Share

Bab 6

Sikap Dahlia mendadak berubah tampak seperti orang yang sedang salah tingkah semenjak kedatangan mas Rendi. Dia makin banyak diam, padahal biasanya dia akan banyak biacara mengomentari ini itu.

Selesai menurunkan atap rumbia, karyawan toko bangunan tadi langsung pulang. Sudah kutawari untuk mampir, sekedar minum kopi, tetapi dia tidak mau,katanya masih banyak kerjaan yang harus dia selesaikan.

"Mas Rendi tadi ngapain kesini Dek?" tanyaku sembari menyeruput kopi buatan Dahlia.

"Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Dahlia membenarkan posisi duduknya, seperti ada yang tak nyaman ketika aku menanyakan mas Rendi.

Selama ini aku tak pernah melihat Dahlia ngobrol berdua langsung. Jika sedang berkunjung ke rumah ibu dan di sana ada mbak Tika dan mas Rendi, Dahlia selalu menghindar. Aku rasa karena mbak Tika memang selalu judes terhadap Dahlia.

"Oh," jawabku singkat. Tak ingin mencurigai Dahlia, walaupun sebenarnya hatiku berkata lain. Seperti ada yang disembunyikan dari Dahlia.

Kulirik satu plastik berlogo swalayan terkenal dengan warna merah mendominasi, banyak jajanan didalam plastik itu. Aku sendiri mana mampu membelikan Ridho jajan di minimarket itu.

"Itu semua mas Rendi yang bawa?"

"Iya Mas, tadi udah aku tolak, tapi dia memaksa dan meninggalkan kantong plastik itu disitu." Dahlia menunjuk plastik itu dengan matanya.

"Yasudah, berarti rezekinya Ridho. Sebenarnya Mas hanya takut menimbulkan masalah untuk kita kalau menerima pemberian dari mas Rendi. Pasti kamu ingat 'kan waktu itu mbak Tika marah."

Dulu pernah waktu kami berkunjung ke rumah ibu saat lebaran haji, mas Rendi memberi uang jajan untuk Ridho, tetapi setelah mbak Tika tahu, uang itu langsung diambinya kembali. Tak hanya itu, umpatan kasarpun tak luput keluar dari mulut mbak Tika.

"Iya Mas, aku ingat. Makanya aku tadinya gak mau terima, tapi mas Rendi terus maksa. Padahal udah aku bawa ke mobilnya."

Aku genggam tangan Dahlia yang dingin, dia sangat gugup, mungkin benar yang kuduga jika dia begitu takut nantinya akan berurusan dengan mbak Tika.

"Ridho mana?" tanyaku untuk mengalihkan pembicaraan tentang mas Rendi.

"Udah berangkat ngaji dari asar tadi, katanya mau ada seleksi lomba adzan di kecamatan," jawab Dahlia, dari suaranya sudah mulai manguasai dirinya.

"Oh, yang untuk acara Maulid Nabi ya?"

"Iya Mas, semoga Ridho terpilih ya."

"Aamiin," jawabku.

Setelah shalat Magrib, aku memindahkan rumbia yang tadi hanya diletak dipinggir jalan. Dahli aturut membantu, wanita yang telah membersamaiku selama 8 tahun ini mempunyai tenaga yang kuat. Dia memang sudah bukan perempuan manja.

"Biar Mas aja Dek, kamu siapin untuk kita makan aja."

"Sudah aku siapin Mas, pas kamu shalat Magrib tadi, sekarang aku mau bantuin kamu, biar cepat selesai, cepat makan, cepat istirahat." kilahnya. Akupun tak banyak bicara lagi, hanya terus fokus dengan kerjaan, begitupun dengan Dahlia.

"Assalamualaikum," sapa Ridho.

"Wa'alaikumsalam, gimana seleksinya? Lolos?" cecar Dahlia tak sabar.

"Alhamdulillah, lolos bu. Dodo, Feri sama Salim mewakili desa kita untuk lomba di kecamatan." jawab Ridho sumringah.

"Alhamdulillah, latihan terus ya, nanti bapak d******d-in suara adzan, biar bisa kamu contoh," sambungku.

"Iya pak, bapak nanti ajarin juga ya," aku dan Dahlia mengangguk. Kemudian kami makan malam bersama.

---

Pukul tujuh, aku sudah siap berangkat kerja. Ridho sudah berangkat sekolah sejak sepuluh setengah jam yang lalu. Jarak sekolahnya hanya 500 meter dari rumah kami. Dia selalu menolak jika mau aku antar, mau bareng temen-temen katanya.

Tin ... Suara klakson motor terdengar. Segera aku ke depan untuk melihat siapa yang datang. Ternyata bapaknya Dahlia. Akupun langsung menyalaminya.

"Udah mau berangkat Tur?" tanya pria yang selalu memakai kopiah itu.

"Iya pak, Dahlia lagi siap-siap mau berangkat ngajar, sebentar Guntur panggilkan." Bapak mengangguk dan berjalan ke samping rumah.

Aku menyusul Dahlia di kamar, dia sedang menyemprotkan parfum dengan aroma Jasmine kesukaannya.

"Dek, ada bapak." Aku melongok dibalik pintu.

"Iya mas, sebentar." Dengan tergesa, Dahlia berhambur keluar rumah, mencari keberadaan bapak. Aku mengekor dibelakang Dahlia.

"Mau dibuat kapan Nduk?"

"Nunggu bambunya dulu pak, hari Minggu baru mas Guntur mau ambil di kebun dekat sawah."

"Ooo ...," bakak membulatkan bibirnya. "Berarti hari bapak mau ratakan tanahnya dulu," sambung beliau. Bapak sangat antusias membuatkan warung untuk anaknya. Padahal bahan-bahan belum terkumpul semua.

"Gak apa-apa kami tinggal pak?" Aku merasa tak enak, bapak kerja sendirian dirumah, sendangkan aku harus masuk kerja.

"Ya gak apa-apa, nanti ibumu nyusul kesini."

"Kopiny ada dimeja makan pak, ada bakwan sama ubi rebus dibawah tudung, Lia nanti paling jam 10 udah pulang."

"Iya Nduk," jawab bapak. Kemudian masuk kerumah dan duduk di sofa yang sudah usang.

Dahlia masuk ke dapur mengambilkan kopi hitam dan meletakkan di meja depan bapak duduk.

"Kami tinggal dulu ya pak," pamitku, disusul Dahlia.

Tempak ngajar Dahlia kebetulan satu arah dengan tempat kerjaku. Jadi bisa ngirit bahan bakar jika berangkat serempak. Pulang ngajar, biasanya Dahlia bareng teman sesama guru atau naik angkutan umum, karena jam kerjaku lebih lama dibandingkan Dahlia.

Hari ini toko hanya buka setengah hari, karena ada kerabat haji Mansur yang meninggal. Sebelum pulang, semua karyawan toko berkumpul diruang pertemuan. Ruangan ini baiasa digunakan untuk rapat atau sekedar briefing.

Mbak Yana--kapala toko mengintruksikan pada setiap karyawan untuk mengumpulkan sumbangan seikhlasnya. Sumbangan itu nantinya akan diberikan pada keluarga haji Mansur yang meninggal dunia. Mbak Yana dan mas Heri yang nantinya akan mewakili kami takziah kerumah duka.

Selesai pertemuan, aku langsung pulang ke rumah. Lumayan setengah hari aku bisa mengambil bambu di kebun, jadi hari minggu bisa mulai membuat warung.

Sebelum pulang, aku membeli lima bungkus es dawet untuk bapak, ibu, Dahlia, Ridho dan juga aku. Uang yang diberi bu walikota dan haji Mansur sudah aku kasih ke Dahlia, namun Dahlia hanya mengambil seratus ribu, sedangkan lima puluh ribu dia kembalikan. Untuk pegangan aku katanya.

Sesampainya di rumah, tidak lagi kulihat motor bapak di depan rumah, namun motor mbak Tika yang sudah parkir di pinggir jalanan. Ini pasti buntut dari datangnya mas Rendi ke kesini kemarin sore.

Plak ... Terdengan seperti suara tamparan dibarengi dengan suara jeritan Dahlia.

"Dasar perempuan gat*l kamu ya, sengaja kamu mau bostalgia sama mas Rendi. Hah?"

"Au ... Sakit Mbak." Gegas aku berlari masuk ke dalam rumah.

Mbak Tika! Apa-apaan ini? Kenapa mbak jambak rambut Dahlia?" Aku mencoba melepaskan jambakan dirumabut Dahlia. Wanita itu meringis kesakitan.

"Bilang sama istri kamu ini, jangan kegatelan jadi perempuan!"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status