah di kunci dari dalam jika siang hari. Mungkin, ibu sudah cukup lama menungguku karena jam di tangan sudah hampir menunjukkan pukul dua."Wa'alaikumussalam...."Loh, ramai sekali? Di atas mejapun banyak makanan. Apa ibu kedatangan tamu?Di ruang tamu ada ibu, ayah, Tari dan orangtuanya, serta dua orang bapak-bapak paruh baya yang tidak aku kenal. Namun, melihat jumlah gelas yang terletak di atas meja tampaknya ada satu orang lagi yang tidak ada di sini. Mungkin saja sudah pulang atau karena tengah ke kamar mandi.Mereka hanya memandangku sekilas dengan senyuman. Terlihat sedikit kikuk dan melanjutkan obrolan. Aneh sekali, ada apa ini?Untuk memudarkan rasa canggung ku putuskan untuk menyalami semuanya, lalu turut duduk di dekat ibu agar bisa nimbrung dalam obrolan mereka."Bu, ada acara apa?" bisikku pada ibu yang sedari tadi senyam-senyum mendengarkan cerita salah satu bapak-bapak. Bapak itu memang terlihat sengaja
"Apa maksudmu menuduh saya seperti itu, Ta? Saya tidak ada mengambil ponselmu. Walaupun kamu anggap saya ini anak orang miskin, tapi saya tidak serendah itu." Aku menghampiri Thalita yang hendak berdiri dari kursinya setelah bel istirahat berbunyi. Tadi, aku sudah menahan emosi agar jangan sampai meledak selagi guru pertama dan ke dua masih berada di dalam kelas. Aku biarkan lirikan cemeeh teman-teman sekelas yang pastinya sudah termakan fitnah Thalita. Thalita ini sudah terlalu kejam, akalnya terlalu licik. Bahkan mau melakukan apa saja agar ia selalu berdiri di urutan pertama. Entah siapa yang mengajarinya bersifat demikian, karena pak Fajri sama sekali tak punya karakter yang sama dengannya."Loh, kok kamu datang ke meja saya langsung marah-marah gitu?" ujarnya sok tak mengerti. Padahal aku yakin, seluruh siswa di yayasan ini sudah mengetahui masalah ini akibat termakan fitnahnya. Hal itu terlihat dari cara mereka memandangku setelah tiba di lingkungan sekolah pagi tadi.Ia menged