Aku terbangun dengan dengan kepala nyut-nyutan. Kupindai Seluruh ruangan, aku terperanjat. Ini bukan kamarku, aku tidur dimana?Aku bergegas bangun dari tidur lelahku, badanku terasa sangat capai dan lemas. Kulitku terasa lebih dingin dari biasanya. Pantas saja, diluar masih hujan. Pandangan mataku menangkap benda disudut ruangan."Astaghfirullah," gumamku. Ini kamar Tika. Aku bangkit, ternyata aku tidur dalam keadaan tanpa baju."Astaghfirullah." Kembali aku beristighfar melihat keadaanku. Kucoba mengingat kejadian semalam setelah Tika mendaratkan bib*rnya dipipiku."Eh, mas Rendi udah bangun? Ini minum teh hangat dulu. Di luar masih hujan."Aku masih linglung, ingatan terakhir sebelum aku tertidur karena kelelahan."Astaghfirullah, aku sudah ....""Makasih ya, Mas. Mas semalam hebat banget. Makasih benihnya yang mas titip didalam sini." Tika memgelus perutnya."Mas udah sering ngelakuin sama pacar Mas ya?""Astaghfirullah," gumamku tanpa mengindahkan ocehan Tika. Aku memungut bajuku
[Mas, aku hamil]Pesan dari Tika sukses membuatku nyaris pingsan, bagaimana tidak? pesan itu datang ketika acara lamaranku dengan Dahlia hanya kurang dua hari lagi.Tak cukup sampai disana, Tika dan kedua orang tuanya datang ke rumah orang tuaku. Perasaanku menjadi tak enak dengan kedatangan mereka, dan benar mereka datang untuk meminta pertanggungjawaban dariku.Awalnya kedua orang tuaku juga tidak percaya dengan perkataan Tika, mengingat aku sudah mau menikah dengan Dahlia. Terlebih Tika mengatakan kalau dirinya dirayu olehku.Setelah kuceritakan semua dengan versiku, kedua orang tuaku percaya padaku, walaupun akhirnya mereka tetap menyuruhku bertanggung jawab dan membatalkan pernikahan dengan Dahlia. Setelah keluarga Tika pulang, ayah memghajarku habis-habisan, sementara ibu hanya menangis disudut sofa.Kekecewaan mendalam dirasakan kedua orang tuaku. Setelah menghajarku, ayah menangis sejadi-jadinya, ini kali pertama aku melihat pria
GunturWarung untuk jualan Dahlia sudah hampir selesai, aku tak menyangka jika para tetangga ringan tangan membatu kami, Setiap mereka pulang kerja pasti menyempatkan diri untuk membatuku dan bapak. Walau hanya dengan modal pas-pasan tapi warung yang kami bangun cukup memuaskan.Satu saung dari bambu dengan beratapkan rumbia sudah berdiri kokoh di depan halaman rumah dikami. Dan disetiap pinggir aku hiasi dengan lampu warna kuning yang biasa digunakan di cafe-cafe, sementara di sampingnya ada satu meja berbentuk L untuk masak dan sisi sebelah kiri ada etalase kecil untuk meletakkan mie mentah dan ayam yang sudah dimasak, sementara samping etalase akan digunakan sebagai kasir. Bapak dan ibu mertua yang paling berjasa membatu modal untuk kami, walaupun keadaan ekonomi mereka juga tidak begitu berpunya. Dahlia memang anak tunggal, dulu dia mempunyai adik laki-laki, tatapi sudah meninggal ketika masih kecil. Jadi sekarang kasih sayang orang tuanya tercurah semuanya pada Dahlia dan kami-
"Dek ... Ada apa? Kenapa murung begini?" Wanita berambut kecoklatan itu masih setia dengan aktivitasnya, melamun.Perlahan dia mentapku, tanpa menjawab sepatah kata, air matanya luruh begitu saja, aku yang tak tahu apa-apa semakin bingung dengan sikap Dahlia."Cerita sama Mas, ada apa?" tanyaku lagi."Daganganku gak ada yang beli Mas." Wanita yang hobi berdaster jika di rumah itu semakin tergugu. Aku membalikan badan, melirik etalase yang masih penuh dengan mie mentah.Kuraih pundaknya dan kubawa kepelukanku. "Sabar, baru sehari," hiburku."Tapi waktu aku promo, banyak banget yang nanggapi mau mampir, tapi tak satupun yang datang. Para tetangga juga datang kesini cuma tanya-tanya aja, terus icip-icip, tapi gak ada yang mau beli," adunya."Mungkin mereka lagi gak ada uang untuk beli, maksudnya uang mereka ada, tapi untuk kegunaan lainnya." Aku masih memberi istriku pengertian, walaupun sebenarnya aku juga merasakan hal sama. Bayanganku, dagangan Dahlia habis terjual, tapi sepertinya Al
"Mbak Tika," desisku.Aku berbegegas turun dari mobil dan mengikuti mereka, namun sebelumnya aku berpesan pada Winar, "Win, nanti kalau Haji Mansur datang, bilang aku ada urusan sebentar, nanti aku naik ojek.""Mau kemana memang Mas?""Ngikutin orang itu." Aku menunjuk dua orang yang tengah bermanja-manjaan. Tiba-tiba aku ada ide cemerlang."Pinjam topimu ya." Tanpa menunggu persetujuan Winar, aku mengambil topi lebarnya dan memakai di kepalaku.Dengan mengendap-endap aku terus mengikuti dua manusia beda jenis kelamin itu. Makin dekat, aku bisa mendengar percakapan mereka."Mas, kok cepat bener sih? Padahal suamiku lama ke luar kotanya." Suara mbak Tika membuatku naik darah, menjijikan!"Mas harus pulang, sayang. Besok lagi ya." sahut bandot tua itu tak kalah menjijikan."Maaf pak, sedekahnya." Aku tiba-tiba muncul dihadapan manusia yng tengah bermanja-manjaan itu. Awalnya aku akan merekam mereka, tapi aku lupa, handphone-ku bukan handphone canggih, hanya bisa digunakan untuk menelfon
"Guntur ...." Aku dan mas Gilang sama terkejut dengan pertemuan ini.Mas Gilang adalah suami pertama mbak Tika. Sepengakuan mbak Tika, mas Gilang pergi begitu saja dengan selingkuhannya tanpa kabar, hanya surat talak datang ke rumah mbak Tika.Tadinya aku ingin sekali menghajar mas Gilang, tetapi setelah melihat sendiri dengan mata kepalaku, maka aku yakin jika mbak Tikalah sesungguhnya yang bertingkah."Duduk Tur, pasti kamu mau minta kejelasan kenapa aku ninggalin Tika dulu." Ternyata mas Gilang salah paham dengan kedatanganku."Bukan mas, bahkan aku tidak tahu kalau ini rumah mas Gilang.""Jadi kedatangan kamu kesini?" Mas Gilang memasang wajah penuh tanya."Dia mau tanya tentang Tika, Pa," potong mbak Hera."Oh, apa Tika berulah lagi?" "Memang dulu pernah berulah mas?" Akupun penasaran dengan cerita versi mas Gilang."Mbakmu dulu ketahuan chek in di hotel sama om om, kamu tahu sendiri kan Tur bagaimana sifat Mas?" "Iya Mas," jawabku. Mas Gilang memang orangnya tidak suka ribut-r
"Itu untuk kalian, bisa untuk tambahan modal," ucap mbak Tika masih dengan gaya sombongnya. Padahal katanya kedatangannya kesini untuk meminta maaf.Aku melirik Dahlia yang masih sibuk meracik mie ayam, entah untuk siapa mie ayam itu, aku belum sempat tanya-tanya tentang penjualan hari ini, namun wanitaku itu tak menanggapi. Aku yakin uang ini adalah sogokan agar aku tak membocorkan rahasianya di hotel tadi."Untuk apa semua ini Mbak?" Aku mengangkat uang yang sedang aku pegang."Kan sudah aku bilang, untuk kalian. Terima aja, uang segitu sudah pasti sangat berguna kan buat kalian. Kalian bisa sewa lapak di pinggir jalan besar, daripada jualan disini. Nyapein badan doang, dapet hasil juga gak." Hatiku benar-benar panas mendengar ucapan mbak Tika."Kenapa? Kurang? Ini aku tambahin." Mbak Tika kembali mengeluarkan uang dari dalam tasnya, "nih, terima!" Wanita yang DNA-nya sama denganku itu meraih tanganku dan memaksaku untuk menerima uang darinya lagi.Mbak Tika mendekat dan berbisik di
Aku semakin menunduk dalam, Haji Mansur memandangku tajam, seolah kesalahanmu sangat fatal, padahal belum terjadi, hanya aku kurang teliti saja."Tur, sudah berapa lama kamu ikut saya?" Aku beranikan diri mengangkat wajah."Sudah 10 tahun lebih Ji," jawabku hati-hati."Apa kamu gak punya keinginan membuka tokomu sendiri?" "Keingin pasti ada, tapi ...." Aku menggantung kata-kataku, "untuk hidup sehari-hari saja pas-pasan."Haji Mansur hanya mengangguk-angguk. "Tur, kamu adalah karyawan terlama disini, itu kenapa saya selalu bawa kamu ketika antar pesanan ke orang-orang penting, agar kamu kenal sama mereka, jadi kalau kamu nantinya punya modal dan ingin membuka tokomu sendiri, kamu sudah punya akses ke mereka.""Tapi seandainya saya buka toko saya sendiri apa Haji gak takut kesaing?""Hahahaha ... Guntur, Guntur." Haji Mansur malah terkekeh panjang."Apa saya salah biacara ya Ji?" tanyaku dengan memasang mimik tak bingung."Saya ini tidak punya anak, kamulah yang saya anggap anak, kam