Mau tidak mau Sasya digiring masuk ke dalam mobil Papanya. Begitu juga Alex, ikut menemani. Mereka meminta maaf atas kegaduhan yang Sasya buat. Mobil itu pun membawa mereka pergi. Satria menghela napas lega. Sekarang, masalahnya benar-benar selesai. Diliriknya Papanya yang ikut hadir di sini. "Terimakasih Papa sudah datang." Dia yang mengajak Papa Sasya untuk melihat kelakuan putrinya. "Akan Papa usahakan supaya pernikahan anak Papa baik-baik saja," jawab lelaki itu tersenyum tenang, sambil menepuk pelan bahunya. Dia tahu prahara yang terjadi dalam rumah tangga anaknya, sebisa mungkin membantu. Satria kemudian melihat Haris. "Terimakasih Mas Haris sudah repot-repot kasih bukti." "Tidak perlu berterimakasih, Satria. Kamu sendiri sudah banyak menolongku. Sudah sewajarnya Masmu membantu." Satria tersenyum mendengar untaian kata-kata sejuk dari sang kakak. Haris jauh lebih dewasa dan lebih bijak. Dengan kesadaran dan keinginannya sendiri dia membantu mencari bukti kebohongan Sasya.
Sasya termenung dalam kamar, sambil mengusap perut gendutnya. Sekarang usia kehamilan sudah menginjak sembilan bulan. Pipinya lebih berisi, begitu juga tubuh yang menggendut karna nafsu makan bertambah. Sehari-hari, hanya mengurung diri dalam kamar. Dia tidak mau keluar. Malu sekedar bersapa dengan tetangga. Atau bertemu siapapun.Pintu terbuka. Masuk sosok Alex. Datang membawakan bingkisan makanan. Tersenyum saat melihat istrinya itu. "Sayang, aku bawakan makanan untuk kamu." Diletakkan kantung itu di meja samping ranjang. Sasya melirik. Betapa dia perhatian. Dia juga tidak protes terhadap perubahan di tubuhnya. Tapi meski begitu, Sasya masih tidak cinta. Dulu pacaran dengannya sebatas iseng dan kesenangan semata tanpa niat serius untuk dinikahi. Alex hanya pelampiasan rasa kesepian saja. "Aku bukain ya." Alex membuka bingkisan itu. Kemudian meraih sendok yang ada dalam kotaknya hendak menyuapi Sasya. Tapi Sasya menepis, sampai makanan terjatuh. "Kamu gak usah sok baik. Aku gak
Sasya kesakitan, terus meraung menangis. "Sakit, Maa." Pada mamanya dia mengadu. "Padahal belum HPL-nya kok perut kamu sudah sakit aja." Mamanya pun heran. Dia sibuk mengusap keringat putrinya itu. Ibu mertua juga mengusap-usap perut Sasya. Alex cemas dan merasa bersalah. Gara-gara dia memaksa pergi tadi, Sasya jadi kesakitan. Dia menunduk memegangi tangan istrinya. Tapi oleh Sasya ditepis. "Pergi!" Bahkan dia diusir. "Sayang, gak boleh begitu," tegur mamanya. "Alex suami kamu. Dia sudah baik mau nemenin kamu periksa kandungan.""Ini semua gara-gara dia, Mama. Perut aku jadi sakit. Dia menyeretku pulang!" "Apa? Kamu benar melakukan itu Alex?" Mama Alex pun tidak diam saja mendengar itu. "Aku minta maaf. Aku cuma ngajak dia jalan cepet tadi.""Harusnya tidak boleh seperti itu, Alex!" Mamanya membentaknya. "Aku tau aku salah. Aku emosi tadi karna Sasya nyentuh pipi Satria." "Kalian bertemu Satria?" tanya Mama Sasya. Alex mengangguk. "Dia dan istrinya juga di sini tadi. Habis c
"Sasya sudah lahiran. Bayinya laki-laki," ujar Ayra. Satria mengeryit heran dari mana istrinya tahu soal ini? Dia sendiri saja tidak tahu. "Kok kamu tau?""Tau aja." Ayra berkata santai. "Tau dari mana? Temenan aja engga," cecar Satria. Mereka hanya tau wanita itu sakit perut saat di rumah sakit. Tidak tahu jenis kelamin bayi. Tapi Ayra? Entah dari siapa bisa tahu. "Bilang tau dari siapa?" tanya Satria lagi sedikit jengkel karna Ayra tidak mau buru-buru menjawab, malah memakan kue manis di hadapan dengan santainya. "Jawab, Ayra. Jangan buat aku penasaran," tekannya. "Gak mau." Satria menyentak pinggangnya hingga merapat. "Katakan." "Apaan sih, Mas.""Atau aku cium nih." Ayra masih diam saja malah senyum-senyum. Dia tidak takut dicium. "Atau aku melakukannya di sini. Buka baju kamu." Ayra melotot mendengar itu. Ini di ruang tamu. Satria tidak peduli, justru menyeringai dan mencoba membuka kancing bajunya. "Jangan, Mas!" Ayra pun menyingkirkan tangan tersebut. "Bagaimana kal
"Baju siapa ini?" Haris menemukan sebuah baju putih polos di bawah ranjang. Mengambil dan memperhatikan. Melebarkan mata mengenali pemiliknya. Tidak lain adalah milik Satria adik laki-lakinya. "Kenapa baju adikku ada di kamar istriku?" tanyanya heran dan curiga. "Ayra. Ayra!" Memanggil istrinya yang tidak ada. Kemudian terdengar suara air. Lelaki itu mendekat pada kamar mandi di sudut ruangan. Ayra ada di sana. "Ayra?!" Perempuan itu buru-buru menyelesaikan mandi saat terdengar ketukan keras pintu. Mematikan shower dan memakai handuk baju. "Mas Haris?" Pintu baru dibukanya. Haris membelalak menatap pemandangan rambut basahnya. "Kamu dikeramas?""Memang kenapa?""Kamu tidak habis berhubungan denganku, Ayra." "Mandi keramas tidak harus selalu sesudah hubungan suami istri, Mas." "Kamu sudah berhubungan dengan laki-laki lain. Itu kenapa dikeramas.""Astagfirullah. Tidak, Mas!" "Ini buktinya!" Haris menunjukkan baju itu. "Baju siapa itu?" Ayra tak mengerti balik bertanya. "Baju m
"Aku akan menceraikanmu detik ini juga!" Haris sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar apapun lagi dari mulutnya. Di matanya Ayra salah besar dengan bukti jelas. "Ayra Kaesya Fatharani binti Bapak--" "Stop. Jangan diteruskan." Marni maju ke hadapan Haris. Tidak ingin kata talak itu jatuh dari mulutnya untuk menantu. "Tenangkan dulu pikiranmu. Jangan tergesa." Terlalu dini Haris mengambil keputusan. "Tidak bisa, Bu." "Maafkan, Ayra." "Tidak semudah itu. Ibu jangan membela orang yang salah!" Haris turut geram pada ibunya sendiri. Bukan mendukungnya tapi malah memaklumi Ayra. "Ibu tidak membela orang yang salah. Ibu minta kamu memaafkan. Kasihan Ayra." Marni menatap ke arahnya. Sangat mengasihani. Sudah dimadu dan sekarang hendak dicerai begitu saja. Dia tak tega. "Ayra sudah berbuat hal hina. Aku benci istri seperti itu!" Tidak bisa ditawar-tawar lagi sungguh fatal baginya. Dia berniat melihat keadaannya setelah bermalam dengan Tisa di lantai atas. Namun, setelah memasuki ka
"Kontrakan di sini penuh." Untuk kedua kali Ayra kecewa mendengar pemilik petakan kontrakan. Ternyata mencari tempat tinggal dalam waktu cepat tidaklah mudah. "Gitu, ya, Pak. Terimakasih." Ayra pamit. Berjalan kembali. Lesu tubuhnya ingin segera istirahat. Sesekali mengusap peluh di dahi. Selama bersama Haris tidak pernah melakukan jalan kaki sejauh ini. Satria masih mengikuti. Rela masuk dalam gang dan memberhentikan motor dari agak jauh. Mengotak atik ponsel yang dikeluarkan dari saku. Sementara Ayra terus berjalan. Berharap bisa cepat menemukan tempat bermalam. "Mau ke mana, Mbak?" tanya seorang pemuda tiba-tiba menghampiri. Langkah Ayra terhenti. "Saya cari kontrakan." "Ada dekat sini. Kalau Mbak minat saya tunjukkan." "Benar, Mas?" Seketika mata Ayra berbinar. "Iya. Boleh ikut saya, Mbak." "Baik, Mas." Ayra mengikuti. Senang mendengar kabar tersebut. Membuatnya semangat lagi. Pemuda itu menunjukkan deretan kontrakan yang dimaksud. "Deretan kontrakan itu ada yang kosong.
"Eh, eh, mau dibawa ke mana makanannya?" Langkah Ayra terhenti di hadapan Bu Dita. Bingung mesti menjawab apa. Tadinya dia mau memberikan ke orang lain makanan yang tidak jelas pemberian siapa. Meski lapar meski membutuhkan, Ayra tidak mau sembarangan memakan. "Bu Dita tau tidak siapa yang gantungin kantong makanan ini di depan pintu kontrakan saya?" "Dari hamba Allah." "Hamba Allah?" "Iya. Saya juga dikasih. Nih." Bu Dita menunjukkan kantong yang sama di sampingnya memindahkan di meja. "Gak tau siapa. Orangnya langsung pergi." Siapa? Ayra semakin penasaran. "Makan aja, gak usah ragu. Saya juga mau dimakan nih. Orang sedekah, jangan nolak rejeki." Ayra mematung melihatnya membuka bingkisan itu dan melahap makanan tersebut. "Ketopraknya enak banget. Eh, ada bakwan juga." Mulutnya sibuk mengunyah. "Udah, kamu jangan bengong. Makan nanti keburu dingin." "Ah, iya." Ayra pun memilih berputar arah masuk dalam kontrakan kembali. Duduk membuka bingkisan tersebut di lantai. Menepis