POV FANI
Rasaku selalu salah. Terhadap siapapun. Termasuk Doni.
Setelah kejadian skripsiku batal, aku jadi sering merenung. Apa yang salah dengan diriku? Meskipun selama ini, aku banyak mencintai pria, bukankah aku hanya sekadar mencintai mereka? Tidak melakukan sesuatu di luar batas norma yang berlaku?
Pun dengan Doni. Aku hanya menyukai dalam diam. Tidak pernah sekalipun berani mendekatinya meski beberapa kali, kami berada dalam tempat yang sama.
Seperti hari itu, Mbak Nia mengajakku piknik ke Dieng, sebuah kawasan wisata dataran tinggi yang terletak di provinsi Jawa Tengah, berada dalam dua kawasan kabupaten, Wonosobo dan Banjarnegara, dengan mengajak Doni serta karena dia adalah sopir pribadi Mas Irsya. Aku sama sekali tidak berani mengajak Doni berbicara.
Pemuda itu, selama kami bersama, sela
"Itu Doni kan, Mas? Tidak dengan Ilma. Aku benar-benar merasa berada di tempat asing saat dia berada di sini. Seolah, dia lebih tahu seluk beluk rumah kamu dan juga tentang kamu. Gerak-gerik dan ucapannya seakan aku ini hanya orang yang mengenal kamu setelah dia. Aku istri kamu, Mas. Tapi dia di rumah ini, menurut aku sudah terlalu sebagai seorang tamu!" Mbak Nia terdengar kesal. Aku serba bingung. Ingin berlalu tidak enak melewati mereka berdua. Tetap berdiri, juga membuatku tidak enak melihat pertengkaran sepasang suami istri."Ilma memang sudah biasa ke sini sejak kita belum menikah. Jadi wajar kalau--""Kalau seolah tidak mau menghargai aku sebagai istri kamu sekarang? Bersikap seakan aku tidak lebih berhak dari dia di sini karena aku orang baru bagi dia?""Nia, jangan berlebihan! Ilma tidak bermaksud apapun--""Darimana Mas tahu kalau Ilma
[Jangan sok perhatian, kamu aslinya cuma ingin memastikan aku sedang menderita, kan?] balasku cepat.[Jangan berprasangka buruk, Fani. Nanti kualat dapat jodoh Umar, emot tertawa guling-guling]Meskipun baru saja mengaji tapi, kalau ketemunya sama Yuda, mampir lagi setan mengganggu untuk aku bertengkar dengan dia.[Yang penting jangan kamu!] balasku lagi.Yuda tidak membalas lagi.*Dua hari aku di rumah, siang itu saat sendiri, pintu depan diketuk. Aku segera membukanya.Dan tubuh ini berdiri mematung melihat sosok yang berdiri di hadapan. Doni, memakai kemeja berwarna navy yang digulung tidak sampai siku, dipadukan celana jeans warna biru, terlihat semakin berkharisma tampilannya. Namun, hatiku sudah bertekad akan melupakan siapapun yang pernah aku sukai
POV NIAHari itu, untuk pertama kalinya, aku marah pada suamiku. Pria yang selama ini kukenal sebagai lelaki terbaik yang selalu menjadi tempatku bersandar, menyalahkan atas sikapku pada Ilma. Gadis yang dekat dengan Doni.Sejak pertemuan pertama, aku sudah merasa ada gelagat aneh dari teman Fani itu. Seakan dalam setiap pembinaan ingin menjadi objek perhatian. Membanggakan diri sendiri dan satu hal yang mengganjal, sikap Fani saat bertemu dengannya. Aku melihat adikku begitu tidak nyaman saat Ilma mendekatinya.Ditambah lagi dengan pesan yang disampaikan Yuda.Setelah mengantar Ibu, Fani dan anak-anak, aku pulang ke rumah. Beberapa hari di rumah sakit, tentu saja membuat hati rindu pada kamar tempat beristirahat. Lagipula, suasana hati benar-benar tidak baik. Aku butuh istirahat dan sendiri.Selesai mandi, aku
Berbekal nomer Dinda, aku mulai melancarkan misi."Din, kamu bilang, Fani suka sekali menulis di buku diary?" tanyaku padanya melalui sambungan telepon."Iya, Mbak. Kenapa?"*Hari itu juga aku meluncur ke tempat kost Fani tanpa sepengetahuannya. Sejenak melupakan masalah rumah tanggaku. Untung saja, lemari dia tidak terkunci karena pergi dalam keadaan sakit."Aku tidak berani membuka, Mbak. Karena itu rahasia dia. Mbak Nia janji, ya? Jangan bawa-bawa aku. Nanti Fani marah ...," ucap Dinda penuh ketakutan."Iya, Din. Jangan takut! Buku ini akan Mbak bawa. Jadi, kalau Fani tahu, barang ini ada di aku, dia pasti gak akan marah sama kamu,""I-iya, Mbak ...."Setelah mendapat barang yang kucari, aku pulang.
Beberapa hari kemudian, Fani sudah kembali menjalani rutinitas perkuliahan seperti biasa.Buku diary yang Nia ambil, sudah dikembalikan pada tempat semula dengan dititipkan Dinda jadi, Fani sama sekali tidak tahu bila masalah pelik yang sedang dialami telah diketahui oleh kakaknya.Yuda yang telah berjanji pada Nia juga sudah mulai mendekati Arya untuk bisa membantu Fani kembali meneruskan skripsi yang ia kerjakan. Pemuda itu bahkan mulai mengintai aktivitas Ilma setelah pulang kuliah."Tolong, Pak. Kasihan Fani. Aku tahu, Bapak pasti ilfeel banget kan sama dia karena sifatnya yang urakan dan gak pantas disebut sebagai mahasiswa. Dia itu memang lebih pantas jadi tukang kredit keliling. Tapi, bagaimanapun, dia manusia, Pak. Yang harus kita bantu saat mendapatkan kedzaliman," ucap Yuda berapi-api. Membuat Arya mengernyitkan dahi.Dosen muda itu me
"Apa selama ini, Mas merasa tertekan?" Sheren balik bertanya."Jika iya?" Sheren berpaling, memandang ke arah air mancur tidak pernah berhenti bersuara."Ya sudah, malam ini kita tidak usah pergi.""Baiklah kalau itu mau kamu." Arya yang sudah kesal menghadapi gadis pilihan orangtuanya berbalik hendak pulang."Apa begitu sulit untukmu berganti baju demi aku, Mas?" Sheren bertanya saat Arya sudah melangkahkan kaki."Bukankah selama ini, aku yang selalu nurut sama kamu? Segala hal tentang aku, semenjak kita bertunangan seolah kamu yang berhak untuk menentukan. Aku hanyalah boneka yang selalu patuh kemana kamu menggerakkan aku. Berangkatlah sendiri. Daripada kamu malu dengan aku yang memakai baju yang beda dengan bajumu. Bilang saja sama mereka, aku ada urusan mendadak." Arya kembali meneruskan langkah.&nb
"Gara-gara kamu, aku jadi tidak bisa menangkap Ilma!" gerutu Yuda di atas kendaraan yang melewati jalan perumahan."Lha 'kan kamu yang bikin ulah tadi! Lagian, kenapa sih kamu ngebet banget buntutin Ilma?""Aku penasaran aja dia di rumah Pak Juan ngapain," jawab Yuda. Motor mereka telah berhenti di dekat rumah yang berpagar tinggi.Alex turun dan ngeluyur hendak membuka pintu gerbang."Alex! Ngapain?" Yuda sedikit meninggikan suara. Namun, masih dalam batas wajar agar tidak terlalu keras."Eh, iya ya?" Alex nyengir sambil menggaruk kepala."Kita tunggu di gardu sana!" Yuda menunjuk bangunan gazebo yang berada di ujung jalan.Kedua sahabat itu kini duduk sambil bermain ponsel."Aku kenapa kemarin berdiri menu
"Turun, Alex!" hardik Ilma marah."Oh, tidak bisa," jawab Alex santai."Ketahuan 'kan sekarang? Kamu ngapain tadi di ruamah Pak Juan?" tanya Yuda penuh selidik."Bukan urusan kamu!" jawab Ilma kesal. "Berhenti mencampuri urusan orang lain, Yuda!" tambahnya lagi."Kalau begitu, kamu juga harus berhenti mencampuri urusan Fani!" tukas Yuda sengit."Betul, itu!" sahut Alex mantap."Kamu tidak tahu apapun tentang urusan antara aku dan dia jadi, berhenti melakukan hal bodoh!" sergah Ilma."Kamu yang bodoh ternyata. Kamu rela melakukan hal yang menjatuhkan harga dirimu hanya karena obsesi kami terhadap seorang lelaki,""Yuda!" bentak Ilma di bawah cahaya lampu yang remang."Apa?"