Share

SAPPHIRE RAJASA

Kelas Sepuluh A terdiri dari 40 siswa yang rata-rata berotak cerdas. Tidak menjadi rahasia lagi kalau kelas A selalu ditempati oleh murid ber IQ lumayan, sementara kelas lain menampung para 'murid buangan' alias gagal seleksi, meski tidak bisa dikatakan bodoh.

Meski demikian, bukan berarti kelas A adalah tempat para pelajar kutu buku berkacamata tebal yang hanya peduli pada rumus matematika dan fisika.

Kelas A rata-rata diisi komunitas borjuis berpenampilan menarik disamping pandai.

Ketika Daniah dan Bayu masuk, kelas itu sudah cukup sesak. Bayu memilih tempat duduk pada deret ke tiga sudut sebelah kanan, sementara Daniah tepat didepan Bayu.

Para murid 10 A sibuk berkenalan sana sini untuk membangun keakraban. Ada beberapa siswa maupun siswi yang menyalami Daniah sambil menyebutkan nama, dan disambuti gadis itu dengan senang hati.

"Asmira," seorang gadis bertubuh sedang, berkulit coklat terang dan berwajah seperti orang India mengulurkan tangannya pada Daniah.

"Daniah,"

Gadis itu melirik Bayu yang duduk tepat di belakang Daniah. "Temanmu ya?" tanyanya dengan nada risih.  Daniah mengangguk tanpa ragu. "Namanya Bayu, silakan berkenalan."

Asmira melirik Bayu yang terus menunduk menatap buku kosong didepannya. Gadis itu menggeleng. "Lain kali saja," gumamnya lalu cepat-cepat menyingkir kembali ke bangkunya. Daniah menarik nafas. Sampai kapan semua orang menilai segala sesuatu dari luar saja?

Daniah memutar bola matanya prihatin.

Beberapa siswa cowok di barisan belakang mulai berbisik-bisik dan tertawa mengejek sambil sesekali melirik ke arah Bayu. Daniah bersumpah dapat mendengar cemoohan lamat-lamat seperti banci, memalukan, kuper, dan sebagainya.

Untunglah keadaan yang membuat Daniah menjadi risih segera berhenti begitu seorang perempuan berwajah cantik dengan postur gemuk melangkah masuk dengan dinas kekinya yang ketat.

"Selamat pagi!"

"Pagi!" Para siswa menjawab dengan semangat.

"Namaku Dewi. Kalian bisa memanggilku Ibu Dewi. Aku adalah Guru Kimia dan aku adalah wali kelas kalian." wanita itu memperkenalkan diri. Sepasang matanya menyapu lembut ke seluruh ruangan, seolah hendak mentransfer auranya yang penuh wibawa.

"Aku ingin kalian memperkenalkan diri masing-masing sebelum kita memilih seorang ketua kelas!"

Maka mulailah para siswa itu bangkit bergantian memperkenalkan nama.

"Ceilo Kevin."

"Asmira Singh."

"Guntur Adiwangsa."

".....Fikra Dimasongko."

"Indah Xavier Putri."

"Dwi Daniah Fransiska."

"Angin Indra Bayu."

Daniah melirik Bayu yang sudah kembali duduk. Dia mencondongkan kepalanya sembari tersenyum. "Namamu sangat bagus," pujinya. Dia tidak dapat melihat reaksi Bayu, karna cowok itu sudah keburu menunduk. Daniah bahkan yakin dia tidak akan hapal garis wajah Bayu karna cowok itu terkesan selalu menyembunyikan wajahnya. Masih menyisakan senyum di ujung bibirnya, perlahan-lahan gadis berkacamata tipis itu mengalihkan perhatiannya pada murid lain yang terus memperkenalkan diri.

***

Jam pelajaran usai ditandai bunyi bel panjang yang diikuti sorakan dari berbagai kelas. Guru mata pelajaran terakhir telah pamit lima menit sebelumnya. Daniah lantas mengajak Bayu pulang bersama. Pemuda itu tidak menjawab, namun dia tidak menolak melangkah beriringan menuju gerbang sekolah. Para siswa yang berduyun-duyun lumayan banyak, sehingga keduanya memperlambat langkah untuk mendapatkan ruang jalan yang lebih memadai.

"Tadi pagi, Trio Bandit itu tidak melukaimu kan?" Daniah kembali angkat bicara. Dia membayangkan ancaman-ancaman brutal dan pemerasan yang mungkin mereka lakukan pada Bayu.

"Mengapa kau ingin sekali tahu?"

Daniah terkejut. "Iyalah! Aku sudah menganggapmu temanku, tentu saja aku tidak senang melihatmu diseret seperti itu oleh mereka...."

"Mereka tidak melukaiku." tandas Bayu, masih asyik menatap jempol kakinya yang terus menapak.

"Bisakah kau bicara sambil melihatku? Aku tersinggung lho! Apa wajahku sedemikian buruknya sampai kau selalu mengalihkan pandangan ke tanah?" gerutu Daniah pura-pura cemberut.

Bayu menghentikan langkah. Daniah turut pula berhenti,  dia memandang kedepan, nun jauh disana, seolah-olah merajuk, namun diam-diam matanya sedang mengamati  cogan-cogan sekolahan yang luput dari perhatiannya sejak pagi.

"Maaf,"

"Hm?" Daniah yang asyik mengintip para cogan itu tidak begitu memperhatikan ucapan Bayu.

"Maaf, Daniah."

"Eh?" Daniah lantas berpaling memandang Bayu. Kali ini dia tertegun. Bayu memang menatapnya lurus dan lama, tidak lagi menunduk.

Cewek itu meneguk salivanya. Gila! Ini mah cogan juga!

Dia baru menyadari kalau wajah di balik kacamata itu memang proporsional, baik mata, bibir, alis dan hidung. Memandang begitu lama Daniah baru menyadari kalau mata dibalik lensa kaca itu berwarna hazel, tampak terang ketika irisnya terkena cahaya matahari.

Tunggu dulu! Cowok ini bule?

Otak terpesona Daniah mulai jalan setelah hampir mampet tadi. Dipandanginya Bayu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Tidak, postur tubuh ini, warna kulitnya, bahkan garis wajahnya semuanya khas ras Malayan, ras yang sama dengannya. Ras Indonesia! Lalu kenapa warna rambut dan matanya seperti orang Kaukasia? Juga jangan lupakan tubuh tinggi itu!

"Kamu blasteran?" Daniah tak tahan mengeluarkan pertanyaan.

Bayu kembali menundukkan kepala dan melanjutkan langkah.

"Jawab dulu, Bayu!" si gadis cepat mengimbangi.

"Apa itu penting?" balas Bayu acuh tak acuh.

"Kamu pasti blasteran! Blasteran apa, Belanda? Amerika, atau Irlandia barangkali?"

Bayu tak menjawab. Tiba-tiba dia menghentikan langkah, sehingga Daniah hampir menabraknya. Tepat saat itu sebuah mobil lamborghini hitam berhenti didepan mereka.

"Aku pulang dulu, Daniah. Sampai jumpa besok." putus Bayu sambil membuka pintu mobil dan duduk tenang disana. Mobil itu melaju pergi meninggalkan Daniah yang masih melotot dengan mulut setengah terbuka. "Dia sekaya itu?" Gadis itu berdecak panjang. Saat itu jemputannya telah datang. Sebuah mobil putih yang tidak begitu mencolok berhenti tepat didepannya. Daniah bergerak masuk. Tak lama kemudian, mobil itu pun melaju membawanya pulang.

Para siswa yang telah meninggalkan halaman sekolah, termasuk Daniah tidak ada yang menyadari kalau Trio Bandit tidak kelihatan sejak pagi!

Dimanakah mereka?

Nun di toilet lama yang sudah tidak terpakai, tampak tiga pemuda terbujur pingsan dengan muka berantakan. Beberapa menit berlalu dan salah seorang dari mereka mulai bergerak menunjukan tanda-tanda kehidupan yang sempat hilang. Cowok yang sadar duluan adalah Rubby. Dia bangkit bersandar dan mengelus kepalanya yang pusing.  Hidungnya membaui bau lembab dan pengap yang sangat mengintimidasi. Saat dia sedang berusaha mengumpulkan kesadaran, tampak Tio dan Fandi juga mulai bangun.

"Dimana ini, Rub?" keluh Fandi sambil memijit keningnya. Dia seperti melihat bintang kecil menari-nari di depan pelipisnya.

"Di toilet lama, bego!" kertak Rubby. Tentu saja dia hapal, tempat ini telah menjadi saksi kebuasan mereka dalam praktik pembulian di sekolah ini selama dua tahun! Bagaimana bisa mereka tidak mengenali?!

"Apa yang terjadi?" gumam Tio serak.

"Ingat kita kesini bawa si culun agar-agar, gue udah siap buat gunting rambut blondenya sampai dia botak, kemudian..."

"Kemudian gue rasa ditendang di punggung..." kenang Tio.

"Cewek itu..." gumam Fandi dengan mata penuh geram. "Cantik juga." sambungnya dengan nada tidak berdaya, membuatnya dihadiahi pelototan mata Rubby.

"Kita dihajar cewek, Rub." keluh Tio dengan nada malu.

"Gue kenal dia. Namanya Rose. Dia dari kelas Sebelas B." desis Rubby penuh dendam. "Kita harus menuntut balas!"

"Yakin, Rub? Masa kita ngeroyok cewek?" Fandi tampak ragu.

"Shit. Sendirian lo belum pasti bisa ngalahin dia! What's wrong with ngeroyok?!" Rubby murka.

"Menurut gue, sasaran kita seharusnya si culun itu, Rub."

Rubby tak langsung menjawab saran Tio. Wajahnya yang memar di beberapa sisi terasa berdenyut nyeri ketika dia menampilkan ekspersi marah yang menarik otot wajah.

"Lo benar. Dia harus di hajar duluan." gumam Rubby akhirnya.

***

Sebuah sepeda motor sport keluaran terbaru masuk ke parkiran Persada Bangsa pagi itu, diikuti sebuah mobil keluaran terbaru yang langsung diparkir mulus di area parkiran mobil.

Jika orang yang tidak mengenal, mereka akan mengira bahwa orang yang membawa sepeda motor itu adalah seorang cowok. Nyatanya ketika si pengemudi membuka helmnya dengan dramatis, tampaklah rambut panjang hitam terurai yang tergerai lepas, itu... seorang gadis?

Pengemudi sepeda motor itu turun dari joknya dan menaruh helmnya. Dua orang yang keluar dari mobil tadi cepat menghampiri si rambut panjang.

"Ariza,  sampai kapan kamu naik motor terus? Bisa-bisa kulitmu itu hangus terkena sinar matahari," gerutu salah satu gadis yang turun dari mobil. Dia memakai pakaian seragam yang sangat rapi. Rambutnya  ikal dengan model curly, menggantung lembut diatas bahunya. Seperti gadis dari kalangan atas kebanyakan, dia terlihat cantik dan terawat. Disebelahnya, tegak seorang gadis lain yang tampaknya memiliki temperamen lebih tenang dan tidak banyak bicara. Rambutnya pendek, hitam. Poninya yang menggantung tidak dapat menyembunyikan kesan tegas dan tenang yang memancar dari parasnya secara bersamaan. Dia juga memakai seragam sekolah, menunjukan bahwa dirinya adalah salah satu pelajar di SMA Persada Bangsa. Orang yang barusan turun dari jok motornya, dan di panggil Safira itu adalah seorang gadis dengan height 170 cm,  jauh lebih tinggi dari rambut curly dan sedikit melampaui si rambut pendek. Rambutnya yang tergerai lepas di punggung dan menjela di bahunya membuatnya terlihat sedikit tidak terkendali namun memukau.  Parasnya cantik namun dingin sekali. Aura yang dibawanya begitu kaku, seolah dia baru saja datang dari kutub utara. Gadis ini tidak memakai rok, namun celana yang dipasangkan dengan atasan seragamnya. Semua siswi SMA Persada memang diharuskan pakai rok, kecuali Ariza. Gadis ini telah mengurus izinnya memakai celana ke sekolah. Mengingat keluarganya adalah keluarga yang sangat berpengaruh, memang bukan hal sulit meminta pengecualian itu.

Dengan iris matanya yang dipakaikan softlens hitam, Safira mengedarkan pandang ke seantero sekolah sambil menyugar rambutnya yang agak berantakan.

"Mau kubawakan tasmu?" Si rambut pendek yang bernama Riana menawarkan, hanya untuk mendapati lirikan tajam dari raut cantik namun pelit ekspresi itu.

"Aku sudah berulangkali bilang, Riana. Aku tidak suka kau memperlakukanku seperti ini. Bersikaplah santai seperti Saron." Ariza melirik si rambut curly.

"Ah ya. Aku lupa, biasanya Sapphire..."

"Aku Ariza, bukan Sappire." potong gadis itu sambil melangkah menuju kelasnya. Beberapa siswa senior yang sudah tahu siapa adanya 3 gadis itu memilih menyingkir dari pada berpapasan dengan mereka.

Daniah yang baru datang tampak kagum bercampur penasaran melihat tiga gadis yang membawa aura kuat itu, terutama yang paling depan.

"Cantik sekali." Daniah berdecak melihat gadis paling depan yang melangkah acuh tak acuh sambil memasang wajah tanpa ekspresi.

"Siapa mereka, Kak?" tanya Daniah pada salah seorang siswi senior didekatnya.

"Yang paling depan, namanya Sapphire. dari kelas Sebelas A. Dia Ketua Geng Poison, anggotanya kuat, ada yang dari sekolah ini, bahkan dari  sekolah lain. Dia gadis yang aneh..." jelas Lidia, cewek yang tadi ditanyai oleh Daniah.

"Kurasa dia keren, bukan aneh... "

Lidia mengangkat alis mendengar ucapan juniornya itu. "Apanya yang keren dari seorang bakal mafia seperti itu? Malah akan semakin merusak negara..."

"Memangnya sejauh ini dia sudah pernah merugikan orang?" tanya Daniah lagi.

"Katanya sih dia  membantai sebuah geng dua bulan yang lalu. Itu kasus tindakan brutal terakhirnya sejauh ini..."

Daniah menelan ludah mendengar kata 'membantai' yang diucapkan Lidia. Apakah kata itu memang benar benar bermakna harfiah?

"Dia... membunuh, Kak?"

Lidia menggeleng. "Dia hanya menghajar mereka habis-habisan, geng itu cerai berai dan bubar karenanya. Gadis itu... mengapa demikian kuat?"

"Memangnya dia tidak ditegur sekolah?"

"Tindakannya diluar sekolah. Lagipula akan beda kejadiannya kalau dia berkelahi pakai seragam sekolah. Dia pakai baju gengnya lah, siapa yang akan tahu kalau dia murid Persada Bangsa dan berani menghubungkan? Sapphire itu bukan gadis biasa."

Lidia tampak 'lelah' membicarakan Ketua Geng Poison itu, namun Daniah kembali bertanya. "Lalu dua gadis di belakangnya?"

"Saron dan Riana. Mereka tangan kanannya di Poison dan juga merangkap pengawal pribadinya."

"Hebat," gumam Daniah.

"Aku sarankan," Lidia memandangnya. "Sebaiknya kau jangan berurusan dengannya. Sapphire tidak akan melepaskan orang yang cari masalah dengan dirinya."

Memangnya siapa yang mau cari masalah?

Daniah merutuk geli dalam hati melirik ekspresi serius Lidia. "Aku ke kelas dulu, Kak." pamitnya yang dijawab dengan anggukan kecil.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status