Share

Bab 5

Author: Ayaa Humaira
last update Last Updated: 2022-10-26 16:51:12

Suara ribut-ribut dari dalam rumah seketika melenyapkan senyuman dari bibirku. Suara teriakan ibu paling mendominasi, tapi sama sekali tak kudengar suara balasan dari Dahlia.

Segera kusenderkan motor bututku begitu saja didinding rumah. Langkah kaki sengaja kuperlebar agar segera sampai kedalam rumah.

"Ibu, mbak Tika, ada apa?" tanyaku bingung. Ternyata air mata Dahlia sudah melaut. Entah sejak kapan mereka berdebat, bahkan kini sudah mendekati Magrib.

"Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajahku.

"Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sama mbak Tika ribut-ribut hanya karena beras? Jangan begini dong bu! Gak enak sama tetangga." sentakku. Karena tidak habis pikir, datang Magrib hanya karena meributkan soal beras.

"Bu, itu beras Ibu kan sudah tidak mau, jadi daripada mubazir sampai kehujanan, mending Guntur bawa pulang lagi. Ibu kan tidak mau makan beras yang itu." protesku.

"Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-ayam ibu, sengaja ibu suruh kamu tarok diteras, biar ayam Ibu kalau makan gak perlu ngasih-ngasih lagi."

Dahlia semakin tergugu mendengar penuturan ibu, begitupun aku. Aku sangat kaget mendengarnya. Jadi beras itu memang sengaja untuk ayam-ayam ibu.

"Bagaimana ibu bisa berpikir seperti itu, sedangkan ibu tahu sendiri kehidupan kami bagaimana, bahkan membeli beras itu yang khusus kami berikan untuk ibu, hasil dari lemburku selama satu minggu. Tapi Ibu sama sekali tidak menghargai usahaku dan Dahlia."

"Sudahlah, mana berasnya!" potong mbak Tika.

Aku menoleh kearah Dahlia, kemudian aku memgangguk. Dahlia bangkit dan masuk kedalam. Tak lama Dahlia keluar dengan membawa beras yang sudah bersih dari kotoran. Ibu kemudian bangkit dan mengambil dengan kasar beras ditangan Dahlia.

"Kalau sudah dikasih, jangan diambil lagi, terserah ibu mau diapakan beras ini," sewotnya, kemudian berlalu begitu saja. Tak lama terdengar suara motor mbak Tika menjuah dari rumah.

Beruntung ketika ribut-ribut tadi, Ridho sedang ngji di musolah, jadi dia tidak harus mendengarkan perdebatan orang dewasa.

"Dek," panggilku. Kulihta Dahlia memilin ujung bajunya. Aku sangat tahu bagaimana perasaannya.

"Gak apa-apa mas, memang kita yang keterlaluan, benar kata ibu. Barang sudah dikasih ke orang gak boleh diambil lagi."

"Besok-besok gak usah kasih apa-apa ke ibu ya, daripada kita menyakiti hati kita sendiri."

Dahlia hanya mengangguk, "mas, aku punya tabungan, rencanaku mau jualan mie ayam didepan rumah mas."

"Tapi beli gerobak mie ayam kan mahal dek?"

Dahlia memang pandai memasak, olahan mie ayamnya juga enak, tak kalah dengan rasa mie ayam yang sering kami beli diluar. Apalagi jalan depan rumah kami juga relatif ramai, karena jalan adalan jalan penghubung ke desa kabupaten sebelah.

"Gak perlu pakai gerobak mas, pakai meja aja, nanti teras kita ditambah seng, terus lantainya disemen dikit untuk orang makan ditempat."

"Memang kamu ada tabungan berapa?"

"Ada dua jutaan mas, cukuplah kalau untuk buat warung kecil-kecilan," sahutnya.

"Besok mas tanya-tanya dulu sama toko bangunan di depan."

"Iya mas, nanti kalau mas gak ada waktu ngerjainnya, biar aku minta tolong sama bapak. Bisa untuk tambah-tambah penghasilan kita mas, selain untuk mengisi kegiatanku kalau sore." Dahlia terlihat semangat untuk membuka usaha mie ayam. Walaupun sebenarnya aku bisa perkirakan kalau modal dua juta pasti sangat minim.

"Iya dek, oh iya kamu masak apa? Mas sudah lapar nih." Perutku ternyata sudah mulai keroncongan.

"Oseng-oseng kates sama goreng ikan asin mas, tapi nunggu Ridho pulang dulu ya. Lebih baik kamu mandi terus shalat mas," jawab Dahlia.

"Astaghfirullah, iya. Mas lupa belum shalat." Akupun langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badan kemudian menunaikan ibadah tiga raka'at.

Pukul tujuh, Ridho pulang dari musolah. Dahlia menyiapkan makanan untuk kami makan malam. Sedangkan aku menggelar karpet bergambar boboboy di ruang tengah. Kami biasa makan bersama , jadi kalau salah satu tidak ada, seperti ada yang kurang.

____

Sepulang kerja, aku sempatkan mampir ke toko bangunan tak jauh dari rumah kami. Setelah mencatat semua bahan dan harga yang diperlukan, akupun pulang untuk memberitahu Dahlia.

"Ini uangnya Mas!" Dahlia menyodorkan uang lima lembar uang bergambar presiden pertama.

"Mau beli sekarang?" tanyaku.

"Iyalah mas, biar besok bapak bisa mulai buat warungnya." Aku terima uang dari tangan Dahlia. Aku aku enggan beranjak, kusenderkan badanku ke kursi.

"Mas boleh minum dulu?"

"Astaghfirullah mas, maaf ya aku lupa, sangking semangatnya mau jualan." Wanita itu kemudian beranjak kebelakang dan kembali lagi dengan membawa satu botol berisi air dingin.

"Dek, gimana kalau buat warungnya pake atau rumbia aja, terus pagarnya pakai bambu. Didekat kebun bapak kan banyak bambu liar, biar Mas yang ambil. Jadi konsepnya kayak saung gitu lho. Kan bisa ngirit modal."

Sejenak Dahlia berpikir, "iya ya, kok aku gak kepikiran ya mas," ujar Dahlia sambil menepuk keningnya sendiri.

"Kan lebih asri ya mas, uangnya bisa untuk beli perlengkapan, seperti mangkok, sendok, gelas," sambung Dahlia.

"Tuh kan, berarti mas cuma beli paku doang kan ini?"

"Sementara iya, nanti aku tanya bapak dimana yang jual rumbia."

"Iya, nanti mas tanya juga sama toko bangunannya, siapa tahu mereka tahu." Uang yang tadi dikasih aku kembalikan empat lembar, kemudian aku engkol motor dan melajukannya ke toko bangunan.

Aku membeli satu kilo paku berukuran besar dan satu kilo paku berukuran kecil. Disini juga ternyata ada atap rumbia. Akupun langsung membelinya. Karena motorku tidak muat untuk membawanya, akhirnya karyawan toko membantu mengantarkan atap rumabianya.

Cukup lama aku di toko bangunan, karena menunggu motor roda tiga untuk membawa belanjaanku. Hampir setengah jam aku menunggu, akhirnya motorpun sampai. Tadinya ingin aku tinggal pulang, tapi tanggung minyak motorku takut tidak cukup.

Sampai didekat rumah, aku melihat mobil mas Rendi terparkir didepan rumah. Ada apa mas Rendi kesini? Atau jangan-jangan sama mbak Tika, terus maki-maki Dahlia, tapi aku rasa tidak mungkin. Karena dari semua keluargaku hanya mas Rendi yang bersikap baik padaku dan Dahlia. Bahkan Mbak Tika juga kadang tidak berani berkutik jika didepan mas Rendi.

Pikiranku berkecamuk, segera aku turun dari atas motor. Aku takut terjadi apa-apa dengan Dahlia, tapi begitu motorku sampai, suara mereka mendadak hening.

"Eh ... Guntur, baru pulang?" tanya mas Rendi saat kami berpapasan di depan pintu.

Aku tak langsung menjawab pertanyaan mas Rendi, melainkan melihat gelagat aneh dari Dahlia, dia tampak kikuk, begitupun dengan mas Rendi. Seperti seseorang yang sedang kepergok.

"Iya Mas, dari toko bangunan depan. Mas Rendi ngapain kesini?"

"I-tu ... Mampir aja tadi kebetulan lewat sini. Udah sore aku pamit ya!" Mas Rendi belalu masuk ke dalam mobilnya.

Ada apa dengan mas Rendi dan Dahlia.

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 70

    Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 69

    ****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 68

    "Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 67

    Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 66

    Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 65

    Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status