"Udah, biarin. Gak usah dilihat." Satria terus melaju dan semakin dipercepat. Menyisakan Haris yang geram melihat mereka menjauh tanpa mempedulikannya. Lelaki itu hendak menemui Ayra lagi tapi keburu pergi. Dan gagal. Ayra terdiam resah. Takut Haris berpikiran macam-macam. Dan membenarkan lagi tuduhannya selama ini. Ayra jadi menyesali sudah mau naik motor Satria. Seharusnya dia menolak. Satria menyadari Ayra jadi tidak tenang setelah dilihat mantan suaminya itu. Menoleh padanya yang terdiam. "Gak usah dipikirin. Biarin aja." "Nanti Mas Haris menuduh kita macam-macam seperti dulu." "Terpenting kenyataannya tidak seperti itu. Suatu saat semua akan terbongkar kebenarannya." Ayra tidak membalas lagi memilih diam kembali. Masih tidak tenang. Satria memberhentikan motor di depan warung bubur ayam yang baru buka. Ayra lekas turun, memberikan ongkos yang diambil dari tasnya. "Tidak usah. Simpan buat kamu saja." Lelaki itu cepat pergi lagi. Tidak ingin menerimanya. Menjadi tukang ojek h
"Kalian salah paham." Ayra berbicara dengan tenggorokkan serasa tercekat. Tiba-tiba tempatnya didatangi orang-orang ini. Memergokinya bersama Satria. Dilirik lelaki itu, masih melongo atas apa yang didengarnya. Memberi tatapan tajam atas apa yang sudah dia perbuat sampai disangka yang tidak-tidak. "Benar. Kami tidak melakukan apa-apa dan tidak ada hubungan apa-apa." Dia membela diri. Tidak seperti dulu saat di rumah Haris malah mengakui. "Saya hanya membantu Ayra yang lagi sakit." "Alasan. Jelas-jelas tadi kami melihatmu berpelukan." Warga tidak mempercayainya. "Kalian mengaku saja jangan cari-cari alasan," sahut yang lain. "Kita bawa saja ke Pak RT!""Ya, kita bawa lalu nikahkan!"Ayra menggeleng-geleng tidak menyangka semua itu bisa menimpanya. Dia jelas tidak bersalah. Lagi-lagi, semua karna ulah Satria. Seharusnya lelaki itu tidak menemaninya, sampai ikut tidur bersama dan beraninya memeluknya. Dia yang setengah kesadarannya hilang akibat demam tidak begitu menyadari, yang di
Haris sudah rapi bersiap ke kantor. Sudah menyelesaikan sarapan yang disediakan Marni. Sedangkan Tisa tidak terlihat batang hidungnya. "Tisa kok belum pulang sih, Ris? Perempuan hamil besar seharusnya jangan bepergian sendiri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Marni terlihat cemas tapi juga tak suka Tisa lama pergi. Perempuan itu sering bepergian keadaan hamil pun. "Katanya sebentar. Tapi dari kemarin sampai sekarang belum pulang. Kamu telepon coba, Ris. Jangan sering kelayapan. Mana lagi hamil besar." Tanpa menimpali ibunya, Haris segera menghubunginya. Namun Tisa tidak menerima telepon. Tak kunjung diangkat. "Dia tidak bisa dihubungi." "Ya ampun. HPL-nya sudah lewat, harusnya dia hawatir dan harus sudah bedres di rumah." Haris pun merasa kesal. Sudahlah ditinggal Ayra sekarang istri mudanya juga sering tidak ada. "Aku akan menjemputnya sebelum ke kantor." "Bawa pulang dan kamu tegasi dia untuk jangan begitu lagi, Ris." "Baik, Bu." Haris beranjak ke luar rumah diikuti Marni
"Mas Haris?" Ayra membelalak, lantas menoleh pada Satria yang tampak biasa saja. Sama sekali tidak ada sorot takut terhadap kakaknya itu. "Hina apanya? Kami tidak berbuat seperti itu." Dia bicara lugas dan tegas. "Justru kamu yang lebih hina, tidak bisa melihat kebenaran," tambahnya. Seketika membuat Haris mengha-jar wajahnya. Ayra menjerit. Terlebih, Haris melakukannya tidak sekali dengan gerakkan cepat. Lelaki itu tidak dapat menahan diri lagi. "Cukup. Hentikan. Jangan pukul Mas Satria!" Haris melihat padanya. "Mas Satria?" ujarnya tersenyum sinis. "Karna sekarang dia suamimu jadi memanggil seperti itu, begitu? Kamu senang, hah? Akhirnya bisa berkumpul dengan teman zinamu ini?" Bugh! Belum sempat Ayra menjawab Satria gantian mengha-jar wajahnya. Lelaki itu memekik dan sedikit mundur. Menyentuh sudut bibirnya yang berdarah. Sama seperti dirinya, dia bahkan lebih dari satu di pelipis dan hidung. Haris hendak membalas tersulut emosi, tapi kali ini Satria menahannya. "Pergi da
Ayra mengerem langkah kaki begitu menginjak halaman rumah Haris. Ragu, takut juga enggan. "Tidak usah takut. Kamu tidak sendiri sekarang. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu." Satria menenangkan. Meyakinkan semua akan baik-baik saja. Ayra sempat melarangnya. Tapi dia tetap mau pergi. Perbuatan Haris kemarin tidak membuatnya kapok, juga tidak merasa terancam. "Ayo." Dia menggamit tangannya mengajak masuk. Satria mengucap salam. Tapi tidak ada yang menjawab. Pintu dia buka sendiri. Di dalam ruangan tampak lengang. Tak ada seorang pun. Dia terus melangkah pelan tak henti memegang tangan Ayra. "Kita langsung ke kamar Ibu." Istrinya itu hanya diam saja. Semua terserah padanya. "Heh, seenaknya kalian masuk rumah orang. Kaya maling aja." Keduanya berhenti mendengar suara Tisa. Perempuan hamil besar itu menuruni tangga dengan payah. Menghampiri mereka. "Beraninya kalian datang ke sini."Ayra hendak menjawab dicegah Satria menggelengkan kepala. Bibirnya yang terbuka mengatup
"Jangan pernah lagi panggil Satria anak haram, Ibu sudah peringatkan!" Bercucur air mata Marni. Tidak hanya Satria yang sakit hati atas ucapan Haris, dirinya juga merasakan hal sama. Lebih-lebih sebagai ibunya. "Benarkan yang aku katakan? Dia itu anak di luar nikah!""Tidak. Kamu salah Haris." "Anak hasil hubungan gelap Ibu dengan orang lain!" "Bukan ... Ya Allah, itu semua tidak benar. Sudah Ibu bilang berkali-kali sejak dulu. Ibu mengandung Satria sesudah menikah." "Aku tidak percaya!" Ayra menghampiri ibu mertua yang menangis sesenggukan. Dia tak mengerti, fakta ini baru diketahui. Perseteruan yang memanas, membuat Haris bersikap seperti itu. Bahkan terhadap ibunya sendiri. "Pergi kamu dari sini anak hasil selingkuhan!" Satria memukul bibir lelaki itu telah bicara seenaknya dan menarik kerah bajunya. "Mas sudah menyakiti Ibu. Sudah membuat Ibu menangis. Mas durhaka!" sentaknya. "Kalau benci aku, cukup benci aku saja, Mas. Tidak usah bawa-bawa Ibu!" Haris keterlaluan. Satria
"Tisa?!"Haris mendapati istrinya itu menangis tak berdaya di bawah ranjang. Merangkulnya. Di IGD Tisa ditangani dokter, Haris bertambah panik karna dia pendarahan dan lemas. Lalu diputuskan untuk secar. Perempuan itu kini di ruang operasi sedang berusaha dikeluarkan bayinya. Haris menanti cemas di ruang tunggu seorang diri. Ya, hanya seorang diri. Marni tidak bisa ikut dan tidak mau diajak ikut. Terpaksa Haris meninggalkannya. Pikirannya terbagi kemana-mana tak tenang. Antara istri dan ibu yang tak baik-baik saja. Perih hati lelaki itu, tak seorang pun menemani di saat momen menegangkan dan menghawatirkan. Keluarga Tisa tidak ada yang bisa dihubungi. Di saat seperti itu ia teringat Ayra, jika saja dia masih bersamanya tentu tidak akan getir sendirian. Biasanya saat perasaannya kacau perempuan itu senantiasa menenangkan dan selalu ada. Rasa menyesal itu mencuat lagi, dia membutuhkan kehadirannya. Pun dengan Satria, meski selama ini mereka tidak dekat cenderung masing-masing. Tap
Ayra tengah menyuapi bubur ibu mertua. Tidak jauh darinya Satria duduk memperhatikan. Pagi-pagi mereka sudah ke rumah sakit setelah semalam pulang. Malam panas bagi keduanya, namun tanpa ada kegiatan lanjutan. Ayra menolak keinginan suami barunya itu. Kini, ada rasa tak enak hati sudah membuatnya nelangsa menahan hasratnya. Tidak berani melihat, hanya sedikit menggerakkan sudut mata padanya yang terus diam. Kemudian teringat peristiwa itu lagi yang membuat keduanya kini canggung. "Jangan, Mas." Di tengah debar membuncah, Ayra menjauhkan diri. Menyingkirkan tubuh Satria yang sudah berpindah di atasnya. Merunduk hendak mengecup bibir. Seketika, lelaki itu menjadi merebah. "Kenapa Ayra?" tanyanya dengan napas sedikit tersengal. "Aku ... Aku belum siap." Ayra sendiri beranjak duduk. Menunduk. Memberikan alasan itu. "Kamu tidak usah takut Ayra. Aku bisa melakukannya hati-hati. Aku tidak akan menyakitimu." Bukan karna itu ... Ayra membatin. Dia sudah bukan anak gadis, berhubungan i