Kubuka mata perlahan saat terdengar kumandang subuh. Ternyata aku tertidur di kamar Caca. Kuselimuti Caca lantas melangkah keluar kamar. Aku harus buru-buru membuat makanan untuk Mas Yoga sebelum ia berangkat kerja. Walau memiliki pembantu, tapi ia lebih senang aku sendiri yang masak. Sebelum melangkah ke dapur, kulongok kamar si sulung. Dia masih terlelap. Nanti saja jika sudah selesai nyayur baru membangunkannya.
Pukul 6 kurang, aku sudah beresan. Segera aku mandi lalu menuju kamar berniat membangunkan Mas Yoga. Tapi ternyata ia sudah terbangun. Duduk di bibir ranjang tengah menatap HP di tangannya dengan wajah sedih. Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Mas?
"Mas." Aku duduk di sampingnya. Mas Yoga menoleh, menatapku cukup lama.
"Cin ...."
Hening yang panjang
"Ada sesuatu yang ingin kubirakan. Tapi percayalah, walaupun mas melakukan ini, tapi hanya kamu yang kucintai, Cin."
Aku menatapnya dengan dada berdebar karena begitu takut juga penasaran. Kuanggukkan kepala sambil menatapnya lekat, isyarat agar ia melanjutkan ucapannya.
"Mas nikah lagi, ya?"
"Apa, Mas?" Aku mendengar dengan sangat jelas, tetapi mencoba menyakinkan diri bahwa memang tak salah dengar. Ini salah. Pasti telingaku hanya salah dengar.
Menikah lagi? Kupandang suami tercinta yang duduk di sampingku dengan dada berdebar. Matanya yang tajam terus menatap penuh harap.
"Mas ingin menikah lagi." Ulangnya, suaranya masih pelan seperti tadi. Tangannya mengusap lembut rambut sebahuku yang kubiarkan terurai dan masih basah.
"Tapi ... kenapa, Mas?" Bibirku bergetar. Berbagai emosi menerjang bersamaan ke dalam benak. Marah, kesal, sedih. Juga kecewa. Apa kurangnya aku?
Siapa pun tahu, aku perempuan berbobot. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi begitulah orang-orang selalu bilang. Cantik, pintar, punya sepasang anak lucu, dan pekerjaan sebagai bidan tak mengharuskan pergi keluar rumah. Nyaris setiap hari, ada saja pasien yang datang. Mulai dari program hamil, periksa rutin setiap bulan, sampai melahirkan. Nyaris tak pernah sepi.
Jadi, apa kurangnya aku? Perawatan rutin setiap minggu membuat wajahku bersinar cantik dan kulit langsat ini mulus terawat. Wangi. Dan tentu saja sedap dipandang. Tambahan. Pada suamiku ini aku selalu royal. Mobil kubelikan, semua aset juga atas namanya saking cintanya aku padanya. Lalu, sekarang apa?
"Apa ... Mas sudah tak cinta padaku?" Aku bertanya sambil mencoba meredam perasaan tertusuk yang kian menjadi. Siapa perempuan yang kuat mendengar permintaan suami yang ingin menikah lagi? Apa aku saja tak cukup?
"Mas masih cinta kamu, Cin. Tapi, Mas juga mencintainya. Kami sudah lama saling mencintai. Apa kamu ingin Mas sampai berzina dengannya? Nanti kamu kena dosanya, Cin."
Aku menggigit bibir, rasa tertusuk di dada semakin menjadi. Astaghfirullah. Mas Yoga bisa sampai berkata seperti ini, apa itu berarti ia benar-benar cinta padanya? Ya, Allah. Kuatkan hambamu ini menghadapi cobaan kali ini yang sepertinya tidak akan mudah. Mendapati suami jatuh cinta lagi, siapa yang tak sakit hati?
"Jika alasannya untuk menghindari zina, mas bisa berpuasa. Aku tak rela dimadu, mas. Tak rela." Tangis yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga.
Aku tak sudi berbagi. Tak sudi.
"Balasannya surga, Cin."
Surga? Ya, salaam. Sungguh aku paling kesal pada semua makhluk adam yang berpoligami, lalu mengatakan balasannya surga jika sang istri mau merestui. Wahai para pemuja syahwat, apa jalan menuju surga hanya dengan merelakan suami tercinta menikah lagi? Aku tak akan sudi.
Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir sesak yang tak juga pergi. Banyak jalan menuju surga. Mempelajari ilmu agama bersama, salat berjamaah, melayani suami dengan tulus, bahkan membuatkannya sarapan, akan Allah balas jika melakukannya dengan ikhlas. Jadi, kenapa harus merelakan suami menikah lagi? Tidak sudi.
Diusapnya air mata yang meleleh di pipiku. Tangannya menggenggam tanganku, lalu mengecupnya lembut.
"Mas minta restu, karena tak ingin mengkhianatimu, Cin. Karena mas cinta sama kamu jadi tak ingin berbohong.." Diusapnya air mata yang mengalir perlahan di pipiku.
Ah, Mas. Bahkan disaat seperti ini, mulutnya masih sempat menebar kata-kata rayuan.
"Kalau Adek tak mau ijinkan, mas tetap akan menikahinya, Dek."
Aku sudah tak kuat. Aku segera berdiri kemudian melangkah ke ruang depan di mana sebagian pasien tengan mengantri untuk USG. Beberapa pasien langsung menatap kemari. Lekas kuuaap air mata di pipi, tersenyum kecil sambil mengangguk pada mereka, lalu masuk ke dalam ruangan. Segera duduk di hadapan meja penuh buku pink yang biasanya selalu terasa menyenangkan. Kenapa sekarang tidak lagi?
Aku mencoba menguatkan hati sebelum akhirnya berkata,"Yang mau periksa saja tanpa USG, silakan langsung ke sini," kataku dengan suara sumbang sambil menghapus air mata. Lalu tersenyum lebar saat seorang perempuan berperut besar melangkah masuk bersama suaminya. Dalam hati aku menerka-nerka, apa yang harus kulakukan? Ingin rasanya kumaki Mas Yoga lalu berhenti membayar angsuran mobilnya, tapi, apa itu tak keterlaluan sementara gajinya hanya 4 juta sebulan?
Ya Allah, tolong beri pencerahan.
"Bu bidan, ini gimana? Tadi pas di USG katanya jumlah air ketubannya kurang. Ini berbahaya tidak, Bu?" Seorang lelaki berusia sekitar 50-an berkata di ambang pintu dengan wajah cemas. Tangannya menggenggam kuat perempuan di sampingnya.Aku menyungging senyum lalu mempersilakannya duduk di kursi. Sementara suaminya memilih tetap berdiri.Aku mengambil tensimeter lalu melilitkan manset ke lengan pasien. Aku menarik napas panjang saat tiba-tiba teringat ucapan Mas Yoga dua hari lalu. Katanya, tanpa seijinku pun, ia tetap akan menikah. Tuhaan, kenapa Kau timpakan ujian ini padaku?Kuusap kasar air mata yang terasa mengalir di pipi lalu menunduk, mencoba tak mengindahkan rasa sakit yang kian menusuk hati. Namun lagi-lagi, air mataku kembali luruh di pipi. Mas Yoga sungguh keras kepala. Walau sudah berulangkali aku bersikukuh tak mau dipoligami, tetap ia bergeming. Nanti sore, ia akan datang melamar. Ya Tuhan ...."Bu bidan?"Kuusap cepat sudut mata lalu menyungging seulas senyum. Perasaan
"Kamu yakin, Cin, mau saksikan ijab kabul Mas dan Anita?"Sebenarnya tidak yakin, tapi aku mencoba memantapkan hati. Lebih baik berdamai dengan keadaan daripada berlarut-larut dalam kepedihan. "Iya. Tapi ... aku gak mau tanda tangan. Mas hanya boleh menikahinya secara siri."Aku menarik napas, tanganku dengan cepat menyusut air mata yang terus mengucur tak mau berhenti. Dalam hati, terus kuucap istighfar. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Aku sadar telah egoist, tapi ... entahlah. Aku tak sanggup membayangkan jika semua harta nanti harus dibagi dengan Anita juga. Dua vila di Bogor yang tiap bulan selalu membuat tabungan kami mengembung, 5 hektar sawah, dua mobil milikku dan satu punya Mas Yoga yang belum lunas. Astaghfirullah. Maafkan hamba yang terlalu manusiawi. Jika harta benda itu akhirnya harus berpindah tangan, maka itu untuk Farhan dan Caca. Bukan untuk anak-anak Anita kelak. Mas Yoga memandangku cukup lama, entah hanya perasaanku saja, tapi sesaat ia terlihat sedih. Lalu perla
Setelah kemarin malam ia di kamar Anita, kini ke kamarku, memandangku dengan mesra tak seperti biasanya. Tapi anehnya, saat seharusnya aku menerima perlakuan lembut Mas Yoga, aku kini malah berusaha menolaknya. Ternyata, aku tidak siap berbagi pisang. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa begitu jijik. Juga muak."Kenapa, Cin? Bukannya kemarin-kemarin kamu begitu menginginkannya?" Mas Yoga mendekatkan hidungnya ke pipiku, aku kembali bergerak menghindar. Aku kenapa akunajdi ak ingin melakukannya."Aku sedang gak selera, Mas. Mungkin karena kelelahan.""Ooh." Mas Yoga memangguk kecil. Ia menegakkan tubuh saat terdengar ketukan. Lalu pintu perlahan terbuka. Anita masuk dengan rambut diurai. Samar menguar wangi lavender dari tubuhnya."Mas Yoga bisa temani aku ke mall bentar, Mas? Hanya sebentar. Ada yang akan kubeli untuk hadiah mamaku."Mas Yoga memandangku, lalu mengangguk kecil pada Anita. "Kamu keluar dulu, ya? Nanti aku nyusul."Bibir Anita merebak lebar dengan wajah terlihat begitu
Ini aku benar mau bunuh diri? Sesaat, aku ragu dan mengeluarkan kepalaku dari lingkaran. Tapi begitu ingat aku telah dikhianati, maka aku meyakinkan niat bahwa ini yang terbaik agar tak merasakan sakit hati berlarut-larut. Perlahan, aku memejamkan mata. Ada sebersit ragu di hatiku, benarkah harus begini? Ah, sudahlah. Kenapa perasaanku mesti labil? Perlahan, kepalaku kembali masuk ke dalam lingkaran yang ujungnya telah kuikat di cabang pohon rambutan berbuah lebat ini, namun belum ranum. Sayang sekali, aku takkan menikmati buah dengan segudang manfaat kesukaan Caca bersama anak-anak dan Mas Yoga tercinta.Angin sepoi-sepoi berembus pelan, membuat dedaunan yang tumbuh di sekitar meliuk-liuk menguarkan hawa sejuk. Sementara rambut hitam lurus sepinggangku berkibar pelan, sebagian menutupi wajah. Napasku memburu. Jantung berdetak kencang. Keringat dingin, menyerbu seperti seember air yang sengaja di hantamkan ke tubuhku. Aku menarik napas panjang berusaha mengendalikan rasa takut
Aku terus mengamit tangan Mas Yoga, membawanya menuju kamar kami yang besar."Tunggu, Mas. Kenapa aku ditinggal ...."Aku menarik napas panjang, berusaha menekan amarah yang membuncah saat Anita menyibak tirai lalu masuk ke kamar kami, bibirnya yang seksi bergincu merah muda mengembang lebar. Mata bermaskaranya mengerling manja pada Mas Yoga yang kini duduk di sebelahku. Dasar nenek sihir!Kurasa, tidak keterlaluan memanggilnya begitu karena kenyataannya, dia memang seperti itu. Perempuan murahan. Mana ada gadis secantik dia yang masih belia mau dengan suami orang? Aku menahan kesal saat Anita melangkah mendekat. "Entah mengapa, bawaannya aku pengen deket Mas terus. Bobok di kamar kita yuk, Mas?"Sejenak, Mas Yoga menatapku. Menguatkan hati, aku perlahan mengangguk. Kamu pilih kasih, Mas! Awas saja, akan kubalas. Rutukku dalam hati menahan kesal."Mbak Yu nggak cemburu, 'kan?" tanya Anita dengan tatapan tanpa dosa. Ia langsung menggelayut manja saat Mas Yoga mendekat, memeluk tang
Terdengar gelak tawa Mas Yoga dan Anita. Aku menyentak napas, berusaha menahan dongkol. Teringat sesuatu, aku tersenyum senang. Besok hari ulang tahunku, Mas Yoga telah berjanji akan mengabulkan segala keinginanku.Aku membuka lemari tempat surat-surat penting disimpan, mematikan lampu, menuang obat tidur yang biasa kukomsumsi saat tak bisa tidur ke dalam gelas berisi air, menyalakan lilin hingga kamar ini terlihat remang lalu menuju kamar belakang. Pintu yang tak terkunci, membuat mata ini leluasa melihat ke dalamnya. Di ranjang berukuran sedang, Mas Yoga tercinta tengah memijit kaki Anita, membuatku jadi terkenang waktu masih pengantin baru dulu.Dan lihatlah sekarang, Mas Yoga tersayang tampak mesra bersama perempuan lain. Siapa tak sakit hati? "Eh, Dwk, ada apa?" tanya Mas Yoga sedikit terkejut. Perlahan tangannya berhenti memijat."Ikut aku ke kamar, Mas. Ada sesuatu yang ingin kukatakan."Mas Yoga langsung beranjak bangun. Begitu ia masuk ke kamar, aku langsung menguncinya."A
Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kudekatkan gunting ke sasaran dengan dada berdebar. Sebenarnya aku tak tega. Kuhela napas dalam. Kenapa aku harus terus menggunakan perasaan sementara Mas Yoga sudah begitu jahat? Janji manis yang dulu ia ucap hanya akan bersamaku sampai tua, kini hanya tinggal janji.Dengan cepat, kusuntikkan obat bius. Ini, yang selalu membuatku terlena selain perhatiannya yang tiada batas. Menanyai aku sudah makan belum, dan perhatian kecil lainnya yang membuatku jadi semakin tergila-gila akut pada suamiku ini. Maafkan aku Mas Yoga, aku tak siap berbagi kasih sayang, jadi terpaksa melakukan ini. Maaf."Mbak, buka pintunya, Mbaak!" Suara Anita terdengar semakin keras saja dan pintu kamar digedor-gedor tak sabar. "Mbak, buka pintunya, Mbak. Aku ada perlu sebentar dengan Mas Yoga."Tak kuhiraukan teriakan tak sabar itu. Segera dengan cepat aku menjalankan aksi.Begitu beres, kumasukkan potongannya ke dalam plastik kecil. Kutaruh di meja lantas menulis
HP-ku kembali berdering nyaring. Masih dari penelepon yang sama. Tetanggaku. Aku menoleh ke kanan dan kiri sambil terus mengemudi dengan jantung mengentak kuat dan tubuh yang terasa kian mendingin dan sedikit gemetar. Segera kumatikan panggilan lantas menghubungi nomer Neni. Tampak di layar HP, Neni memandang dengan senyum antusias."Kamu jadi ke sini, kan?" tanyanya pelan. "Iya, jadi!" sahutku gugup dengan jantung berdetak kencang. Hanya ke tempatnya yang menurutku aman untuk bersembunyi."Kenapa wajahmu cemas begitu?" Ia mengernyit. "Berjalan lancar kan rencana yang kamu katakan tadi, kan? Aset-aset sudah dia tandatangani belum?" Perempuan berhijab di layar HP menatapku semakin penasaran saja. Mata sipitnya sedikit menyipit."Sudah-sudah. Dan ini diluar rencanaku, En. Tetanggaku sepertinya sudah memergoki perbuatanku. Bagaimana ini?" tanyaku cemas. Aku menoleh ke belakang memperhatikan Farhan dan Caca yang sudah kembali tertidur."Tenang saja, Cin. Tak usah panik. Ikuti perkataanku