Meja makan rumah Kristo demikian sepinya. Bagaimana tidak sepi? Hanya ada dua anak manusia yang duduk disana, makan tanpa bertegur sapa. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Lily dan si tuan rumah yang menyelamatkannya. "Apa kau memang sedang diet?" Pertanyaan Kristo yang tiba-tiba membuat Lily tersentak. "Tidak." jawabnya pendek. "Porsi makanmu bahkan tidak akan mengenyangkan seorang anak balita," tegur Kristo dengan frasa yang sedikit berlebihan. Lily menunduk menatap gundukan nasi tipis diatas piringnya. "Aku.. masih sedikit kenyang." Kristo mengangkat sebelah alisnya tanpa menatap gadis itu. Dia memasukkan sepotong daging ke mulutnya dan berucap lagi. "Sekarang, katakan dimana rumahmu ..." "A..apa?" Lily tercengang. Apa dia memang demikian memuakkan sampai cowok itu ingin cepat-cepat mengusirnya? "Rumahmu. Atau aku harus membuat postingan di social media tentang orang hilang?" Kristo berkata acuh tak acuh. "Kau semuak itu denganku?" Lily sudah tak mampu menahan lidah
Lily asyik mengamati taman dari jendela kamarnya ketika Bi Diana mengetuk pintu kamarnya."Tuan Kristo ingin Anda menemuinya, Nona." lapor pelayan rumah itu. "Dimana dia?""Dia ada di kamarnya."Lily mengangguk. Bi Diana membawanya ke kamar Kristo yang berada di lantai dua. Aroma dan nuansa nature adalah hal pertama yang menjadi kesan bagi Lily begitu dia memasuki kamar Kristo yang luas itu. Lantainya terbuat dari kayu mengkilat. Jendelanya lebar dan dari sana mereka bisa menyaksikan pemandangan taman belakang yang didominasi pohon-pohon angsana yang rindang.Bi Diana meninggalkan mereka. Lily mendekati Kristo yang setengah berbaring di ranjang. Wajah cowok itu tampak sedikit pucat. Dokter Gina, dokter pribadinya tersenyum pada Lily dan pamit keluar."Kamu sakit?" Lily mendekat ke sisi ranjang, tidak terlalu dekat, namun cukup untuk bercakap-cakap dengan suara rendah."Jelaskan padaku." Lily terkesiap menyaksikan pandangan Kristo yang beku. Dia merasa tulangnya menjadi ngilu. "Apa?
"Ada apa Riana?" "Kau Ariza?" tanya Riana setelah memastikan bahwa tidak ada orang lain selain dia, Saron, dan sang ketua didalam tenda itu. Ariza mengangguk. Mendadak tenggorokannya menjadi kering. Dia membuka tutup botol air mineral pemberian Saron dan meminumnya. "Aku baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir. Bersikaplah biasa," ujar gadis itu dengan nada tak ingin dibantah. Dia beringsut bangkit. Beberapa peserta perkemahan terlihat menenteng peralatan mandi mereka sambil berjalan menuju danau. "Ingin ke danau?" Saron bertanya. Ariza mengangguk saja. Sebentar kemudian ke tiganya telah tergabung diantara peserta perkemahan yang berbondong-bondong untuk mandi di danau pagi itu. Danau di dalam hutan itu di beri nama Danau Nilamukti, karna airnya yang biru kehijauan. Ariza memilih tempat yang cukup tersendiri, jauh dari hiruk pikuk anak-anak, bersama Saron dan Riana. Mereka mandi dengan santai, air danau itu ternyata sangat dingin dan menyegarkan. Ariza membasahi wajah dan ra
"Kau... disini..." Ariza menggumam serak. Airmata mengalir dari netranya tanpa bisa dicegah. Itu mata yang sangat dirindukannya, tapi wajah itu bukan wajah Sang Pangeran."Sapphire, kau baik-baik saja?" pemuda itu berucap pelan dan lembut,dan sekali lagi menyadarkan Ariza bahwa suara itu bukan suara sang Pangeran.Gadis itu bergerak duduk, menepis lembut tangan pemuda itu perlahan. "Terimakasih, kau menyelamatkan diriku." ucapnya pula. Pemuda itu meraih kacamatanya yang tercampak. Dia adalah Bayu, pemuda culun itu."Bagaimana kau bisa hanyut dan terpisah dari kelompokmu?""Aku tidak ingat. Mungkin aku terpeleset." Ariza memegang kepalanya yang terasa sedikit pusing, tak berniat menjelaskan panjang lebar. Hidungnya terasa asam karna kemasukan air."Mari kubantu kembali ke perkemahan," Bayu menyodorkan tangannya. Kali ini dia tidak lagi terus-terusan menunduk.Ariza memandangi tangan itu sebentar sebelum menyambutnya."Terimakasih."Bayu menuntun gadis itu meninggalkan aliran sungai te
"Kau tidak ingin berbelanja?"Lily mengangkat kepala dengan heran, di pojok tangga, Kristo berdiri tenang sambil melontarkan pertanyaan datar itu. "Eh, sudah cukup sehat?" tanya Lily.Kristo melangkah mendekati gadis itu, duduk diatas sofa disampingnya, kemudian melirik buku bacaan di tangan Lily."Sudah cukup baik.""Apa maksud pertanyaanmu tadi?""Berbelanja. Kau tentu memiliki banyak kebutuhan." Ucap Kristo datar, bahwa wajahnya tidak menunjukan riak sama sekali."Eh, aku..."Pemuda itu mengeluarkan sesuatu, lalu melemparkannya diatas meja didepan mereka. "Gunakan itu."Lily mengerutkan keningnya sebentar. "Apa kau tidak khawatir memberikan card semacam itu pada orang asing sepertiku?""Mengapa tidak? Aku masih memiliki beberapa sebagai cadangan." jawab Kristo asal, membuat Lily merolling bola matanya. Dasar sombong!"Baik, tapi kau ikut bersamaku." cetus gadis itu, menciptakan kerut didahi cowok tampan disampingnya."Aku sibuk.""Sibuk mengurung diri?"Kristo tak menanggapi. "Per
Ariza tidak pulang ke rumahnya, dia berbelok ke arah lain tanpa sepengetahuan anggota gengnya. Dia terus melajukan mobilnya sampai dia tiba di jalanan sepi, dengan sebuah telaga kecil dan sebuah bangku di tepi telaga. Cukup banyak lampu jalan sehingga keadaan disitu cukup terang.Gadis itu keluar dari mobilnya, menutup pintu dan bersandar disana sambil memandang kilauan air telaga yang ditimpa cahaya lampu, tampak gelap keemasan. Sorot mata Ariza terlalu beku dan minim emosi, namun orang dapat merasakan kegelisahannya. "Apa ini? Mengapa orang-orang itu datang di negeri ini? Apakah mereka belum puas menghancurkanku?" batinnya. Pandangannya berubah sendu. Ketua Poison itu melangkah ke kursi besi, duduk disana sambil merapatkan jaketnya. Udara cukup dingin, namun Ariza tidak terganggu. Dia menghela nafas berkali-kali untuk melonggarkan sesak di dadanya."Malam yang sendu, sepertinya?" sebuah suara memecah kesunyian Ariza. Gadis itu sedikit terkejut, lalu memutar kepala. Pandangannya lan
Sapphire mencuci tangannya didepan wastafel kamar mandi wanita, mengibaskan sekali dan beralih pada bayangan Rose yang terpantul di cermin wastafel. "Aku tahu kau melihatnya, Rose.""Kau benar, Sapphir.""Mengapa gadis itu bisa bersama Kristo?" gumam Sapphire sambil membalik dan menatap Rose berhadap-hadapan."Itu yang ingin kudengar dari Kristo, namun kau buru-buru pergi karna cemburu."Sapphire mengangkat sebelah alisnya, "Kau mengejekku, hm?""Sama sekali tidak ketua. Siapapun yang berhadapan dengan gadis seperti itu pasti akan jengkel.""Kau melihatnya bersama Zarah saat itu. Bukankah aneh jika dia tiba-tiba berada dalam lingkup pergaulan kita?" alih Sapphire. "Ini tidak lucu untuk dikatakan kebetulan.""Bagaimana jika ketua kembali pada Kristo dan menanyakannya?""Berarti aku menjilat ludahku sendiri. Kau dengar yang kukatakan tadi bukan?" gerutu Sapphire."Kau benar-benar jatuh cinta padanya?" tanya Rose dengan lancangnya. Sapphire tersenyum. Entah apa makna senyuman itu. Dia m
Another StoryDua bocah itu berlarian diantara hutan perburuan dengan lincah. Mereka memakai pakaian halus dengan hiasan batu mulia di bahu dan dada.Di tangan bocah lelaki berambut emas pucat itu terdapat busur panah emas bertahtakan permata merah. Tabung panah di bahunya bergerak teratur seiring dengan sosoknya yang aktif berlari. Dibelakangnya, bocah perempuan mengejar dengan pedang tersampir dipunggung. Rambutnya hitam bagai malam, dikuncir tunggal dengan pita sutra. Matanya yang awas dan jeli itu berwarna lazuardi. Bocah lelaki berhenti, kemudian merentang busur dan anak panah, mulai membidik. Diantara pepohonan yang hijau dalam hutan itu, berkelebatlah seekor foran, makhluk yang mirip rusa namun memiliki tanduk melingkar seperti domba.Binatang itu melompat gesit, panah bocah lelaki itu meleset! Geram, sang bocah itu bergerak mengejar. Anak perempuan berambut hitam legam dibelakangnya terus mengejarnya.Mereka berlari beberapa lama, sampai bocah perempuan itu berseru memanggi