Di sebuah lapangan desa mereka yang di pinggirnya terdapat sebuah taman tempat anak kuda nongkrong di sore hari, menyaksikan pertandingan volly--Doni mengajak Ilma berbicara. Ada seorang penjual es degan di sana, jadi mereka berpura-pura sedang membeli itu.
Mereka berdua duduk dalam jarak sekitar satu meter. Menatap jalanan yang cukup ramai lalu lalang kendaraan.
"Mau bicara apa lagi?" tanya Doni dingin tanpa melihat pada Ilma.
"Mas mau pergi?" tanya Ilma balik. Tatapannya tertuju pada pria di sampingan kanan.
"Dari mana kamu tahu?"
"Dari Liska,"
"Jadi, kamu sengaja tadi ke rumahku karena tahu aku akan pergi?" Ilma tidak menjawab.
Hati Doni ada sedikit kekecewaan pada adiknya. Dengan cepat, diambilnya ponsel dan menekan nomer Liska.
"Halo, Mas! Ada apa?" tanya Li
Doni manatap gerbang tinggi yang menjulang di hadapan. Meskipun sempat ada drama yang membuat hatinya emosi ketika berangkat, tapi kini seakan sirna dengan sampainya dirinya di lingkungan pondok pesantren modern, tempat kerja baru untuk mengamalkan ilmu yang ia miliki.Dengan mantap menunjukkan kartu identitas pada satpam, lalu masuk ke dalam lingkungan yang terasa kental nuansa islaminya.Sujud syukur ia lakukan saat tiba di kamar. Berkali-kali melantunkan doa untuk Irsya dan keluarganya yang telah berjasa dalam karirnya saat ini.*Beberapa hari telah berlalu, Fani mulai bisa mengatasi hati untuk tidak terlalu mengingat Doni.Sekuat apapun aku mempertahankan rasa ini, hanya akan menyakiti diriku sendiri. Karena hanya aku yang memiliki rasa sama dia, dia enggak. SakitSelarik kalimat, ditulis Fani di ba
Alex menggaruk kepalanya lagi. "Udah, aku masuk," pamit Fani. "Di ruang tamu, Fan!" perintah Dinda. "Iyaaaaaa ...." Fani masuk dan duduk di kursi sembari berselancar di dunia maya. "Mau apa?" tanya Dinda ketus. "Aku mau balikin uang kamu, Din. Tapi baru separuhnya gak papa, ya?" ujar Alex malu-malu. "Sumpah deh, ya, kamu tuh gak pantes banget ngelakuin kayak gitu sementara penampilan kamu sok cool banget. Pakai ngajakin makan di caffe yang lagi hits, lagi." "Maaf, Dinda, aku 'kan juga pengin ngerasain jalan sama cewek kayak gimana." "Ya tapi modal, dong!" seru Dinda kesal. "Din, jangan teriak-teriak, aku malu
Hari itu, Yuda harus menelan kecewa karena tidak berhasil mengajak Fani pergi.Esok paginya, di dalam kelas, pemuda itu bersikap aneh. Semenjak tragedi skripsi, dirinya masih suka mengolok-olok Fani. Namun, tidak dengan kali ini."Fani datang, kamu kenapa diam?" tanya Billy, rekannya selain Alex.Yuda hanya melirik sekilas. Kembali lagi menatap buku yang ada di hadapannya.Alex juga tidak berani menggoda. Semenjak kejadian kencan dengan biaya hutang yang diketahui Yuda, pemuda itu tidak banyak bicara.Usai jam kuliah, Fani masih sibuk dengan barang dagangan. Dikerumuni banyak teman sekelasnya."Sah, ya, Fan?""Ok, besok lagi, ya?""Fan, aku pesen blash on jangan lupa!""Iya,"&nbs
"Aku juga baru tahu, kalau kamu itu busuk. Apa yang kamu ucapkan tidak seperti yang kamu tampilkan. Dan tentang cewek murahan, lebih murahan mana, dia yang dijemput terhormat dengan seorang gadis yang setiap hari datang ke rumah pria yang berstatus duda. Berdua dalam satu rumah kosong dan aku mendengar sendiri kamu dipanggil, Sayang," suara Arya yang keluar dari kelas dekat jalan yang mereka lewati, mengagetkan gadis berjilbab besar itu."Pak Arya!" ucap Fani kaget. Sementara Ilma sudah merah padam wajahnya."Iya, aku mendengarnya. Bicaramu terlalu keras Ilma, aku jadi mendengar."Ilma terlihat malu dan tidak bisa menjawab."Aku juga tahu, kamu bekerjasama melakukan hal yang dilarang oleh peraturan kampus. Kalau ini sampai ketahuan, beasiswa kamu terancam dicabut. Jadi, Berhati-hatilah dalam bersikap. Atau pekerjaan kamu dalam membuat skripsi--""Saya minta maaf, Pak. Saya akui, aku salah. Maafkan saya salah," potong Ilma khawatir Arya akan memberi
Canggung. Itu yang dirasakan Fani saat berdua bersama Yuda. Rasanya aneh, terbiasa bertengkar dan saling ejek, kini harus berada di atas motor yang sama. Sepanjang jalan, mereka hanya terdiam. Hingga motor yang mereka kendarai sampai di pelataran sebuah tempat yang biasa digunakan anak muda nongkrong bila malam hari. Terutama di malam minggu. Namun, karena malam itu malam Rabu jadi, keadaan tidak terlalu ramai.Yuda meraih lengan Fani, mengajaknya berjalan menuju tempat pemesanan makanan.“Lepasin, Yuda! Apaan sih, kamu pegang-pegang aku?” protes Fani keras. Untungnya, suara music di caffe lebih keras dari suara Fani, sehingga pengunjung yang masih di sekitar tempat parkir tidak mendengar teriakan Fani.“Di sini lagi ada gosip penculikan. Aku memastikan saja kamu aman,” bisik Yuda di telinga Fani, membuat gadis itu menjauhkan diri dari teman berantemnya.“Alasan aj
“Fan, setelah lulus nanti, kamu mau kerja atau mau nerusin dagang?” tanya Yuda saat keduanya sudah sama-sama selesai tertawa. Bakso bakar yang ada di hadapan Fani sudah habis tak bersisa. Sementara kentang goreng yang ada di hadapan Yuda masih utuh.“Gak tahu. Belum kepikiran. Akum au di rumah aja dulu. Menikmati waktu bersama keluarga aku. Kamu sendiri?”“Entahlah. Aku ingin pergi ke luar negeri setelah dapat ijazah langsung.” Fani memicingkan kedua mata setelah mendengar pernyataan Yuda.“Kenapa begitu? Kamu ‘kan udah bertahun-tahun jauh dari keluarga kamu. Merantau dari ujung selatan Jawa Tengah ke sini. Gak pengin gitu sejenak menghabiskan waktu dengan bapak, ibu, adik atau kakak kamu?” Sepasang mata elang Yuda mendadak redup mendengar pertanyaan Fani. Sesak tiba-tiba merasuk dalam dada.“Seseorang yang aku ingin temui sudah tidak ada la
Fani terbaring di atas tempat tidur. Menatap ruangan yang gelap karena lamounkamar sudah dimatikan. Sejenak kemudian melonjak. "Din," panggilnya pada Dinda berharap sahabatnya belum tidur. "Apa?" jawab Dinda agak ketus. "Lhah, kamu belum tidur, Din?" "Belum!" "Kenapa?" "Ya belum ngantuk-lah," "Kok tadi aku masuk kamu matikan lampu? Jadinya aku sholat di kamar Anya." "Lha kenapa gak sholat di sini?" Mereka saling bincang di kegelapan malam yang disengaja. "Soalnya takut ganggu kamu!" "Gimana tadi perginya? Jadi beli kemeja?" "Eh, iya, y
Makanya, lawan-lah!""Sama kamu, ya?" ucap Yuda dengan nada bercanda. Namun, yang sebenarnya dirinya berharap, Fani menjadi orang terdekatnya."Gak mau! Jauh. 'Kan deket sama pantai selatan. Takut diculik dayang-dayangnya!""Mereka lebih takut mendengar suara kamu, Fani!""Kenapa sekarang kamu jinak?""Karena--""Jangan bilang, kamu jatuh cinta sama aku!" Yuda terdiam mendengar tuduhan Fani yang benar adanya. Sementata gadis yang terlihat manis dengan pasmina warna ungunya, menatap pada segerombolan anak yang berebut bola untuk ditendang."Fani ...," panggil Yuda lirih."Hemh,""Kamu gak pengin menikah muda?" tanya Yuda memberanikan diri.