Share

Bab 5

Suara ribut-ribut dari dalam rumah seketika melenyapkan senyuman dari bibirku. Suara teriakan ibu paling mendominasi, tapi sama sekali tak kudengar suara balasan dari Dahlia.

Segera kusenderkan motor bututku begitu saja didinding rumah. Langkah kaki sengaja kuperlebar agar segera sampai kedalam rumah.

"Ibu, mbak Tika, ada apa?" tanyaku bingung. Ternyata air mata Dahlia sudah melaut. Entah sejak kapan mereka berdebat, bahkan kini sudah mendekati Magrib.

"Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajahku.

"Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sama mbak Tika ribut-ribut hanya karena beras? Jangan begini dong bu! Gak enak sama tetangga." sentakku. Karena tidak habis pikir, datang Magrib hanya karena meributkan soal beras.

"Bu, itu beras Ibu kan sudah tidak mau, jadi daripada mubazir sampai kehujanan, mending Guntur bawa pulang lagi. Ibu kan tidak mau makan beras yang itu." protesku.

"Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-ayam ibu, sengaja ibu suruh kamu tarok diteras, biar ayam Ibu kalau makan gak perlu ngasih-ngasih lagi."

Dahlia semakin tergugu mendengar penuturan ibu, begitupun aku. Aku sangat kaget mendengarnya. Jadi beras itu memang sengaja untuk ayam-ayam ibu.

"Bagaimana ibu bisa berpikir seperti itu, sedangkan ibu tahu sendiri kehidupan kami bagaimana, bahkan membeli beras itu yang khusus kami berikan untuk ibu, hasil dari lemburku selama satu minggu. Tapi Ibu sama sekali tidak menghargai usahaku dan Dahlia."

"Sudahlah, mana berasnya!" potong mbak Tika.

Aku menoleh kearah Dahlia, kemudian aku memgangguk. Dahlia bangkit dan masuk kedalam. Tak lama Dahlia keluar dengan membawa beras yang sudah bersih dari kotoran. Ibu kemudian bangkit dan mengambil dengan kasar beras ditangan Dahlia.

"Kalau sudah dikasih, jangan diambil lagi, terserah ibu mau diapakan beras ini," sewotnya, kemudian berlalu begitu saja. Tak lama terdengar suara motor mbak Tika menjuah dari rumah.

Beruntung ketika ribut-ribut tadi, Ridho sedang ngji di musolah, jadi dia tidak harus mendengarkan perdebatan orang dewasa.

"Dek," panggilku. Kulihta Dahlia memilin ujung bajunya. Aku sangat tahu bagaimana perasaannya.

"Gak apa-apa mas, memang kita yang keterlaluan, benar kata ibu. Barang sudah dikasih ke orang gak boleh diambil lagi."

"Besok-besok gak usah kasih apa-apa ke ibu ya, daripada kita menyakiti hati kita sendiri."

Dahlia hanya mengangguk, "mas, aku punya tabungan, rencanaku mau jualan mie ayam didepan rumah mas."

"Tapi beli gerobak mie ayam kan mahal dek?"

Dahlia memang pandai memasak, olahan mie ayamnya juga enak, tak kalah dengan rasa mie ayam yang sering kami beli diluar. Apalagi jalan depan rumah kami juga relatif ramai, karena jalan adalan jalan penghubung ke desa kabupaten sebelah.

"Gak perlu pakai gerobak mas, pakai meja aja, nanti teras kita ditambah seng, terus lantainya disemen dikit untuk orang makan ditempat."

"Memang kamu ada tabungan berapa?"

"Ada dua jutaan mas, cukuplah kalau untuk buat warung kecil-kecilan," sahutnya.

"Besok mas tanya-tanya dulu sama toko bangunan di depan."

"Iya mas, nanti kalau mas gak ada waktu ngerjainnya, biar aku minta tolong sama bapak. Bisa untuk tambah-tambah penghasilan kita mas, selain untuk mengisi kegiatanku kalau sore." Dahlia terlihat semangat untuk membuka usaha mie ayam. Walaupun sebenarnya aku bisa perkirakan kalau modal dua juta pasti sangat minim.

"Iya dek, oh iya kamu masak apa? Mas sudah lapar nih." Perutku ternyata sudah mulai keroncongan.

"Oseng-oseng kates sama goreng ikan asin mas, tapi nunggu Ridho pulang dulu ya. Lebih baik kamu mandi terus shalat mas," jawab Dahlia.

"Astaghfirullah, iya. Mas lupa belum shalat." Akupun langsung beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badan kemudian menunaikan ibadah tiga raka'at.

Pukul tujuh, Ridho pulang dari musolah. Dahlia menyiapkan makanan untuk kami makan malam. Sedangkan aku menggelar karpet bergambar boboboy di ruang tengah. Kami biasa makan bersama , jadi kalau salah satu tidak ada, seperti ada yang kurang.

____

Sepulang kerja, aku sempatkan mampir ke toko bangunan tak jauh dari rumah kami. Setelah mencatat semua bahan dan harga yang diperlukan, akupun pulang untuk memberitahu Dahlia.

"Ini uangnya Mas!" Dahlia menyodorkan uang lima lembar uang bergambar presiden pertama.

"Mau beli sekarang?" tanyaku.

"Iyalah mas, biar besok bapak bisa mulai buat warungnya." Aku terima uang dari tangan Dahlia. Aku aku enggan beranjak, kusenderkan badanku ke kursi.

"Mas boleh minum dulu?"

"Astaghfirullah mas, maaf ya aku lupa, sangking semangatnya mau jualan." Wanita itu kemudian beranjak kebelakang dan kembali lagi dengan membawa satu botol berisi air dingin.

"Dek, gimana kalau buat warungnya pake atau rumbia aja, terus pagarnya pakai bambu. Didekat kebun bapak kan banyak bambu liar, biar Mas yang ambil. Jadi konsepnya kayak saung gitu lho. Kan bisa ngirit modal."

Sejenak Dahlia berpikir, "iya ya, kok aku gak kepikiran ya mas," ujar Dahlia sambil menepuk keningnya sendiri.

"Kan lebih asri ya mas, uangnya bisa untuk beli perlengkapan, seperti mangkok, sendok, gelas," sambung Dahlia.

"Tuh kan, berarti mas cuma beli paku doang kan ini?"

"Sementara iya, nanti aku tanya bapak dimana yang jual rumbia."

"Iya, nanti mas tanya juga sama toko bangunannya, siapa tahu mereka tahu." Uang yang tadi dikasih aku kembalikan empat lembar, kemudian aku engkol motor dan melajukannya ke toko bangunan.

Aku membeli satu kilo paku berukuran besar dan satu kilo paku berukuran kecil. Disini juga ternyata ada atap rumbia. Akupun langsung membelinya. Karena motorku tidak muat untuk membawanya, akhirnya karyawan toko membantu mengantarkan atap rumabianya.

Cukup lama aku di toko bangunan, karena menunggu motor roda tiga untuk membawa belanjaanku. Hampir setengah jam aku menunggu, akhirnya motorpun sampai. Tadinya ingin aku tinggal pulang, tapi tanggung minyak motorku takut tidak cukup.

Sampai didekat rumah, aku melihat mobil mas Rendi terparkir didepan rumah. Ada apa mas Rendi kesini? Atau jangan-jangan sama mbak Tika, terus maki-maki Dahlia, tapi aku rasa tidak mungkin. Karena dari semua keluargaku hanya mas Rendi yang bersikap baik padaku dan Dahlia. Bahkan Mbak Tika juga kadang tidak berani berkutik jika didepan mas Rendi.

Pikiranku berkecamuk, segera aku turun dari atas motor. Aku takut terjadi apa-apa dengan Dahlia, tapi begitu motorku sampai, suara mereka mendadak hening.

"Eh ... Guntur, baru pulang?" tanya mas Rendi saat kami berpapasan di depan pintu.

Aku tak langsung menjawab pertanyaan mas Rendi, melainkan melihat gelagat aneh dari Dahlia, dia tampak kikuk, begitupun dengan mas Rendi. Seperti seseorang yang sedang kepergok.

"Iya Mas, dari toko bangunan depan. Mas Rendi ngapain kesini?"

"I-tu ... Mampir aja tadi kebetulan lewat sini. Udah sore aku pamit ya!" Mas Rendi belalu masuk ke dalam mobilnya.

Ada apa dengan mas Rendi dan Dahlia.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status