"Pak Galih, selamat datang kembali. Kayaknya aura bahagianya nular banget nih," kata Rein.
"Syukurlah. Saya memang bahagia karena akhirnya bisa menikah dengan perempuan yang saya cintai,” sahut Galih."Gimana selama saya tinggal kemarin? Apa ada masalah?" tanyanya."Sebenernya nggak ada, Pak. Cuma itu..." Rein tampak ragu untuk meneruskan kalimatnya."Apa?" tanya Galih."Tasya pengen kerja lagi di sini.""Apa dia nggak lagi di Australia?""Katanya bosen, di sana jadi ibu rumah tangga fulltime."Rein menatap Galih sejenak, lalu menambahkan dengan nada hati-hati, “Tasya bilang dia kangen dunia kerja, Pak. Dan katanya, dia cuma mau kerja di tempat yang udah dia anggap rumah. Ya di sini.”Galih mendengus pelan, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerja. “Aku ngerti. Tapi aku juga harus pikirin situasinya sekarang. Banyak hal yang udah berubah sejak dia mutusi"Pak Galih, selamat datang kembali. Kayaknya aura bahagianya nular banget nih," kata Rein."Syukurlah. Saya memang bahagia karena akhirnya bisa menikah dengan perempuan yang saya cintai,” sahut Galih."Gimana selama saya tinggal kemarin? Apa ada masalah?" tanyanya."Sebenernya nggak ada, Pak. Cuma itu..." Rein tampak ragu untuk meneruskan kalimatnya."Apa?" tanya Galih."Tasya pengen kerja lagi di sini.""Apa dia nggak lagi di Australia?""Katanya bosen, di sana jadi ibu rumah tangga fulltime."Rein menatap Galih sejenak, lalu menambahkan dengan nada hati-hati, “Tasya bilang dia kangen dunia kerja, Pak. Dan katanya, dia cuma mau kerja di tempat yang udah dia anggap rumah. Ya di sini.”Galih mendengus pelan, menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerja. “Aku ngerti. Tapi aku juga harus pikirin situasinya sekarang. Banyak hal yang udah berubah sejak dia mutusi
Malam turun dengan gerimis lembut, seperti doa yang jatuh dari langit. Di kamar yang remang dan hangat, Aster berdiri di dekat jendela, membiarkan bayangan lampu kota menari di wajahnya. Galih mendekat perlahan, seolah waktu berhenti hanya untuk menyaksikan dua jiwa yang telah melalui badai. Dan kini, jiwa itu telah menemukan tempat berlabuh.Tatapan mereka saling mengikat, tanpa kata. Hanya detak jantung yang berdetak perlahan namun pasti. Aster menggenggam tangan Galih, matanya berbicara lebih dalam dari ucapan mana pun yang bisa diucap.“Aku milikmu,” bisiknya lirih.Galih tak membalas dengan kata, hanya mengecup dahinya penuh kasih, lalu merangkul tubuh mungil itu dalam pelukannya. Hangat, erat, tak ingin lepas. Jemarinya menyisir rambut Aster perlahan, menenangkan dan menyerap setiap getar yang tersisa.Di bawah cahaya lampu kuning temaram, mereka menyatu. Tidak hanya raga, tetapi juga luka dan cinta, harap dan masa lalu.
Di sore yang tenang setelah mereka kembali dari Jepang, halaman belakang rumah Galih dipenuhi cahaya hangat matahari yang mulai condong ke barat. Jason duduk bersila di atas rumput yang rapi, bermain dengan robot mini yang dibelinya dari liburan ke Jepang.Aster duduk tak jauh darinya di kursi kayu rotan, sambil melipat selimut tipis yang baru dijemur. Angin sepoi-sepoi menyapu lembut helaian rambutnya.Jason menoleh, memandangi Aster beberapa detik sebelum akhirnya bangkit dan duduk di sampingnya. Ia menatap wajah perempuan yang kini resmi menjadi bundanya dengan mata bulat dan harapan penuh.“Bunda…” panggil Jason pelan.Aster menoleh sambil mengelus kepala anak itu. “Ya, sayang?”“Aku mau adik cewek…” katanya dengan polos. “Kata Om Evan aku bisa ngomong ke Bunda langsung. Soalnya katanya kalau aku minta, Bunda pasti kabulin permintaan aku.”Aster tertawa kecil, lalu memeluk Jason dari samping. “Hm… kamu lucu banget sih. Ya, na
Matahari pagi menyambut mereka di tepi Danau Kawaguchi. Kabut tipis masih menggantung di atas permukaan air, menciptakan suasana magis yang seolah datang dari lukisan musim semi. Gunung Fuji berdiri megah di kejauhan, puncaknya diselimuti salju seperti mahkota putih yang abadi.Aster menarik napas dalam-dalam sambil merangkul lengan Galih. "Mas, aku nggak nyangka kita bisa lihat Gunung Fuji yang seindah ini."Galih menatap ke arah puncak gunung, kemudian memandangi istrinya yang sedang tersenyum. "Gunung Fuji memang indah. Tapi senyum kamu lebih indah dari pemandangan mana pun."Aster memukul lengan Galih pelan, “gombal, deh! Lama-lama jadi kayak Jamal.”Galih tertawa. “Ya dia memang aku, kok!”Jason yang sibuk melempar kerikil ke danau menoleh dan berseru, “Papa! Foto aku dong di sini! Aku mau bikin wallpaper buat tablet aku!”Dea tertawa kecil. “Sini, Mama aja yang fotoin. Biar Papa kamu bisa berdu
Aster bersandar di sandaran kepala tempat tidur hotel dengan piyama satin warna krem yang lembut membalut tubuhnya. Lampu kuning hangat di sisi tempat tidur menciptakan bayangan lembut di pipinya. Di tangannya, remote TV masih menyala, tapi pandangannya sesekali mencuri-curi arah Galih yang duduk di sisi ranjang, menatapnya penuh makna.Galih tersenyum simpul. Matanya menari di wajah Aster, seolah sedang menghafalkan setiap detailnya untuk disimpan di sudut terdalam ingatan.“Kasih aku satu ciuman, sayang,” bisik Galih, suaranya rendah dan dalam, penuh nada rayuan.Aster memutar bola matanya sambil tertawa pelan. “Mas, jangan genit, ah! Aku lagi nonton ini...” katanya sambil menunjuk layar TV, padahal pikirannya sudah tak lagi berada di sana.Galih tak menjawab. Ia hanya mencondongkan tubuh, jemarinya menyentuh lembut pipi istrinya. “Kita udah suami istri, sayang. Nggak usah malu,” ucapnya lirih.Lelaki itu berkata lirih, seakan setiap ka
Jason melonjak kegirangan begitu kakinya menginjak lantai pesawat. Tatapan matanya yang berbinar penuh semangat menoleh ke segala arah. Ia tidak bisa menyembunyikan sukacita yang meledak sejak mendengar kabar keberangkatan mereka ke Jepang."Hore... Liburan ke Jepang!" serunya, mengangkat kedua tangannya seperti pemenang undian besar.Di kursi baris tengah kelas bisnis, Aster tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia menyandarkan kepala lembut di bahu Galih, yang duduk di sampingnya. Jari-jari mereka saling bertaut erat di atas sandaran tangan kursi, menciptakan rasa tenang di tengah riuh kabin pesawat yang mulai terisi penumpang.Dea yang duduk berseberangan dengan mereka menoleh sambil melepas sabuk pengaman sebentar untuk berbicara. Wajahnya berseri-seri meskipun belum lama tadi sibuk membantu Jason merapikan isi tas ranselnya."Makasih banyak ya, Mas, udah ngajak aku sama Evan juga," ucapnya tulus, menatap Galih yang hanya