Home / Romansa / Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat! / Bab 5. Makan Siang Bersama

Share

Bab 5. Makan Siang Bersama

Author: Lemongrass
last update Last Updated: 2024-10-30 13:53:47

Sementara itu di lantai satu, Rainer masih tidak habis pikir dengan tingkah laku istrinya.

“Bisa-bisanya dia berbuat sesuka hatinya seperti ini!” kesal Rainer kemudian memijat pelipisnya.

“Sejak kapan wanita itu menjadi begitu pemberontak?” gumam Rainer.

Semejak Rainer mengajak Camelia bercerai satu tahun yang lalu dia memang jarang pulang, biasanya dia akan pulang ke apartemen pribadinya dan hanya sesekali datang ke rumah itu. Itu sebabnya dia tidak begitu memperhatikan perubahan Camelia.

Rainer menendang dan memukul ke segala arah untuk menyalurkan emosi, lalu berteriak sekuat tenaga, “Camelia Agatha!”

Ella yang terusik dengan teriakan Rainer berjalan tergopoh-gopoh menghampiri pria itu.

“Ada apa, Mas?”

Dada bidang pria itu masih terlihat naik turun karena luapan emosi yang memuncak, sayangnya dia tidak bisa melampiaskannya pada Camelia. Pantang bagi Rainer menyakiti fisik seorang wanita.

Rainer menoleh ke arah Ella dengan tatapan tajam.

“Cuci pakaian ini sampai bersih!” titah Rainer, seraya mengulurkan tangan memberikan pakaian kotor di tangannya.

Ella menerima pakaian itu dan melihat posisi yang kotor. Tidak terlalu ketara.

“Baik, Mas. Kali ini tidak dibuang, Mas?”

“Simpan di lemari setelah bersih dan rapi.”

“Oh, iya, Mas.”

Ella mengerutkan kening merasa sedikit aneh dengan perubahan majikan laki-lakinya itu. Biasanya Rainer akan membuang pakaian yang terkena noda, tetapi kali ini berbeda.

Sebelum melenggang Rainer kembali memberi perintah pada Ella, “Suruh Camelia masak makanan untuk makan siang.”

“Baik, Mas.”

Rainer menaiki tangga, sebelum masuk ke kamarnya dia melirik ke arah kamar yang ada di sebelah kamarnya.

Camelia memilih untuk merebahkan diri di tempat tidur premium dengan ukuran king size. Netranya menatap ke langit-langit, pikirannya menerawang, tetapi lamunannya harus terhenti saat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

Gadis cantik itu berdecak, memiringkan tubuh lalu menutupi kepalanya dengan bantal, tak ingin mendengar gangguan apapun dari luar, dia mengira jika orang yang sedang mengetuk pintu adalah suaminya.

Ketukan itu tak lagi terdengar, Camelia bangkit dan mengambil ponsel pintarnya.

“Sial! Aku tidak membawa tablet maupun laptop, ini di luar dugaan. Kenapa Rai malah membawaku kemari?” kesal Camelia.

Camelia mengirim pesan pada sahabatnya–Maura, memberitahukan jika dirinya kembali ke rumah Rai. Usai mengirim pesan, gadis itu mulai mengakses pekerjaan yang bisa dia handle melalui ponsel pintarnya. Meski menjadi nyonya muda keluarga konglomerat Camelia tidak pernah terlena dan terus mengasah hobinya.

Tak terasa lebih dari satu jam Camelia berkutat dengan ponselnya, hingga terdengar sebuah ketukan di pintu kamarnya.

“Mbak Lia, ini Bibi.”

Camelia bisa bernapas lega karena yang mengetuk pintu adalah Ella. Dia segera beranjak dan membukakan pintu.

“Ada apa, Bi?” tanya Camelia.

“Mas Rai mengajak Mbak Lia untuk makan siang bersama, dia sudah menunggu di bawah,” jawab wanita paruh baya itu dengan sedikit menggoda.

“Bisa katakan padanya untuk makan lebih dulu, aku belum lapar,” kata Camelia. Dia enggan untuk makan bersama dengan Rainer.

“Ayolah, Mbak. Mungkin ini kesempatan untuk Mbak Lia bisa makan bersama dengan Mas Rai. Siapa tahu kalian bisa dekat.”

“Aku sudah tidak butuh kesempatan, Bi.”

“Ah, dasar anak muda. Malu-malu tapi mau. Ayo, ayo.” Elle menarik pelan tangan Camelia, lalu menutup pintu kamar dan mendorong Camelia untuk turun ke lantai satu.

“Bibi, apa-apaan sih, aku malas bertemu dengannya,” lirih Camelia.

“Sudah, sudah, cepat turun, tidak baik menolak keinginan suami, nanti jatuhnya dosa.”

Camelia mencebikkan bibir dalam kepasrahan, sungguh dia malas sekali harus makan bersama Rainer. Jika hal ini terjadi beberapa minggu yang lalu dia pasti akan bersorak gembira dan berpesta tujuh hari tujuh malam, sebab setelah sekian lama menunggu akhirnya bisa makan berdua bersama Rainer.

Dari kejauhan terlihat wajah Rainer yang tidak bersahabat dengan kedua tangan menyilang di dada.

“Berapa lama lagi aku harus menunggumu?” ketus Rainer.

“Kenapa harus menungguku? Kamu bisa makan lebih dulu,” balas Camelia kemudian menarik kursi tak jauh dari Rainer.

“Siapa suruh kamu duduk di situ?” tegur Rainer. Dengan isyarat dagunya, pria itu menunjuk ke arah kursi yang ada di sampingnya.

Tidak ingin berdebat Camelia pun menurut. Rainer masih setia menatap Camelia dengan tajam.

Camelia dengan santai mengambil makanan untuk dirinya sendiri tanpa peduli pada Rainer yang sejak tadi menatapnya.

Rainer pun berdehem untuk menarik perhatian sang istri.

“Ada apa?” tanya Camelia.

Rainer menatap piringnya yang masih kosong tanpa berbicara sepatah kata pun. Camelia mendengkus lalu mengambil piring itu dan mengisinya dengan nasi.

“Sayur?” Rainer mengangguk.

Camelia mengambil sayur dan juga lauk untuk suaminya.

Rainer memimpin doa sebelum mereka menyantap makanan yang sudah tersedia.

“Dua hari lagi akan ada acara ulang tahun pernikahan Tuan dan Nyonya Adiwangsa. Kamu harus menemaniku untuk menghadiri pesta itu,” ucap Rainer di sela makan mereka.

“Kenapa harus aku? Biasanya kamu akan pergi bersama wanita itu setiap kali ada undangan dan pesta,” balas Camelia tanpa terpengaruh sama sekali dan cenderung tidak peduli.

“Tuan dan Nyonya Adiwangsa orang yang memegang teguh kesetiaan, dia tidak akan tinggal diam jika melihatku datang bukan bersama istriku.”

Camelia berdecak pelan dan berkata dalam hati, “Lagi-lagi karena urusan perusahaan dan pekerjaan.”

Jelas Rainer tidak ingin urusan bisnisnya kacau hanya karena dianggap berselingkuh, terlebih lagi keluarga Adiwangsa memiliki pengaruh penting di dunia bisnis.

“Itu urusanmu, bukan urusanku, jangan mendadak melibatkan aku dalam setiap urusanmu. Lagi pula mereka tidak akan ingat wajahku, jadi lakukan saja seperti biasanya, pergi bersama wanitamu,” balas Carmila dengan santai.

“Kamu itu istriku wajar jika menemani dalam sebuah acara dan kamu harus mulai membiasakan diri,” sentak Rainer.

Camelia tertawa mengejek lalu berkata, “Istri? Sejak kapan aku terlihat sebagai istrimu, Rai? Apa kamu tidak salah bicara?”

“Camelia!”

“Jangan teriak-teriak, aku belum tuli.”

“Aku tidak peduli kamu setuju atau tidak yang jelas kamu harus menemaniku!” tegas Rainer.

Camelia hanya melirik sekilas pada Rai lalu kembali menikmati makanannya.

“Aku sudah selesai makan.” Rai mengusap bibirnya dengan tisu.

“Nanti malam kita akan mencari kado untuk Tuan dan Nyonya Adiwangsa, aku akan menjemputmu. Jangan kemana-mana! Selangkah saja kamu keluar dari rumah ini.” Rainer menggerakkan tangannya ke leher, sebuah isyarat, “Mati kamu!”

“Dasar, tukang maksa,” gumam Camelia.

“Apa kamu bilang?”

“Tidak ada, pergilah!” Camelia mengusir secara halus.

Camelia menatap kepergian Rai dengan tatapan heran. Rai kembali ke kantornya sedangkan Camelia merapikan meja makan.

“Makanannya enak, Mbak?” tanya Ella yang membantu Camelia.

“Enak, Bi. Bibi habis belajar masak menu baru ya?”

Wanita paruh baya itu tersenyum sambil memainkan kedua alisnya naik turun. Camelia mengerutkan kening tidak paham.

“Kenapa, Bi?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 126 Berakhir Bahagia

    Tirai putih menjuntai dari langit-langit, menghiasi aula dengan kemewahan yang menenangkan. Rangkaian bunga mawar putih dan lilin-lilin tinggi menghiasi sisi-sisi jalan menuju altar. Denting piano mengalun lembut, menggiring langkah Levi yang berdiri tegap menanti di ujung sana. Jas hitamnya melekat rapi, dasi kupu-kupu menghiasi lehernya, dan senyum gugup itu tidak bisa bersembunyi meski wajahnya berusaha tampak tenang.Anne melangkah perlahan, gaun putihnya jatuh anggun menyapu lantai, taburan payet menyala lembut. Mata mereka saling mengunci, dan dunia seakan hening, hanya mereka berdua, dan debar yang berkejaran di dada.Suara tawa kecil menyelingi isakan haru, ketika Levi dengan suara sedikit gemetar mengucapkan janji suci. Anne menatapnya, mata yang dulu ragu kini bersinar penuh keyakinan. Ketika mereka saling mengikat janji, tamu-tamu bersorak dan di antara mereka, Camelia mengusap sudut matanya yang basah, sementara Rainer menepuk punggung Levi saat keduanya turun dari altar

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 125 Pertentangan

    Suara kursi yang digeser Clay terdengar tegas. Bocah itu berdiri, menatap ayahnya dengan ekspresi serius yang jarang muncul di wajah polosnya.“Aku nggak setuju, Pi,” ucap Clay langsung pada intinya.Danar mengangkat alis, meletakkan dokumen kerjanya ke samping. “Apa yang kamu maksud?”“Aku nggak setuju punya mama baru, kalau bukan Tante Camelia,” jawab bocah itu, tegas.Wajah Danar melembut, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak sepenuhnya ceria. “Kamu masih suka Tante Camelia karena dia baik, dan karena kamu terbiasa sama dia. Tapi kamu juga harus ingat, Tante Camelia sudah bahagia bersama Om Rainer dan juga Reyaga. Orang lain bisa salah paham jika kamu bicara seenaknya seperti itu,” balas Danar dengan penuh pengertian.Clay memeluk tubuhnya sendiri, menghindari tatapan Danar. “Iya aku tahu tapi aku tidak suka liat Papa dekat dengan perempuan lain.”Danar menghela napas, bangkit dari sofa, lalu berjongkok di depan putranya. “Clay, dengarkan Papi. Papi juga tidak sedang dalam

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 124. Menyatakan Cinta

    Dua insan duduk saling berhadapan. Gelas mocktail dengan irisan jeruk nipis itu diletakkan kembali sebelum isinya menyentuh bibir. Cahaya remang menggantung di antara keduanya, seolah ikut menahan napas. Suasana restoran seharusnya membantu, namun hati Levi justru berdebar semakin kacau. Tangannya terlipat di atas meja, matanya menatap lurus ke arah gadis di hadapannya.“Jadi apa yang ingin kamu bicarakan sampai mengajakku makan malam di tempat seperti ini?” tanya Anne yang mulai tidak sabar karena Levi lebih banyak diam hari ini, berbeda dengan biasanya.Sebelum menjawab pertanyaan itu, Levi menghela panas lalu berdehem.“Kamu pernah suka pada seseorang, tapi takut itu cuma perasaan sepihak?” Ternyata yang keluar dari bibirnya bukanlah jawaban. Melainkan sebuah pertanyaan.Anne membulatkan mata, seolah tidak menduga arah pembicaraan. Jemarinya yang memegang sendok tiba-tiba berhenti. “Kamu sedang bertanya soal aku, atau soal kamu?”Levi menautkan jemarinya di atas meja.“Aku hanya

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 123. Orang Masa Lalu

    Sunyi.Mata Camelia menyapu wajah suaminya. Di dalam pantulan manik kelam itu, ada satu bahasa yang tidak perlu diterjemahkan, cinta yang utuh, dan kebanggaan yang tidak bisa ditutupi.Rainer membalas pandangan itu, ujung bibirnya naik pelan.“Namanya akan kami umumkan saat acara syukuran nanti,” jawab Rainer diiringi dengan senyuman.Levi mengangkat alis.“Nggak asyik. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memanggil namanya.”“Makanya menikah, biar kamu juga bisa merasakan betapa bahagiannya punya junior dan memanggil namanya untuk pertama kali,” balas Rainer.Levi berdecak, tapi tidak menanggapi, daripada dia harus mendengar ucapan Rainer yang menjengkelkan.*Gelak tawa menggema, aroma bunga segar dan makanan rumahan memenuhi udara, berbaur dengan hangatnya percakapan para tamu. Beberapa rekan bisnis Rainer berdiri dengan gelas di tangan, menyelam dalam obrolan santai. Daisy tampak sibuk mempersilakan orang-orang untuk duduk, sementara Anne dengan cekatan menjaga jalannya hidangan.

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 122. Kebahagiaan yang Lengkap

    Di sepanjang perjalanan, tangan Rainer tidak pernah lepas dari Camelia. Jari-jarinya mengusap punggung istrinya, suaranya terus berbisik lembut, meskipun kegelisahan jelas terbaca. Sesampainya di rumah sakit, semuanya terasa seperti kekacauan yang teratur. Rainer pikir Camelia bisa segera melakukan persalinan ternyata mereka harus menunggu karena belum waktunya. “Dokter, apa tidak bisa lebih cepat? Lihatlah istriku sudah sangat kesakitan,” ujar Rainer. Dokter hanya tersenyum, sepanjang dia menjadi dokter, sudah sering melihat suami yang panik seperti itu. Rainer terus menemani Camelia menjalani proses menuju persalinan, seakan-akan ikut merasakan kesakitan yang dialamai istrinya. Setelah lebih dari sepuluh jam berada di rumah sakit, Camelia akhirnya siap untuk melakukan persalinan. Dokter dan perawat sigap membawa Camelia ke ruang bersalin. Rainer tidak peduli pada siapapun selain wanita yang sekarang terbaring di ranjang dengan ekspresi menahan sakit. Dia menggenggam tan

  • Ayo Bercerai, Tuan CEO Terhormat!   Bab 121. Panik dan Mendebarkan

    Rainer tersenyum, melirik istrinya, lalu mengaduk minumannya dengan santai. "Kamu terlalu memikirkan mereka, Sayang. Benar-benar seperti emak-emak yang sedang mencarikan jodoh untuk anaknya," ujar Rainer. "Jelas aku memikirkan mereka! Anne itu orang terdekatku saat ini setelah kamu. Levi orang terdekatmu setelah aku, apalagi dia memohon-mohon cuti pada bosnya yang kejam ini agar bisa berkencan dengan seorang wanita," balas Camelia cepat. "Oh iya, tentang Levi, dia selalu bersikap seolah-olah paling mengerti hubungan, paling berpengalaman, layaknya pakar cinta seperti yang kamu bilang. Tapi sekarang? Kenapa dia malah seperti ini? Bikin aku gregetan," imbuh Camelia. Rainer terkekeh, mengangkat bahu. "Levi selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya. Dia bukan tipe yang terburu-buru. Terlalu banyak berpikir sebelum bertindak, itulah sebabnya dia belum memiliki kekasih padahal usianya sudah kepala tiga." "Ya, tapi kalau terus seperti ini, Anne bisa bosan, bisa-bisa aku jodoh

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status