Suara ribut-ribut dari dalam rumah seketika melenyapkan senyuman dari bibirku. Suara teriakan ibu paling mendominasi, tapi sama sekali tak kudengar suara balasan dari Dahlia.Segera kusenderkan motor bututku begitu saja didinding rumah. Langkah kaki sengaja kuperlebar agar segera sampai kedalam rumah."Ibu, mbak Tika, ada apa?" tanyaku bingung. Ternyata air mata Dahlia sudah melaut. Entah sejak kapan mereka berdebat, bahkan kini sudah mendekati Magrib."Ini lagi, anak gak berg*na, bisa-bisanya kalian ambil lagi beras yang sudah kalian kasih." bentak ibu sambil menunjuk wajahku."Astaghfirullah, Bu. Jadi Ibu sama mbak Tika ribut-ribut hanya karena beras? Jangan begini dong bu! Gak enak sama tetangga." sentakku. Karena tidak habis pikir, datang Magrib hanya karena meributkan soal beras."Bu, itu beras Ibu kan sudah tidak mau, jadi daripada mubazir sampai kehujanan, mending Guntur bawa pulang lagi. Ibu kan tidak mau makan beras yang itu." protesku."Memang bukan untuk ibu, untuk ayam-aya
Sikap Dahlia mendadak berubah tampak seperti orang yang sedang salah tingkah semenjak kedatangan mas Rendi. Dia makin banyak diam, padahal biasanya dia akan banyak biacara mengomentari ini itu.Selesai menurunkan atap rumbia, karyawan toko bangunan tadi langsung pulang. Sudah kutawari untuk mampir, sekedar minum kopi, tetapi dia tidak mau,katanya masih banyak kerjaan yang harus dia selesaikan."Mas Rendi tadi ngapain kesini Dek?" tanyaku sembari menyeruput kopi buatan Dahlia."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Dahlia membenarkan posisi duduknya, seperti ada yang tak nyaman ketika aku menanyakan mas Rendi.Selama ini aku tak pernah melihat Dahlia ngobrol berdua langsung. Jika sedang berkunjung ke rumah ibu dan di sana ada mbak Tika dan mas Rendi, Dahlia selalu menghindar. Aku rasa karena mbak Tika memang selalu judes terhadap Dahlia."Oh," jawabku singkat. Tak ingin mencurigai Dahlia, walaupun sebenarnya hatiku berkata lain. Seperti ada yang disembun
Dahlia"Mas Rendi ngapain kesini tadi Dek?" tanya mas Guntur tiba-tiba, diasaat hatiku tengah mengontrol perasaan yang tak menentu."Cuma mampir, kangen Ridho katanya Mas, sama kasih jajan untuk Ridho." Berkali-kali aku membenarkan posisi dudukku agar tak begitu kentara jika aku tengah salah tingkah dan gugup.Mas Rendi, orang yang dulu sangat kucintai dan kuharapkan dia yang menjadi ayah dari anak-anakku, namun nyatanya laki-laki itu pergi sehari sebelum melamarku. Acara lamaran yang sudah aku dan orang tuaku persiapkan harus kandas begitu saja.Jangan ditanya bagaimana rasa, sudah pasti sakit, bahkan karena kegagalan itu, aku sempat mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Aku tidak pernah lagi berbaur dengan tetangga selama berbulan-bulan. Tak hanya itu, akupun menutup diri dari media sosial. Keseharianku hanya kuhabiskan dengan menulis, menulis surat tepatnya. Setiap hari aku selalu menulis surat untuk mas Rendi, apapun yang aku rasakan aku tulis didalam surat itu. Tapi surat
"Kamu gak apa-apa Dek?" Tak kujawab pertanyaan mas Guntur. Tanganku masih kuletakan dibawah guyuran air kran.Hatiku berdebar tidak karuan, dunia ini kadang terasa sempit, dulu ketika mas Rendi pergi begitu saja, sangat sulit aku temukan. Bahkan dirumahnya dia tidak pernah muncul. Orang tuanya pun seakan-akan lupa tetang diriku.Sekarang dia hadir dan menjadi kakak iparku. Bod0hnya aku tidak menyelidiki keluarga mas Guntur sebelumnya."Gak apa-apa Mas, cuma panas sedikit," jawabku, seraya mengoleskan pasta gigi kearea tangan yang terkena air panas."Kamu istirahat aja di kamar, biar Mas yang beresin depan sekalian buatkan kopi lagi untuk mas Rendi."Deg ... Jadi benar yang didepan itu mas Rendi, tadinya aku berharap aku hanya salah lihat dan kebetulan mirip dengan mas Rendi.Aku menurut dengan perkataan mas Guntur, segera aku ke kamar untuk menenangkan diriku. Tak berapa lama mas Guntur menyusulku ke kamar, dia membawa kotak yang dibungkus dengan kertas kado."Ini dari mas Rendi, Dek.
Posisiku menjadi guru honor terancam, karena tak lama lagi akan ada guru PNS yang akan ditugaskan di SD tempatku mengajar.Bukan aku tak pernah mendaftar diri menjadi CPNS, tetapi memang belum rezekiku menjadi abdi negara. Awal semester depan aku sudah tidak bisa lagi mengajar, posisi lainpun sudah penuh. Dengan sangat terpaksa aku harus mencari pekerjaan lain.Begitupun dengan Nia, dia senasib denganku. Dia akan lebih dulu keluar dari sekolah yang hampir 10 tahun ini menja diladang mencari rezeki, tetapi kami lebih suka menyebutnya sebagai tempat berbagi ilmu"Gak usah ngelamun gitu, masih banyak rezeki kita selain disini," ujar Nia mengagetkan lamunanku."Bukan itu yang aku pikirkan Nia, tapi pasti moment seperti ini tidak akan terulang lagi. Kumpul bareng begini, makan dikantin bareng-bareng. Pasti kita akan jarang ketemu, apalagi kalau kamu nanti ikit suami kamu." Nia tersenyum."Perpisahan disini bukan berarti kita tidak bisa ketemu ditempat lain. Di rumahku misal, atau kamu," uj
Rencanaku untuk membuka warung mie ayam disambut baik oleh bapak dan ibu, bahkan mereka siap untuk menambah modal jika uang yang aku punya masih kurang. Bapak yang paling semangat untuk membuatkanku warung. Pagi sekali Bapak sudah datang ketika aku masih sibuk di dapur. Celoteh bapak dan mas Guntur terdengar hingga kesini. Aku langsung membuatkan kopi hitam untuk bapak. Aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku masih ada dan sehat, walaupun perlakuan ibu mertuaku tidak sebaik yang aku kira diawal menikah, bahkah bisa dikatakan tidak baik. Aku tetap berusaha bersikap sebagai selayaknya seorang menanntu. Membantu jika bisa aku bantu dan memberi selagi bisa aku beri.Aku juga sebisa mungkin membujuk mas Guntur untuk tidak membenci ibu, dengan perlakuan yang semena-menanya itu. Aku tidak mau pada akhirnya nanti akan berbalik pada kami nantinya sebagai orang tua. Tugas kita hanya berbakti dan mendoakan kebaikan untuk orang tua.Setelah berbincang sebentar dengan bapak, kami berdua
Mas Rendi menarik paksa tangan mbak Tika dari rambutku. Perlahan jambakan itu terlepas, aku langsung berlalu masuk kedalam kamar untuk mencari jilbab.Saat aku keluar dari kamar, mas Guntur sudah berdiri didepan pintu. Dari raut wajahnya, dia sangat mencemaskan aku."Kamu gak apa-apa, Dek? Pipi kamu merah. Biar mas kompres dulu ya." Aku hanya mengangguk, air mata yang sedari tadi aku tahan, nyatanya tak mampu kubendung lagi. Kemudian kulangkahkan kaki menuju kursi didekat meja makan. Di ruang tamu kami bisa mendengar jika mbak Tika dan mas Rendi tengah berdebat. Samar terdengar mbak Tika masih saja mengataiku."Sudah Mama bilang, jangan pernah berhubungan lagi dengan perempuan gatal itu.""Stop Tika, jangan katakan lagi kamu katakan Dahlia perempuan gatal!"Setelah memeberiku kompres dengan batu es, aku dan mas Guntur keluar, kemudian duduk didepan mereka."Ada apa ini, Mas? Apa ini karena kedatangan Mas Rendi kesini kemarin?" Mas Guntur menengahi mereka yang masih bersitegang."Dia!
RendiAku dan Dahlia sepakat untuk melanjutkan kejenjang yang lebih serius setelah tiga tahun pacaran. Semenjak Dahlia sekolah kelas dua SMA, gadis itu memang tak berniat melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya.Beruntung waktu itu aku sudah bekerja diperkebunan milik pemerintah sebagai karyawan tetap, jadi nanti selepas menikah jika Dahlia ingin melanjutkan kuliah, akan aku biayai. Karen semngat Dahlia untuk menutut ilmu msih sangat tinggi, terlebih cita-cita dia menjadi seorang guru.Aku tinggal di mess belakang kantor, karena jarak tempuh dari rumahku ke tempatku bekerja memakan waktu sekitar dua jam, jadi kalau harus bolak balik, akan capai dijalan.Waktu itu pertama kali bertemu dengan Dahlia ketika motornya mogok ditengah jalan. Aku yang kebetulan lewat hendak cari sarapan berniat membantunya. Setelah kuperiksa, ternyata businya mati. Terpaksa harus ganti dengan busi yang baru.Aku membantu dia mendorong motornya hingga sampai di bengkel terdekat. Waktu itu Dahlia hendak be