Share

Bab 6

Author: Ayaa Humaira
last update Last Updated: 2022-12-16 11:07:22

Sikap Dahlia mendadak berubah tampak seperti orang yang sedang salah tingkah semenjak kedatangan mas Rendi. Dia makin banyak diam, padahal biasanya dia akan banyak biacara mengomentari ini itu.

Selesai menurunkan atap rumbia, karyawan toko bangunan tadi langsung pulang. Sudah kutawari untuk mampir, sekedar minum kopi, tetapi dia tidak mau,katanya masih banyak kerjaan yang harus dia selesaikan.

"Mas Rendi tadi ngapain kesini Dek?" tanyaku sembari menyeruput kopi buatan Dahlia.

"Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Dahlia membenarkan posisi duduknya, seperti ada yang tak nyaman ketika aku menanyakan mas Rendi.

Selama ini aku tak pernah melihat Dahlia ngobrol berdua langsung. Jika sedang berkunjung ke rumah ibu dan di sana ada mbak Tika dan mas Rendi, Dahlia selalu menghindar. Aku rasa karena mbak Tika memang selalu judes terhadap Dahlia.

"Oh," jawabku singkat. Tak ingin mencurigai Dahlia, walaupun sebenarnya hatiku berkata lain. Seperti ada yang disembunyikan dari Dahlia.

Kulirik satu plastik berlogo swalayan terkenal dengan warna merah mendominasi, banyak jajanan didalam plastik itu. Aku sendiri mana mampu membelikan Ridho jajan di minimarket itu.

"Itu semua mas Rendi yang bawa?"

"Iya Mas, tadi udah aku tolak, tapi dia memaksa dan meninggalkan kantong plastik itu disitu." Dahlia menunjuk plastik itu dengan matanya.

"Yasudah, berarti rezekinya Ridho. Sebenarnya Mas hanya takut menimbulkan masalah untuk kita kalau menerima pemberian dari mas Rendi. Pasti kamu ingat 'kan waktu itu mbak Tika marah."

Dulu pernah waktu kami berkunjung ke rumah ibu saat lebaran haji, mas Rendi memberi uang jajan untuk Ridho, tetapi setelah mbak Tika tahu, uang itu langsung diambinya kembali. Tak hanya itu, umpatan kasarpun tak luput keluar dari mulut mbak Tika.

"Iya Mas, aku ingat. Makanya aku tadinya gak mau terima, tapi mas Rendi terus maksa. Padahal udah aku bawa ke mobilnya."

Aku genggam tangan Dahlia yang dingin, dia sangat gugup, mungkin benar yang kuduga jika dia begitu takut nantinya akan berurusan dengan mbak Tika.

"Ridho mana?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan tentang mas Rendi.

"Udah berangkat ngaji dari asar tadi, katanya mau ada seleksi lomba adzan di kecamatan," jawab Dahlia, dari suaranya sudah mulai manguasai dirinya.

"Oh, yang untuk acara Maulid Nabi ya?"

"Iya Mas, semoga Ridho terpilih ya."

"Aamiin," jawabku.

Setelah shalat Magrib, aku memindahkan rumbia yang tadi hanya diletak dipinggir jalan. Dahli aturut membantu, wanita yang telah membersamaiku selama 8 tahun ini mempunyai tenaga yang kuat. Dia memang sudah bukan perempuan manja.

"Biar Mas aja Dek, kamu siapin untuk kita makan aja."

"Sudah aku siapin Mas, pas kamu shalat Magrib tadi, sekarang aku mau bantuin kamu, biar cepat selesai, cepat makan, cepat istirahat." kilahnya. Akupun tak banyak bicara lagi, hanya terus fokus dengan kerjaan, begitupun dengan Dahlia.

"Assalamualaikum," sapa Ridho.

"Wa'alaikumsalam, gimana seleksinya? Lolos?" cecar Dahlia tak sabar.

"Alhamdulillah, lolos bu. Dodo, Feri sama Salim mewakili desa kita untuk lomba di kecamatan." jawab Ridho sumringah.

"Alhamdulillah, latihan terus ya, nanti bapak d******d-in suara adzan, biar bisa kamu contoh," sambungku.

"Iya pak, bapak nanti ajarin juga ya," aku dan Dahlia mengangguk. Kemudian kami makan malam bersama.

---

Pukul tujuh, aku sudah siap berangkat kerja. Ridho sudah berangkat sekolah sejak sepuluh setengah jam yang lalu. Jarak sekolahnya hanya 500 meter dari rumah kami. Dia selalu menolak jika mau aku antar, mau bareng temen-temen katanya.

Tin ... Suara klakson motor terdengar. Segera aku ke depan untuk melihat siapa yang datang. Ternyata bapaknya Dahlia. Akupun langsung menyalaminya.

"Udah mau berangkat Tur?" tanya pria yang selalu memakai kopiah itu.

"Iya pak, Dahlia lagi siap-siap mau berangkat ngajar, sebentar Guntur panggilkan." Bapak mengangguk dan berjalan ke samping rumah.

Aku menyusul Dahlia di kamar, dia sedang menyemprotkan parfum dengan aroma Jasmine kesukaannya.

"Dek, ada bapak." Aku melongok dibalik pintu.

"Iya mas, sebentar." Dengan tergesa, Dahlia berhambur keluar rumah, mencari keberadaan bapak. Aku mengekor dibelakang Dahlia.

"Mau dibuat kapan Nduk?"

"Nunggu bambunya dulu pak, hari Minggu baru mas Guntur mau ambil di kebun dekat sawah."

"Ooo ...," bakak membulatkan bibirnya. "Berarti hari bapak mau ratakan tanahnya dulu," sambung beliau. Bapak sangat antusias membuatkan warung untuk anaknya. Padahal bahan-bahan belum terkumpul semua.

"Gak apa-apa kami tinggal pak?" Aku merasa tak enak, bapak kerja sendirian dirumah, sendangkan aku harus masuk kerja.

"Ya gak apa-apa, nanti ibumu nyusul kesini."

"Kopiny ada dimeja makan pak, ada bakwan sama ubi rebus dibawah tudung, Lia nanti paling jam 10 udah pulang."

"Iya Nduk," jawab bapak. Kemudian masuk kerumah dan duduk di sofa yang sudah usang.

Dahlia masuk ke dapur mengambilkan kopi hitam dan meletakkan di meja depan bapak duduk.

"Kami tinggal dulu ya pak," pamitku, disusul Dahlia.

Tempak ngajar Dahlia kebetulan satu arah dengan tempat kerjaku. Jadi bisa ngirit bahan bakar jika berangkat serempak. Pulang ngajar, biasanya Dahlia bareng teman sesama guru atau naik angkutan umum, karena jam kerjaku lebih lama dibandingkan Dahlia.

Hari ini toko hanya buka setengah hari, karena ada kerabat haji Mansur yang meninggal. Sebelum pulang, semua karyawan toko berkumpul diruang pertemuan. Ruangan ini baiasa digunakan untuk rapat atau sekedar briefing.

Mbak Yana--kapala toko mengintruksikan pada setiap karyawan untuk mengumpulkan sumbangan seikhlasnya. Sumbangan itu nantinya akan diberikan pada keluarga haji Mansur yang meninggal dunia. Mbak Yana dan mas Heri yang nantinya akan mewakili kami takziah kerumah duka.

Selesai pertemuan, aku langsung pulang ke rumah. Lumayan setengah hari aku bisa mengambil bambu di kebun, jadi hari minggu bisa mulai membuat warung.

Sebelum pulang, aku membeli lima bungkus es dawet untuk bapak, ibu, Dahlia, Ridho dan juga aku. Uang yang diberi bu walikota dan haji Mansur sudah aku kasih ke Dahlia, namun Dahlia hanya mengambil seratus ribu, sedangkan lima puluh ribu dia kembalikan. Untuk pegangan aku katanya.

Sesampainya di rumah, tidak lagi kulihat motor bapak di depan rumah, namun motor mbak Tika yang sudah parkir di pinggir jalanan. Ini pasti buntut dari datangnya mas Rendi ke kesini kemarin sore.

Plak ... Terdengan seperti suara tamparan dibarengi dengan suara jeritan Dahlia.

"Dasar perempuan gat*l kamu ya, sengaja kamu mau bostalgia sama mas Rendi. Hah?"

"Au ... Sakit Mbak." Gegas aku berlari masuk ke dalam rumah.

Mbak Tika! Apa-apaan ini? Kenapa mbak jambak rambut Dahlia?" Aku mencoba melepaskan jambakan dirumabut Dahlia. Wanita itu meringis kesakitan.

"Bilang sama istri kamu ini, jangan kegatelan jadi perempuan!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 70

    Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 69

    ****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 68

    "Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 67

    Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 66

    Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 65

    Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status