Share

Bab 4

"Astaghfirullah," ucap Dahlia lirih.

Beras satu karung yang kuletakkan kemarin sama sekali tidak disentuh oleh ibu, bahkan memindahkannyapun tidak.

Sekarang beras itu sudah beserakan dimana-mana karena karungnya bocor dipatokin ayam, sementara cipratan air bercampur tanah mengotori permukaan karung.

Dahlia turun dan memungut beras yang berserakan, kemudian dimasukan kedalam kantong plastik. Sementara karung yang kotor dia lap pakar ujung bajunya. Aku menghardik ayam-ayam itu agar tidak mendekat lagi.

Suara knop pintu terdengar, sepertinya seseorang membuka dari dalam.

"Apa sih ribut-ribut?" Ibu keluar dengan mengucek matanya ynag masih setengah merem.

"Ini bu, berasnya ibu lupa masukan ya? Dimakan ayam, kan sayang?" ucap Dahlia sembari menyodorkan beras yang kami bawa kemrin.

"Sengaja gak dimasukan, biar untuk makan ayam, beras merk itu mana cocok dilidah ibu."

Dahlia mengelus dadanya, ibu langsung masuk dengan membanting pintu.

"Mas, kita bawa pulang saja berasnya," ucap Dahlia, matanya sudah memerah. Begitupun denganku, dada ini rasanya sempit, tak ada pasokan udara masuk kedalam.

"Iya," jawabku singkat.

Aku membopong beras yang masih basah itu keatas motor, Ridho yang masih mengantuk mendengakkan kepalanya, karena merasa ada pergerakan diatas motor.

"Sudah sampai ya pak?"

"Belum, baru mau berangkat," jawabku. Kemudian Ridho kembali membenamkan wajahnya diatas stang motor, melanjutkan tidurnya.

Setelah Dahlia naik keboncengan dengan memangku beras yang sudah tidak karuan bentuknya itu, kemudian aku jalankan motorku dengan kecepatan terendah, karena jalanan licin. Di desa tempatku dilahirkan memeng belum terjamah aspal, hanya dilapisi koral saja, jadi kalau hujan turun, jalanan akan bercampur lumpur menyebakan licin.

Setelah keluar dari desa, aku bisa menambah kecepatan laju motorku, ingin rasanya cepat sampai dan mengistirahatkan otak yang sangat capai, tapi aku harus berangkat kerja. Kulirik aku Dahlia lewat kaca spion, wanita yang kini dipanggil ibu oleh anakku itu menyeka air matanya yang menalir deras dipipi.

Kuraih tangganya yang masih setia memegangi karung beras diatara kami duduk. Kemudia kugenggam erat tangannya agar bisa mentranfer energi untuknya. Buka. Hanya dia yang terluka, tapi aku juga. Kami sama-sama terluka bukan karena orang ketiga, tapi karena ibuku.

"Fokulslah nyetir mas, nanti ada lubang kamu gak tahu." Dahlia. Mengurai gengaman tanganku. Akupun menurut.

Sampai dirumah, Ridho langsung kubopong kedalam kamar, pasti semalam dia begadang sama Farid, makanya dia tertidur sepanjang jalan. Sementara Dahlia langsung membawa beras dalam karung itu kebelakang.

Setelah meletakan Ridho diatas kasuh busa yang telah tipis, aku langsung mandi dan bersiap untuk berangkat kerja.

Dimeja makan audah ada lauk dari mas Rahmat yang sudah dipanaskan Dahlia. Akupun mengambil piring, kemudian menyendok nasi dari dalam megicom yang sudah patah penguncinya, maklum megikom sudah dipakai seumuran kami menikah.

"Dek," panggil pada Dahlia, terdengar dia sedang menampi beras disamping rumah. Dahlia tidak menjawab, mungkinn dia tidak dengan karena berisiknya suara ayam yang sedang makan bekas tampian Dahlia.

Akupun menyusulnya kesamping rumah, karena aku akan segera berangkat kerja.

"Dek, mas berangkat dulu ya." Ternyata Dahlia tengah melamun. Dipangkuannya terdapat tampah yang berisi beras bercampur tanah.

"Dek," panggilku lagi.

"Eh iya mas, mas sudah sarapan?" tanyanya gugup. Tangan kanannya menyeka sudut netranya.

Aku mendekat dan ku1pengang pundaknya, "maafkan ibu ya!" pintaku, walaupun aku sangat membenci sikap ibu, tapi aku berusaha memaafkannya, walaupun susah.

"Satu kilo beras sangat berhaga untuk kita mas, aku cuma kasian sama ini beras, sama sekali gak dihargai, ini kan makanan."

"Maafin mas dek, sebenarnya kemrin ibu yang nyurih narok beras itu diteras, karena didalam sudah ada beras mahal pemberian mbak Tika."

"Mas berangkat gih, nanti terlambat. Gak usah ambil lembir mas," pintanya. Ya ... Aku rasa lemburku selama beberapa hari ini tak berarti apa-apa.

"Mas berangkat ya!" Dahlia menggangguk dan meraih tanganku untuk dia cium, kemudian kucium pucuk kepalanya.

Kuambil kunci motor yang kuletak dilemari penyimpanan, mataku tertuju pada Sekarung beras diabawah meja. Itu seperti beras yang kubeli di toko grosir kemarin. Jadi beras yang dibawa kerumah ibu beras siapa?

Akupun balik lagi kesamping rumah, demi memastika karung beras yang tadi kami bawa kerumah ibu.

Dan ternyata memang beda, setelah kuperhatikan bwras itu lebih malah dari yang kubeli. Rasanaya pulen dan teksturnya empuk.

"Dek, apa beras yang dibawa kerumah ibu kamu ganti?" tanyaku dengan hati-hati.

"I-iya mas .... maafkan aku mas, bukannya aku tidak menghargai kerja kerasmu lembur tiap malam, tapi aku setelah aku melihat beras yang mas beli untuk ibu, aku merasa akalau ibu tidak akan suka dengan beras yang kita bawa, makanya aku beli lagi yang sedikit mahal, agar ibu mau terima, biar yang itu untuk kita, tapi sepertinya sama aka mas, ibu tetap gak mau terima," ucapnya panjang lebar.

"Dek, kamu gak salah, gak perlu minta maaf, mas yang seharusnya minta maaf, nanti mas ganti uang kamu ya. Kalau ada lemburan nanti mas ambil, biar bisa ganti uang kamu."

"Mas gak usah, gak usaha diganti," ucap Dahlia lagi, dia beranja kedalam dan meletakan tampah berisi beras diatas meja makan.

"Ini bekalnya mas!" Dahlia menyodorkan kotak nasi yang dia masukan kedalam kantong plastik.

"Makasiha ya dek." Akupun beranjak menuju motorku yang masih terparkir dipinggir jalan. Kemudian menghidupkan mesinnya dan melaju menuju pabrik roti.

Aku berkerja dibagian produksi, sesekali aku juga diajak haji Mansur mengantar langsung pesanan roti ke acara-acara.

Belum sampai sore, adonan yang kubuat sudah selesai, akupun duduk diteras toko untuk melepas lelah, sambil membersihkan sisa adonan yang menempel ditangan.

"Tur, udah selesai?" teriak haji Mansur dari parkiran toko, disana haji Mansur biasa memarkirkan mobil operasional yang biasa untuk mengantar roti.

"Udah Ji," jawabku, sembari mendekat kearah haji Mansur. "Ada apa Ji?"

"Kawani aku antar roti, kamu yang nyetir ya," ucapnya.

"Oh nggeh Ji, monggo." Akupun langsung naik kedalam mobil dan duduk dibalik stir. Haji Mansurlah yang dulu mengajariku nyetir, katanya menambah keahlian itu penting.

"Mau diantar kemana Ji?" tanyaku, karena biasanya dia kan mengantar ditempat orang-orang penting saja.

"Ke rumah walikota, ada acara syukuran nanti malam."

Akupun mengangguk, pak Walikota adalah langganan kami, setiap mengadalan acara pasti pesan roti ke toko haji Mansur. Dengan gesit aku melajukan kendaraan ini, karena sudah hapal jalannya, aku tak perlu bertanya pada haji Mansur.

Sesampainya dikediaman walikota, aku langsung menurunkan kotak-kotak berisi roti dan membawa masuk kedalam rumah pak Walikota melewati pintu samping.

Selesai angkut roti, akupun membereskan mobil.

"Mas ini ada titipan dari bu Walikota," ucap seorang wanita berusia setengah baya menyerahkan uang satu lembar bergambar presiden dan wakil presiden pertama Indonesia.

Tanganku mengulur ragu, "apa ini bu?"

"Uang tips, katanya."

"Tapi saya sudah digaji pak haji Mansur?' tolakku, sembari menoleh kearah haji Mansur yang tengah berbincang dengan pak Walikota. Diapun mengangguk, akhirnya dengan persetujuan haji Mansur, aku menerima uang itu.

"Makasih ya Bu." Wanita yang kutaksir seumuran ibu itu mengangguk dan berlalu masuk kedalam rumah.

Hampir Magrib kami sampai di pelataran toko, akupun langsung pamit.

"Sebentar Tur," cegah haji Mansur.

"Iya Ji."

"Ini untuk tambahan beli beras." Lelaki bersahaja itu mengulurkan uang berwarna biru.

"Tapi tadi kan sudah dikasih bu walikota Ji," tolakku.

"Udah, gak apa-apa. Nih."

"Makasih Ji." Akupun mencium uang itu dengan berkaca-kaca. Uang ini bisa untuk menggantikan uang Dahlia yang dia gunakan untuk membeli beras premium kemarin.

Sampai dirumah, aku sudah tidak sabar memberikan uang ini kepada Dahlia.

"Mbok jadi orang itu mikir! kalau udah dikasih ngapa diambil lagi!" bentak seseorang dari dalam rumah.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status