Share

BALADA SANG MANDARA
BALADA SANG MANDARA
Penulis: Igamurti Ndekano

PEMBULIAN

Sepasang mata cowok tinggi berambut merah kepirangan, di balik kaca mata tebal itu tampak mengerjab beberapa kali, didepan gerbang sekolah SMA Persada Bangsa. Kemudian dia melangkah sambil menunduk memasuki halamannya, membuat  siswa-siswi yang tersebar di seluruh penjuru sekolah mengarahkan pandang kepadanya dengan berdecih dan sorot mengejek. Bagaimana tidak? Penampilan cowok itu sangat culun dan menyedihkan. Aura lemah yang menyertainya tentu saja memancing para 'predator' sekolah yang haus darah untuk datang dan melakukan penindasan.

Nun di parkiran sekolah, tiga orang pemuda berseragam sudah mulai memasang muka bengis dengan seringai penuh arti.

"Murid baru yang satu ini sepertinya menarik..." gumam salah seorang dari antara mereka, cowok itu berwajah lumayan, namun matanya yang licik  membuat orang tidak terkesan pada kegagahan parasnya. Namanya Rubby. Dia terkenal sebagai ketua geng pembuli yang senang berbuat onar. Kedua cowok yang saat itu bersamanya adalah Tio dan Fandy, dua ajudan setia yang selalu menemaninya malang melintang sebagai 'bandit' sekolah. Mereka memang menikmati peran brutal itu selama hampir tiga tahun bersekolah di SMA Persada. Keluar masuk ruang Kesiswaan justru menjadi kebanggaan dan dianggap catatan prestasi oleh mereka.

Ketiga cowok itu terus mementang mata mengikuti langkah si culun di seberang sana.

"Cabut!" bisik Rubby sambil melompat turun dari bison kesayangannya. Tio dan Fandy segera mengikuti.

Pemuda culun itu terus melangkah sambil menunduk dan mencengkram tali ranselnya erat, seolah takut akan ada seseorang yang merenggut benda itu dari punggungnya. Karna terus menunduk, dia tidak menyadari seorang gadis yang sedang terburu-buru melangkah dari arah berlawanan, menyusuri koridor sekolah dengan setumpuk buku di tangannya. Seperti yang diduga, terjadilah tabrakan yang tidak dramatis, karna cewek itu langsung jatuh terduduk dengan posisi yang sama sekali tidak keren.

"Ma...maaf..." si culun mencicit gugup, cepat berlutut dan mengumpulkan buku-buku yang berserakan. Gadis itu  ikut mengumpulkan bukunya.

"Tidak apa," gumam gadis itu pelan. Dia seorang gadis berwajah manis, berkacamata tipis, memiliki tahi lalat di dagu kanannya.

Si culun menyodorkan buku terakhir, dan keduanya lekas berdiri.

"Daniah." Gadis itu menyodorkan tangan. "Dari kelas Sepuluh A. Kamu?"

Cowok itu mengangkat kepalanya yang selalu menunduk, menatap bolak balik antara tangan dan paras si gadis dengan ragu. Melihat wajah lembut penuh persahabatan itu, akhirnya dia menyambut uluran tangan gadis itu.

"A..aku Bayu."

"Dari kelas apa?"

"Aku belum tahu, belum sempat melihat..."

Daniah memandangi Bayu sebentar. "Kalau begitu," katanya, "Mari kuantar ke mading untuk melihat dimana kelasmu,"

"Eh... Terimakasih.."

Daniah tersenyum singkat, "Ayo."

Bayu lekas mengimbangi langkah gadis itu. Daniah berjalan ringan, tidak memperdulikan tatapan-tatapan menghina dari sebagian besar siswa yang tampak sudah gatal mengomentari penampilan Bayu.

Mereka akhirnya sampai di mading yang lumayan ramai dengan murid-termasuk murid baru- dari berbagai angkatan. Mereka sibuk mencari nama masing-masing untuk menentukan di kelas mana mereka ditempatkan di tahun ajaran baru ini.

"Itu untuk kelas 10," tunjuk Daniah pada lembaran kertas yang ditempelkan di bagian sudut. Beberapa siswa  asyik mengerubut disana. Bayu masih berdiri termangu, membuat Daniah tak sabar. Ditariknya tangan cowok itu seraya menerobos kerumunan siswa.

"Cari namamu!" tandasnya.

Bayu mengangkat kepala, memperhatikan lembaran kertas yang tertempel di mading, berusaha mengabaikan desakan-desakan disekelilingnya.

"Sudah ketemu," ujarnya kemudian, sambil cepat-cepat keluar dari kerumunan. Daniah menyusulnya dengan cepat.

"Kelas mana?"

"Sepuluh IPA A."

"Kalau begitu, kita sekelas!" Gadis itu menyengir senang, entah apa yang membuatnya gembira. "Ayo!" dia menarik tangan Bayu dan membawanya berjalan.

"Kita mau kemana?"

"Sepuluh IPA A. Letaknya di lantai dua. Sebaiknya kau segera memilih bangku!"

Bayu menurut saja. Lagipula kehadiran Daniah membuat dirinya yang kuper dan tertutup itu sedikit terbantu. Ibarat domba muda di tengah serigala, Daniah adalah gembala yang datang melindungi dan menuntunnya!

Tapi eh... melindungi? Daniah sepertinya belum cocok dengan kalimat itu. Mereka sudah akan menaiki tangga ke lantai dua,  ketika tampak tiga remaja asyik berdiri dengan sikap menghadang di bawah tangga menuju lantai dua. Para bandit sekolah itu! Rubby duduk diatas undak tangga ke tiga, dengan gaya seorang bos lengkap dengan tatapan tajam dan bengisnya. Tio dan Fandi berdiri bersandar pada pegangan tangga dan tembok, saling berseberangan.

Daniah dan Bayu berhenti.

"Maaf Kak, boleh kami lewat?" tanya gadis itu. Lambungnya diam-diam terasa mual melihat wajah-wajah sok ke tiga remaja yang dijuluki 'Trio Bandit' ini.

"Lo boleh lewat," ucap Rubby sambil bangkit berdiri. Ekspresinya yang dibuat-buat sungguh memuakkan. Padahal sebenarnya-sekali lagi- dia tampan. Cowok itu membuka jalan, bersikap mempersilakan.

Daniah menarik tangan Bayu, mereka melangkah dengan cepat hendak menaiki tangga. Namun dengan cepat pula Rubby merentangkan tangannya dan menahan dada si culun itu. Kepalanya menggeleng pada Daniah dan wajahnya menampilkan senyum jahat, "Gue bilang lo boleh lewat, tapi cowok agar-agar ini tetap disini!"

"Tolong jangan macam-macam, Kak. Kami ingin lewat!" gerutu Daniah.

"Lo  berani menentang senior? Lo nggak tahu siapa kami?" Tio mengancam.

Daniah menggigit bibirnya. Tangannya masih mencengkram pergelangan tangan Bayu yang terus menunduk. Arrggghh! Kenapa cowok itu terus menatap lantai?!

"Memangnya siapa kalian?!" tanya Daniah dengan jengkelnya.

"Kami geng yang paling di takuti disini! Jangan mencampuri kesenangan kami gadis manis! Sebaiknya lo pergi dan tinggalin teman lo disini!" kecam Rubby.

"Begitu? Aku tidak akan pergi, tanpa Bayu!" Daniah lekas menarik tangan Bayu, namun Tio dan Fandy melakukan gerakan menghadang secepat kilat. Rubby mendorong Bayu keras-keras sehingga pegangannya terlepas dan dia tersungkur ke bawah tangga. Daniah terkejut. Buku-bukunya jatuh berserakan karna sentakan yang kuat.

"Urus dia! Gue mau bermain-main dengan kelinci kecil ini..." kata Rubby sambil melirik Bayu, membuat Daniah mendelikkan mata cemas.

Tio dan Fandi memegangi tangan Daniah,  dia tidak berkutik. Rubby menjambak rambut pirang Bayu, memaksanya berdiri tanpa menghiraukan rintihan kesakitan cowok itu.

"Kalian lihat?!" Rubby mencebik. "Dia bergaya mewarnai rambut segala seperti anak gaul! Namun pembawaan lembek! Dasar menjijikkan!"

"Ii...ni... warna rambut asliku..."

"Oh ya?" Rubby membulatkan mata. "Kalau begitu mari kita lihat!" Pemuda itu menyeret Bayu pergi. Tio dan Fandy segera mengikuti tanpa menghiraukan Daniah yang berdiri kebingungan.

"Dia mau dibawa kemana?" desisnya khawatir saat melihat aksi trio bandit itu. Daniah bergegas hendak melapor ketika dilihatnya ada seorang guru yang baru datang.

Namun langkahnya tertahan ketika sebuah tangan yang mencengkram bahunya. Daniah menoleh cepat. Seorang gadis cantik berambut coklat dengan  softlens hitam dan bertubuh tinggi tersenyum miris menatapnya. "Jangan ikut campur. Kau hanya akan terseret dalam masalah jika mencampuri urusan Rubby."

"Ttaa...pi..."

"Biarkan saja. Kalau bosan dia pasti akan berhenti, toh temanmu tidak akan mati, kan?" katanya santai yang akhirnya dihadiahi pelototan mata Daniah. Apakah murid disekolah ini semuanya tidak berperasaan?!

Daniah hendak memberontak, namun gadis itu malah menampilkan   smirk yang sinis. "Kau harus mendengarkan ucapanku. Jangan cari masalah! Oh ya, siapa namamu?"

Daniah menggertakkan gigi. "Daniah."

"Aku Rose." Dia memperkenalkan diri tanpa diminta. "Jangan lupa pesanku. Bye." Rose berlalu dengan santai, tubuhnya yang semampai itu melenggang pergi tanpa beban.

Daniah kembali kebingungan. Dia memutuskan untuk mengantar buku-bukunya dulu ke kelas, dan kemudian turun lagi ke lantai satu untuk mencari keberadaan Bayu yang telah diseret para 'penjahat' itu!

***

Daniah melangkah kesana kemari sambil menyebar pandangan mencari. Sosok Bayu akan sangat mudah dikenali karna cowok itu satu-satunya siswa yang berpenampilan freak dan berkacamata tebal. Namun sampai lelah dia berputar-putar, orang yang dicarinya tak kunjung kelihatan. Daniah merutuk cemas dalam hati, jengkel bukan main mendapati praktik penindasan masih terjadi di zaman kemerdekaan ini! Bahkan ini terjadi di lingkungan sekolah! Tempat dimana setiap hari para pelajar di ajari pentingnya toleransi dan saling menghargai! Daniah menghempas nafas ke sekian kalinya.

Apa yang akan mereka lakukan pada Bayu?

Gadis itu memegang keningnya, dia ingat kalau dirinya belum memeriksa toilet sekolah. Gadis ini seperti mendapat kekuatan baru dan segera berlari ke arah toilet lelaki dan mengabaikan beberapa hal yang bertentangan dalam benaknya.

Berpasang-pasang mata tampak menatap kaget ketika seorang gadis menerobos seenaknya ke dalam toilet sekolah. Paras Daniah merah sesaat. Malu! Malu! Malu!

Cepat ditekannya perasaan itu sambil memandang berkeliling, berusaha mengabaikan beberapa pemandangan yang tersembunyi dibalik papan-papan pemisah.

Dia tahu Bayu tidak ada disana. Tanpa mengucap sepatah kata dan wajah merah padam, Daniah berlari keluar.  Shit. Apa yang barusan dilakukannya? Para cowok-cowok itu pasti berpikir dirinya cewek mesum! Dia baru saja menghancurkan citra dirinya yang bahkan belum dia bangun di sekolah itu!

Gadis ini keluar dari toilet, menyusuri koridor sekolahan dengan lesu.

Eh... Bukankah itu Bayu?

Daniah memperbaiki letak kacamata tipisnya. Tampak Bayu melangkah keluar dari sebuah lorong, tergesa-gesa, dan tak lupa... menunduk.

Dia baik-baik saja? Mana Trio Bandit itu?

Dibelakangnya tampak seorang gadis tinggi langsing melangkah tersenyum-senyum sambil mengucapkan sesuatu pada Bayu, namun cowok itu hanya melirik sedikit dan berbelok meninggalkannya. Gadis itu... Bukankah itu Rose? Si rambut coklat?

Daniah mengeryit.

Rose akhirnya berpapasan dengan Daniah.

"Apa yang...." Daniah membuka mulut bertanya, namun bunyi bel masuk menghentikan ucapannya.

Rose tersenyum manis. Tanpa menunggu Daniah menyelesaikan kalimatnya, gadis tinggi ini melangkah pergi seolah tak ada siapa-siapa. Tak lama kemudian terdengar suara dari  speaker sekolah meminta seluruh siswa melakukan apel pagi.

Para siswa berlarian menuju halaman sekolah, berbaris rapi menunggu pemberitahuan apa yang akan disampaikan. Guru yang memberikan apel adalah seorang lelaki bertubuh pendek, namun kekar, berwajah tegas dan mengaku sebagai guru Matematika. Dia menyapa para murid baru dan memberikan beberapa petunjuk dan memberitahu peraturan umum sekolah.

Setelah bubar, Daniah lekas mengejar Bayu yang melangkah perlahan menuju kelas mereka.

"Bayu!"

Cowok itu menoleh. "Daniah?"

"Kamu baik-baik saja?"

Bayu mengangguk singkat, kemudian menunduk lagi. Seolah-olah lantai memang adalah pemandangan indah yang tak ingin dia lewatkan sedikitpun.

"Mereka tidak menyakitimu?" Daniah melirik pakaian dan tubuh pemuda itu. Terlihat baik.

Bayu menggeleng. "Tidak, terimakasih." Kemudian dia memutar tubuh, kembali melanjutkan langkahnya.

"Apa Rose juga hendak menyakitimu?" gadis itu memberondong sambil melangkah mengikuti.

"Itu... tidak. Dia menolongku."

"Menolongmu?" Alis Daniah terangkat. Gadis langsing itu menolong Bayu? Sepertinya cukup sulit membayangkan Rose berkelebat bak superhero dan membabat habis Trio Bandit itu demi menyelamatkan Bayu. "Aku tidak salah dengar?"

"Tidak."

"Baiklah. Yang penting kau selamat." gumam Daniah yang lelah pertanyaannya ditanggapi singkat padat dan jelas.

Keduanya menyusuri tangga dalam diam, membaur diantara para murid yang lain.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status