Aster menghapus air matanya dengan tisu. Ia menatap matanya sendiri—mata yang kini terlihat lebih gelap. Lebih dingin.
“Aku nggak akan tinggal diam,” katanya lirih.“Aku bakalan laporkan semuanya. Tapi bukan dengan emosi. Aku akan membalas dengan cara yang bikin dia nggak akan mengulangi perbuatannya di masa depan.”Ketika Aster kembali ke ruangannya, dia menatap ke pintu ruangan Galih yang tertutup. Dia ingin mengetuk, ingin mencari perlindungan… tetapi dia mengurungkan niatnya.Tidak sekarang.Dia akan menyelesaikannya lebih dulu. Dengan bukti. Dengan strategi. Dengan kekuatan yang tak lagi lembut.Dan ketika pintu ruangan Galih terbuka karena pria itu hendak ke luar, pandangan mereka bertemu. Galih menatap mata Aster. Dan lelaki itu tahu—ada badai yang mulai berputar dalam diamnya.Aster bekerja dalam diam, tetapi bukan lagi dalam ketakutan. Sejak sore itu, dia mulai menyusun langkah"Mas, aku takut banget. Setelah kejadian yang menimpa Jason, aku jadi takut kalau dia kemana-mana." Aster menggenggam tangan Galih. "Tenang, Sayang. Aku yakin, kita akan baik-baik saja. Kita hanya perlu hati-hati, tapi juga nggak perlu berlebihan. Ada aku, Sayang." "Mas, kamu nggak ngerti. Aku..." Kalimat Aster tak diteruskan karena Galih membungkam bibirnya dengan ciuman lembut. Aster terkejut, tetapi perlahan menyerah dalam pelukan dan ciuman Galih. Ciuman itu hangat dan menenangkan, seolah mengusir semua ketakutan yang menggerogoti hatinya. Ketika Galih menarik diri, Aster masih memejamkan mata, seolah tak ingin momen itu berakhir. Aster berbisik. "Mas… kamu selalu tahu cara bikin aku tenang." Galih tersenyum lembut. "Karena itu tugasku. Aku di sini buat jagain kamu, Sayang." Aster mengh
Hujan mulai reda ketika Aster dan Galih tiba di rumah Evan. Dea memeluk Aster erat, mencoba menenangkan sahabatnya yang sejak kehilangan jejak Jason belum berhenti menangis. Sementara itu, Evan dan Galih berdiri di ruang kerja kecil milik Evan, memandangi layar laptop yang menampilkan peta pelacakan kendaraan dari sinyal plat nomor.“Aku udah kirim data ke temenku di kepolisian, Mas. Tapi ini butuh waktu. Andre bukan orang sembarangan, Mas Gal,” ujar Evan.Galih mengangguk. “Aku sadar sekarang… kita terlalu menyepelekan dia.”Di Kamar tamu itu, Aster terdiam. Ia duduk di lantai, memandangi selembar foto lama yang ia keluarkan dari dompet kecilnya. Foto masa kecil bersama seorang bocah laki-laki tampan, tersenyum kikuk di depan rumah tua. Bocah itu adalah Andre.Flashback, Belasan Tahun Lalu…Di sebuah dusun kecil, Aster kecil tinggal bersama neneknya setiap libur sekolah. Ia selalu ditemani Andre, tetangga sebelah
Hujan turun pelan, menggores jendela seperti tangan masa lalu yang ingin mengetuk kembali. Di pagi yang sendu itu, Aster membuka kotak surat di pagar rumah mereka dan mendapati sebuah amplop krem tanpa nama pengirim. Tak ada perangko, tak ada stempel. Hanya tertulis: “Untuk Aster.” Tangannya gemetar saat membuka kertas di dalamnya. Aroma samar kapur tulis tercium samar, membangkitkan kenangan kelas-kelas kecil di masa sekolah dasar. “Kamu masih ingat taman kecil di belakang rumah nenekmu? Tempat kita sembunyi saat hujan pertama datang? Aku ingat kamu suka melipat daun jambu jadi perahu. Aku menunggu kamu kembali. Tapi kamu hilang. – R” Aster terdiam. Dunia seperti berhenti sejenak. R. Raka. Andre. Semua teka-teki mulai tersambung. Sementara Itu, di sekolah Jason… Jason melambaikan tangan pada Evan yang menjemputnya lebih awal karena hujan deras. Namun, dari kejauhan, seorang pria bert
Langit sore menggantung kelabu saat Jason menunggu jemputan di depan sekolah. Biasanya Aster atau sopir pribadi yang datang. Namun sore itu, seseorang yang tak dikenal menghampirinya.“Jason?” panggil seorang pria berpakaian rapi, membawa helm motor di tangan.Jason menoleh, mengerutkan dahi. “Iya. Om siapa?”Lelaki itu tersenyum. “Aku Andre. Temen papa kamu.”Jason menatap lelaki itu, heran. “Temen Papa? Kok aku nggak pernah ketemu sama Om?”“Soalnya Om ketemu sama papa kamu udah dua puluh tahun lalu,” katanya.“Terus, kenapa Papa nggak jemput aku dan malah Om yang ke sini?” tanya Jason.“Ya. Papa kamu mendadak meeting, Bunda kamu katanya masih di kantor. Mereka minta aku jemput kamu. Anggap aja kita udah pernah ketemu 'kan waktu di kantor papamu?”Jason mengangguk ragu. “Ya… kayaknya Om bukan orang jahat,” kata Jason.Lelaki itu menyeringai. “Betul. Nggak mungki
Sementara itu, di apartemen lama Dewi, Galih berdiri di depan rak buku lama milik Dewi, menyisir dengan cepat dokumen-dokumen dan kliping foto dari masa SMA. Di salah satu map lusuh, ia menemukan foto berdebu yang membuatnya tercekat.Foto itu diambil saat kegiatan OSIS, tahun 2007. Ada Galih muda yang saat itu masih dikenal dengan nama panggilan Ady. Ia berdiri di barisan paling belakang. Namun, bukan itu yang membuatnya terdiam.Di pojok kanan bawah foto, hampir tak terlihat, ada sosok lain.Andre. Berdiri setengah membelakangi kamera, wajahnya nyaris tertutup rambut panjangnya.Di balik foto itu, tertulis kalimat dengan tinta merah.‘Kenapa kalian semua berpura-pura seolah aku nggak pernah ada?’Di rumah, malam mulai turun. Aster sedang menyisir rambut panjangnya di depan cermin. Saat ia mengangkat pandangan, ia melihat sesuatu di pantulan kaca jendela.Seorang perempuan berdiri di b
Keesokan harinya, Aster menyempatkan diri ke tempat ibunya dirawat dahulu, sebuah rumah sakit tua yang kini beralih fungsi menjadi panti jompo. Ia berbincang dengan seorang perawat senior bernama Bu Sinta. "Maaf, Bu. Dulu... pernah ada pasien laki-laki aneh yang suka mondar-mandir di sekitar ruang rawat Mama saya, nggak?" Bu Sinta mengernyit, lalu berkata, “Kamu anaknya Bu Harni?” tanya Bu Sinta. Aster mengangguk. “Ya Allah... Iya, ada. Dia suka duduk di bangku taman. Diem aja. Nggak pernah bicara. Tapi setiap jam tiga sore, dia nunggu di kursi ujung lorong... Kayak nunggu seseorang keluar dari ruangan.” Aster merasa bulu kuduknya merinding. "Ibu masih inget nggak, siapa namanya?" "Kalau nggak salah... Andre. Andre Soetikno." *** Hujan mengguyur langit kota seperti ingin menyapu bersih jejak-jejak masa lalu yang mulai bangkit dari kuburnya. Aster baru saja tiba di rumah usai mengantarkan Jason ke kelas les Mandarin. Ketika ia membuka pintu pagar, pandangannya langsung