Share

Bab 4

Penulis: Ayaa Humaira
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-26 16:50:47

"Astaghfirullah," ucap Dahlia lirih.

Beras satu karung yang kuletakkan kemarin sama sekali tidak disentuh oleh ibu, bahkan memindahkannyapun tidak.

Sekarang beras itu sudah beserakan dimana-mana karena karungnya bocor dipatokin ayam, sementara cipratan air bercampur tanah mengotori permukaan karung.

Dahlia turun dan memungut beras yang berserakan, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik. Sementara karung yang kotor dia lap pakar ujung bajunya. Aku menghardik ayam-ayam itu agar tidak mendekat lagi.

Suara knop pintu terdengar, sepertinya seseorang membuka dari dalam.

"Apa sih ribut-ribut?" Ibu keluar dengan mengucek matanya ynag masih setengah merem.

"Ini bu, berasnya ibu lupa masukan ya? Dimakan ayam, kan sayang?" ucap Dahlia sembari menyodorkan beras yang kami bawa kemrin.

"Sengaja gak dimasukan, biar untuk makan ayam, beras merk itu mana cocok dilidah ibu."

Dahlia mengelus dadanya, ibu langsung masuk dengan membanting pintu.

"Mas, kita bawa pulang saja berasnya," ucap Dahlia, matanya sudah memerah. Begitupun denganku, dada ini rasanya sempit, tak ada pasokan udara masuk kedalam.

"Iya," jawabku singkat.

Aku membopong beras yang masih basah itu keatas motor, Ridho yang masih mengantuk mendengakkan kepalanya, karena merasa ada pergerakan diatas motor.

"Sudah sampai ya pak?"

"Belum, baru mau berangkat," jawabku. Kemudian Ridho kembali membenamkan wajahnya diatas stang motor, melanjutkan tidurnya.

Setelah Dahlia naik keboncengan dengan memangku beras yang sudah tidak karuan bentuknya itu, kemudian aku jalankan motorku dengan kecepatan terendah, karena jalanan licin. Di desa tempatku dilahirkan memeng belum terjamah aspal, hanya dilapisi koral saja, jadi kalau hujan turun, jalanan akan bercampur lumpur menyebakan licin.

Setelah keluar dari desa, aku bisa menambah kecepatan laju motorku, ingin rasanya cepat sampai dan mengistirahatkan otak yang sangat capai, tapi aku harus berangkat kerja. Kulirik aku Dahlia lewat kaca spion, wanita yang kini dipanggil ibu oleh anakku itu menyeka air matanya yang menalir deras dipipi.

Kuraih tangganya yang masih setia memegangi karung beras diatara kami duduk. Kemudia kugenggam erat tangannya agar bisa mentranfer energi untuknya. Buka. Hanya dia yang terluka, tapi aku juga. Kami sama-sama terluka bukan karena orang ketiga, tapi karena ibuku.

"Fokulslah nyetir mas, nanti ada lubang kamu gak tahu." Dahlia. Mengurai gengaman tanganku. Akupun menurut.

Sampai dirumah, Ridho langsung kubopong kedalam kamar, pasti semalam dia begadang sama Farid, makanya dia tertidur sepanjang jalan. Sementara Dahlia langsung membawa beras dalam karung itu kebelakang.

Setelah meletakan Ridho diatas kasuh busa yang telah tipis, aku langsung mandi dan bersiap untuk berangkat kerja.

Dimeja makan audah ada lauk dari mas Rahmat yang sudah dipanaskan Dahlia. Akupun mengambil piring, kemudian menyendok nasi dari dalam megicom yang sudah patah penguncinya, maklum megikom sudah dipakai seumuran kami menikah.

"Dek," panggil pada Dahlia, terdengar dia sedang menampi beras disamping rumah. Dahlia tidak menjawab, mungkinn dia tidak dengan karena berisiknya suara ayam yang sedang makan bekas tampian Dahlia.

Akupun menyusulnya kesamping rumah, karena aku akan segera berangkat kerja.

"Dek, mas berangkat dulu ya." Ternyata Dahlia tengah melamun. Dipangkuannya terdapat tampah yang berisi beras bercampur tanah.

"Dek," panggilku lagi.

"Eh iya mas, mas sudah sarapan?" tanyanya gugup. Tangan kanannya menyeka sudut netranya.

Aku mendekat dan ku1pengang pundaknya, "maafkan ibu ya!" pintaku, walaupun aku sangat membenci sikap ibu, tapi aku berusaha memaafkannya, walaupun susah.

"Satu kilo beras sangat berhaga untuk kita mas, aku cuma kasian sama ini beras, sama sekali gak dihargai, ini kan makanan."

"Maafin mas dek, sebenarnya kemrin ibu yang nyurih narok beras itu diteras, karena didalam sudah ada beras mahal pemberian mbak Tika."

"Mas berangkat gih, nanti terlambat. Gak usah ambil lembir mas," pintanya. Ya ... Aku rasa lemburku selama beberapa hari ini tak berarti apa-apa.

"Mas berangkat ya!" Dahlia menggangguk dan meraih tanganku untuk dia cium, kemudian kucium pucuk kepalanya.

Kuambil kunci motor yang kuletak dilemari penyimpanan, mataku tertuju pada Sekarung beras diabawah meja. Itu seperti beras yang kubeli di toko grosir kemarin. Jadi beras yang dibawa kerumah ibu beras siapa?

Akupun balik lagi kesamping rumah, demi memastika karung beras yang tadi kami bawa kerumah ibu.

Dan ternyata memang beda, setelah kuperhatikan bwras itu lebih malah dari yang kubeli. Rasanaya pulen dan teksturnya empuk.

"Dek, apa beras yang dibawa kerumah ibu kamu ganti?" tanyaku dengan hati-hati.

"I-iya mas .... maafkan aku mas, bukannya aku tidak menghargai kerja kerasmu lembur tiap malam, tapi aku setelah aku melihat beras yang mas beli untuk ibu, aku merasa akalau ibu tidak akan suka dengan beras yang kita bawa, makanya aku beli lagi yang sedikit mahal, agar ibu mau terima, biar yang itu untuk kita, tapi sepertinya sama aka mas, ibu tetap gak mau terima," ucapnya panjang lebar.

"Dek, kamu gak salah, gak perlu minta maaf, mas yang seharusnya minta maaf, nanti mas ganti uang kamu ya. Kalau ada lemburan nanti mas ambil, biar bisa ganti uang kamu."

"Mas gak usah, gak usaha diganti," ucap Dahlia lagi, dia beranja kedalam dan meletakan tampah berisi beras diatas meja makan.

"Ini bekalnya mas!" Dahlia menyodorkan kotak nasi yang dia masukan kedalam kantong plastik.

"Makasiha ya dek." Akupun beranjak menuju motorku yang masih terparkir dipinggir jalan. Kemudian menghidupkan mesinnya dan melaju menuju pabrik roti.

Aku berkerja dibagian produksi, sesekali aku juga diajak haji Mansur mengantar langsung pesanan roti ke acara-acara.

Belum sampai sore, adonan yang kubuat sudah selesai, akupun duduk diteras toko untuk melepas lelah, sambil membersihkan sisa adonan yang menempel ditangan.

"Tur, udah selesai?" teriak haji Mansur dari parkiran toko, disana haji Mansur biasa memarkirkan mobil operasional yang biasa untuk mengantar roti.

"Udah Ji," jawabku, sembari mendekat kearah haji Mansur. "Ada apa Ji?"

"Kawani aku antar roti, kamu yang nyetir ya," ucapnya.

"Oh nggeh Ji, monggo." Akupun langsung naik kedalam mobil dan duduk dibalik stir. Haji Mansurlah yang dulu mengajariku nyetir, katanya menambah keahlian itu penting.

"Mau diantar kemana Ji?" tanyaku, karena biasanya dia kan mengantar ditempat orang-orang penting saja.

"Ke rumah walikota, ada acara syukuran nanti malam."

Akupun mengangguk, pak Walikota adalah langganan kami, setiap mengadalan acara pasti pesan roti ke toko haji Mansur. Dengan gesit aku melajukan kendaraan ini, karena sudah hapal jalannya, aku tak perlu bertanya pada haji Mansur.

Sesampainya dikediaman walikota, aku langsung menurunkan kotak-kotak berisi roti dan membawa masuk kedalam rumah pak Walikota melewati pintu samping.

Selesai angkut roti, akupun membereskan mobil.

"Mas ini ada titipan dari bu Walikota," ucap seorang wanita berusia setengah baya menyerahkan uang satu lembar bergambar presiden dan wakil presiden pertama Indonesia.

Tanganku mengulur ragu, "apa ini bu?"

"Uang tips, katanya."

"Tapi saya sudah digaji pak haji Mansur?' tolakku, sembari menoleh kearah haji Mansur yang tengah berbincang dengan pak Walikota. Diapun mengangguk, akhirnya dengan persetujuan haji Mansur, aku menerima uang itu.

"Makasih ya Bu." Wanita yang kutaksir seumuran ibu itu mengangguk dan berlalu masuk kedalam rumah.

Hampir Magrib kami sampai di pelataran toko, akupun langsung pamit.

"Sebentar Tur," cegah haji Mansur.

"Iya Ji."

"Ini untuk tambahan beli beras." Lelaki bersahaja itu mengulurkan uang berwarna biru.

"Tapi tadi kan sudah dikasih bu walikota Ji," tolakku.

"Udah, gak apa-apa. Nih."

"Makasih Ji." Akupun mencium uang itu dengan berkaca-kaca. Uang ini bisa untuk menggantikan uang Dahlia yang dia gunakan untuk membeli beras premium kemarin.

Sampai dirumah, aku sudah tidak sabar memberikan uang ini kepada Dahlia.

"Mbok jadi orang itu mikir! kalau udah dikasih ngapa diambil lagi!" bentak seseorang dari dalam rumah.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 70

    Guruh mendudukan ibunya di kursi khusus pelanggan, "Mbak tolong pangkas habis rambut Ibu saya!""Hah? Jangan! Jangan lakukan itu pada Ibu, Ruh!" Tega kamu Ruh. Darinkecil Ibu sayang-sayanh, udah besar, mentang-mentang kamu udah bisa cari uang sendiri malah mau berbuat seenaknya sama Ibu," Sri masih saja meronta-ronta.Pegawai salon hanya bingung melihat Guruh dan ibunya. Mereka belum berani mendekat. Mereka hanya berbisik-bisik antar sesama karyawan.Sri semakin meronta ketika melihat seseorang di luar salon tampak tengah merekam aksi Guruh yang ingin membotaki rambunya. Wanita paruh baya itu teriak meminta tolong untuk melepasnya dari Guruh."Tolong, anak saya mau membotaki rambut saya," ujar Sri.Pria jangkung itu akhirnya geram melihat seseorang yang tengah merekamnya. Dia bergerak menuju pintu masuk salon dan menghardik perekaman video itu."Apa? Kalian mau memviralkan saya?" Melihat Guruh melotot, orang tersebut langsung mematikan kameranya. Dan tanpa berkata sepatah katapun dia

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 69

    ****Dua tahun kemudian "Sin, Mbah minta ayamnya sedikit saja.""Ngak boleh, kata Mama, Mbah tu cuma boleh makan tempe goreng!" Wanita tua itu hanya menelan ludahnya berkali-kali karena melihat sang cucu menikmati gurihnya ayam krispi. Sudah sangat lama sekali Sri ingin sekali mencicipi ayam berbalut tepung yang renyah itu. Suara krenyes-krenyes di dalam mulut Sindi membuat liur Sri tak mampu ia tahanNamun angan hanya tinggal angan, ketika Sindi sang cucu lebih memilih memberikan sisa ayamnya kepada Cery--kucing kesayangannya dibanding memberikan oada neneknya.Hati Sri berdesir melihat pemandangan itu, teringat kejadian beberapa tahun silam, ketika dia lebih memilih memberikan beras yang dibelikan Guntur anak tengahnya kepada ayam kesayangan."Yaa Allah, apa ini balasan untukku?" Lirih Sri dalam tangisnya.Sudah dua tahun terakhir, Sri tinggal besama Guruh, anak bungsunya. Dan selama itulah dia hanya memakan makanan sisa anak dan menantunya makan. Bahkan lezatnya ayam gorengpun sud

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 68

    "Nah ini orangnya datang." Ternyata di sana ada Fahri dan keluarganya. Apa mereka tengah membicarakan perihal tanah itu?Aku dan Dahlia dipersilahkan masuk oleh Ibunya Nia. Wanita berjilbab instan itu kemudian masuk ke dalam dapur.Di ruang tamu rumah orang tua Nia ada Fahri dan juga kedua orang tuanya. Laki-laki itu menatap sinis ke arahku. Sementara Nia tidak terlihat. Mungkin dia sedang menidurkan bayinya.Beberapa saat kami hanya saling diam. Aupun bingung harus memulai dari mana. Karena aku dan Dahlia merasa tidak enak jika memamg mereka datang untuk membicarakan masalah rumah tangga Nia dan Fahri.Fahri yang tadinya terlihat seperti ingin menerkamku, kini laki-laki itu diam seribu bahasa. Hanya menatap tak suka dengan kehadiranku dan Dahlia."Maaf, Pak. Saya boleh menyusul Ibu ke dapur," ucap Dahlia akhirnya membuka suara"Oh. Silahkan Lia. Itu si Nia lagi di kamar, tadi anaknya rewel," jawab Bapaknya Nia.Dahlia memang sudah akrab dengan orang tua Nia sejak mereka SMA dulu. Da

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 67

    Aku tidak peduli dengan jal*ng itu. Dia sudah kuceraikan.""Jangan bercada kamu Fahri!"Fahri melirikku sinis, "sudah jangan banyak bicara! Sekarang katakan kau setuju yang mana?"Aku menatap laki-laki bermata bengis itu sejenak. Sepertinya pria ini tidak bisa di ajak berunding. Percuma saja aku menghubungi Nia, toh dia sudah di cerai dan tanah itu memang belum balik nama atas nama dia.Aku kira hanya dengan surat kuasa, maka semuanya akan beres, ternyata Nia memalsukan surat itu."Aku akan berunding dengan Dahlia terlebih dahulu," jawabku kemudian."Oke, satu hari. Kalau sampai besok belum juga ada keputusan, maka semua yang ada di sini akan aku robohkan rata dengan tanah!""Iya," jawabku. Laki-laki itu bangkit dari duduknya dan keluar tanpa berpamitan.Aku menarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Bersamaan dengan itu, Dahlia masuk tanpa Mariam di gendongnnya. Sudah di pastikan anak bayi itu sudah menjadi bahan candaan para karyawan di depan."Mas, ayo pulang!" Tiba-tiba Dahli

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 66

    Guruh bicara tanpa jeda. Nada bicaranya sangat tinggi dan berapi-api. Sementara taku hanya terdiam mendengar penuturan adik bungsuku itu. Apa maksud semua yang di bicarakan Guruh? Aku benar-benar tak mengerti."Maksud kamu apa, Guruh?" bentakku."Halah, nggak usah pura-pura beg0 gitu, Mas. Kurang apa lagi sih Ibu di mata kamu? Di sudah berubah, tapi kamu malah buang Ibu. Kamu mau balas dendam, hah?" teriak Guruh di seberang telepon. Pernyataannya semakin membuatku tak mengerti apa yang sedang terjadi."Hei, Guruh. Jangan belibet. Ngomong yang jelas!" balasku"Memang, kalau dari dulu pembawa sial ya seperti ini!" Tut ... Tut ... Tut. Sambung telepon di putus sepihak. Hampir saja kata-kata kasar keluar dari mulutku. "Astaghfirullah," ucapku sambil mengelus dada, menahan amarah yang sudah sampai ubun-ubun. Dahlia mendekat dan mengusap bahuku pelan, "ada apa, Mas? Kenapa ngomongnya sampai teriak-teriak begitu?""Ini si Guruh, bilang kalau aku buang Ibu. Apalah yang Ibu katakan sama Guru

  • BAKTI SI ANAK LAKI-LAKI YANG TIDAK DIHARGAI    Bab 65

    Sepeninggalan Ibu, aku da Dahlia bersiap untuk membuka kedai yg ada di depan rumah. Jam delpan, Mariam sudah tidur serelah di mandikan Dahlia.Bayi berumur tujuh bulan itu memang suka bangun di kala subuh dan akan tidur setelah makan dan mandi pagi. Siang setelah dzuhur bisanya dia akan tidur lagi. Begitulah rutinitasnya setiap hari. Kesempatan itu Dahlia ambil untuk mempersiapkan jualan mie ayam kami. Selesai mempersiapkan jualan, aku langsung berangkat menuju kedai pinggir pantai. Di sana bisanya ramai ketika jam makan siang. Jadi dari jm sepuluh pagi sampai jam sebelas waktunya santai-santai, karena di jam-jam tersebut, pelanggan masih sepi.Jam sembilan kurang aku sudah sampai di kedai pinggir pantai. Di sana beberapa karyawan sudah menunggu. Mereka langsung menurunkan barang yang sudah aku siapakan di rumah. Sembari mengawasi para karyawan, aku membuka laptop untuk mengecak penjualan yang roti milik Haji Mansur. Aku lihat sekilas omset di toko roti milik Haji Mansur mengalami p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status